BerandaTafsir TematikTafsir Ayat Syifa: Kenali Makna Kesehatan dan Bagaimana Cara Menjaganya

Tafsir Ayat Syifa: Kenali Makna Kesehatan dan Bagaimana Cara Menjaganya

Salah satu nikmat yang paling sering dilupakan oleh manusia ialah nikmat kesehatan. Kesehatan merupakan nikmat yang teramat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kesehatan, niscaya manusia bukanlah apa-apa. Maka tak heran Nabi saw pernah bersabda, “ada dua kenikmatan yang sering dilalaikan manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. Dan begitu, kita berharap mampu mengenali makna kesehatan dan bagaimana cara menjaganya. 

Manusia acapkali baru menyadari betapa pentingnya anugerah kesehatan tatkala ditimpa sakit. Jika sudah sakit, mengeluh pun tak ada gunanya. Karena itu, kesadaran akan nikmat kesehatan, kesembuhan serta anjuran untuk menjaga keduanya telah disitir dalam firman-Nya dalam Q.S. al-Syu’ara [26]: 80,

وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (Q.S. al-Syu’ara [26]: 80)

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

Tafsir Surat al-Syu’ara Ayat 80

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa konteks ayat ini adalah terkait sakit yang diderita oleh Nabi Ibrahim a.s. Meskipun pada kenyataannya sakit yang dideritanya berasal dari qadha dan qadar Allah swt. Tatkala manusia sakit, sejatinya tiada yang dapat menyembuhkannya kecuali kuasa Allah swt. Pengobatan medis dan dokter hanyalah wasilah (perantara) kesembuhan bukan jaminan paten akan kesembuhan manusia.

Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan ayat di atas bahwa tatkala seseorang divonis sakit A, B, C dan seterusnya oleh dokter, maka sesungguhnya dokter hanyalah seorang manusia biasa. Ia mampu mendiagnosa sakit pasiennya dan menyatakan sakit A atau B karena berpijak pada keilmuan kedokteran. Meski begitu, sesungguhnya dokter sendiri beserta obat pun tidak menjamin kesembuhan pasien. Karena itu, Allah swt sangat penting untuk dihadirkan dalam benak kita bahwa yang memberi sakit adalah Allah swt, dan Allah sendirilah yang menyembuhkannya. Itulah hakikat makna ayat di atas.

Artinya, Allah pulalah yang mendatangkan obatnya, lalu Dia sendiri yang menyembuhkannya. Berkenaan dengan dokter hanyalah sebagai wasilah (perantara) kesembuhan, bukan menjamin kesembuhan manusia. Penafsiran demikian juga dituturkan Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir bahwa, idza ashabanil mardha fa-innahu la yaqdiru ala syafa-ii ahadun ghairahu (apabila penyakit menyerangku maka sesungguhnya tidak ada kuasa apapun untuk menyembuhkannya kecuali Allah swt. Maka bersandarlah kepadaNya dan meminta kesembuhan dari-Nya.

Baca juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

Tidak jauh berbeda, al-Tabari, mufasir klasik kenamaan menafsirkan ayat di atas sebagai berikut,

وإذا سقم جسمي واعتلّ، فهو يبرئه ويعافـيه

“Tatkala tubuhku terserang penyakit dan jatuh sakit, maka Dialah yang menyembuhkan dan menyehatkanku”

Lebih jauh, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib lebih merincikan makna ayat di atas, ia berpendapat sakit yang diderita manusia itu lebih banyak disebabkan oleh pengaruh makanan dan minuman. Atau pola makan dan minum yang tidak sehat, serta sembarangan. Munculnya penyakit karena ada satu pertentangan di dalam tubuh akibat dominasi satu unsur, misal jika seseorang mengonsumsi gula berlebihan, maka akan terserah penyakit diabetes, dan sejenisnya misalnya.

Karena itu, al-Razi mengistilahkan hal ini dengan istila’ (الاستيلاء). Istila ialah segala sesuatu yang menyebabkan pertentangan karena tidak adanya ketersesuaian di dalamnya. Hal ini berbeda diametral dengan istilah shihhah (الصحة). Sehat menurut al-Razi adalah adanya keseimbangan dalam tubuh karena perpaduan semua zat yang proporsional, tidak kurang ataupun berlebihan. Sehingga sehat itu adalah akibat bukan sebab. Selama manusia mematuhi koridor pola makan minum dari Allah Swt dan rasul-Nya, Insya Allah kesehatan senantiasa menyelimutinya.

Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 168 dinyatakan, “… makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan”. Firman ini juga diamini Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Misbah bahwa selain ikhtiar memakan makanan yang halal lagi baik, itu juga merupakan mempercepat kesembuhan (syifa’) bagi manusia itu sendiri, serta sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kesehatan yang diberikan-Nya.

Baca juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Menjaga Sehat, Menjaga Nikmat Allah SWT

Kesehatan dan kesembuhan merupakan salah satu nikmat yang teramat penting bagi manusia tanpa nikmat sehat, niscaya manusia tidak mampu melakukan aktifitasnya dengan baik. Pada ayat di atas, sesungguhnya menyiratkan makna bahwa sakit dan sehat adalah berasal dari Allah swt. Tatkala manusia terserang penyakit mematikan sekalipun, terpapar Covid-19 misalnya, maka sandaran kita hanyalah Allah swt. Pengobatan medis tetap dilakukan sebagai bentuk ikhtiar kesembuhan. Mengabaikan pengobatan medis dan saran dokter sama dengan mengabaikan Allah swt.

Lebih dari itu, ayat di atas juga menyitir akan perintah menjaga kesehatan. Salah satunya dengan memakan makanan yang halal lagi baik (bergizi). Kebanyakan manusia menderita sakit karena pola makan yang serampangan, tidak memperdulikan apakah ini halal atau bergizi, tidak memperhatikan efek jangka panjang apabila mengonsumsi makanan atau minuman ini, dan terkesan pragmatis (seenaknya sendiri) serta cenderung diperbudak hawa nafsu. Sehingga jangan disalahkan jika penyakit “gemar” menjangkiti manusia.

Meskipun demikian, Rasulullah saw menyadari bahwa manusia itu lebih banyak lalainya ketimbang iling-nya (sadarnya). Karena itu, Beliau saw mengajarkan beberapa doa kesembuhan sebagaimana terekam dalam Kitab al-Adzkar, karya Imam an-Nawawi. Dalam beberapa riwayatnya, Rasul saw jiga mendoakan kesembuhan untuk keluarganya sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقْمًا

“Ya Allah, Tuhan manusia. Hilangkanlah penyakit. Sembuhkanlah penyakit ini karena hanya Engkaulah Dzat Yang Maha Penyembuh. Tidak ada yang mampu menyembuhkan kecuali Engkau Ya Rabb yang tidak menyisakan rasa nyeri sedikitpun”.

Dalam riwayat yang lain, Rasul saw juga memintakan ampun dan perlindungan agama bagi mereka yang sakit. Doa ini dibacakan oleh Nabi saw tatkala menjenguk Salman al-Farisi seperti yang diriwayatkan Ibnu Sunni,

شَفَى اللهُ سَقَمَكَ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَعَافَاكَ فِي دِيْنِكَ وَجِسْمِكَ إِلَى مُدَّةِ أَجَلِكَ

“Ya Allah (sebutkan nama orang yang sakit), semoga Allah menyembuhkanmu, mengampuni dosamu dan menyehatkanmu agama dan jasmanimu sepanjang usiamu”.

Doa-doa di atas dapat kita baca baik untuk diri sendiri, karib kerabat, keluarga, maupun teman kita. Sungguhpun demikian, di tengah kondisi wabah Covid-19 selain mendawamkan doa di atas, kita juga diingatkan kembali bagaimana menjaga pola makan dan kebersihan, mengatur waktu dengan baik, berolahraga secara teratur, dan lebih banyak berdiam diri untuk merenungi diri atau bermuhasabah (introspeksi diri) sehingga semakin muttaqin (orang yang bertakwa) dan tergolong hamba-Nya yang ‘ibadiyas syakur (hamba yang bersyukur kepada Allah SWT).

Semoga kesehatan dan kebaikan senantiasa menyertai kita semuanya, dan dijauhkan dari bala’ ad-dunya wa ‘adzabil akhirat. Aamiin. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...