BerandaTokoh TafsirTafsir Fiqh (2): Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Tafsir Fiqh (2): Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Edisi kedua dari “Tafsir Fiqh” kali ini akan membahas seorang faqih sekaligus mufassir kenamaan beserta karya tafsirnya yakni “Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an­-nya”. Mungkin bagi sebagian kalangan nama Ilkiya Al-Harasi cukup jarang di dengar dan kajian-kajian mengenai pribadinya maupun karyanya masih terbatas pada ranah elite intelektual semisal jurnal-jurnal ilmiah. Maka tulisan kali ini akan mencoba membahas keduanya secara ringkas namun tetap berusaha memuat berbagai informasi penting yang bisa dibagikan.

Ilkiya Al-Harasi memiliki nama lengkap Imadudin Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali al-Thabari al-Syafi’i. Nama tenarnya sendiri (Ilkiya) berasal dari bahasa A’jam (bahasa non-Arab) yang maknanya adalah seorang yang besar dan unggul. Ia adalah seorang faqih bermadzhab Syafi’i yang lahir pada tahun 450 H.

Sejak kecil Al-Harasi hidup di Khurasan dan kemudian memilih untuk berkelana ke Naisabur demi memperdalam ilmunya. Sesampainya di Naisabur, ia belajar kepada Imam Haramain, Imam al-Juwaini selama beberapa waktu sampai dirasa cukup dan mapan. Lalu ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke sebuah kota bernama Baihaq dan mengajar di sana beberapa waktu sampai akhirnya kembali mengembara dan sampai di Iraq.

Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Di kota Iraq inilah ia mendapatkan mandat untuk mengelola kegiatan pembelajaran yang berlangsung pada sebuah Madrasah di Baghdad (bisa dikatakan ia menjadi kepala sekolah). Ternyata Baghdad dan Iraq menjadi pelabuhan terakhir bagi pengembaraan intelektual Ilkiya Al-Harasi, yang kemudian wafat pada tahun 504 H.

Semasa hidupnya, Ilkiya Al-Harasi selain terkenal akan keluasan ilmunya juga terkenal akan kefasihannya dan keindahan retorikanya, bahkan dalam kondisi berdebat sekalipun. Maka tidak heran jika ia mampu menarik kawan maupun lawannya dalam nuansa retorisnya yang indah.

Melihat Sisi-Sisi Menarik dalam Ahkam al-Qur’an

Pada edisi pertama “Tafsir Fiqh” telah ditunjukkan sebuah karya tafsir yang menjadi rujukan penting bagi suatu madzhab fiqh tertentu. Nah, kali ini pun sama di mana karya tafsir Ilkiya Al-Harasi ini menjadi salah satu referensi penting dalam perbendaharaan madzhab Syafi’i. Ia bahkan disamakan dengan al-Jashash dalam kasus fanatisme ini baik dalam bentuk pembelaannya dan kritiknya yang pedas terhadap pendapat madzhab yang lain.

Al-Dzahabi dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, menunjukkan bahwa saat membaca muqaddimah-nya saja hal ini bisa didapati di mana salah satu kutipannya sebagai berikut:

“Sesungguhnya madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling benar, sebab Imam Syafi’i dalam banyak pendapatnya dan pembahasannya telah melampaui tingkatan dzhan dan berada pada level yaqin. Hal ini karena Imam Syafi’i telah dibukakan atau di-futuh oleh Allah segala rahasia-rahasia khususnya pada makna-makna yang terdapat dalam kitab-Nya yang belum tentu bisa dicapai dan didapati oleh selainnya (Imam Syafi’i)”.

Hal menarik pertama yang dapat ditemukan dalam kitab ini ialah pada sisi pembahasannya yang hanya fokus membahas ayat-ayat yang memuat muatan hukum saja. Ia juga menyebutkan isi pokok atau garis besar pembahasan dalam sebuah surah dari sisi fiqhnya. Maka jika metode penafsirannya disebut sebagai tafsir tahlili sebenarnya tidak bisa dibenarkan sepenuhnya sebab meskipun ia menafsirkan dengan berpegang pada urutan surah-surah dalam mushaf, namun dalam pembahasannya ia cenderung maudhu’i karena banyaknya bab dan cabang-cabang bab pembahasan di dalamnya.

Hal menarik kedua yang bisa didapati dalam karya tafsir ini ialah perdebatan yang hampir selalu mewarnainya. Perdebatan itu baik berupa kritik Ilkiya Al-Harasi terhadap pendapat madzhab yang berbeda maupun berbentuk pembelaan “mati-matian” terhadap madzhab Imam al-Syafi’i. Kasus yang mungkin bisa dikatakan paling sering dijumpai adalah kritik pedasnya kepada al-Jashash yang baginya terlampau salah dalam memahami pendapat-pendapat imam Syafi’i sehingga, menurutnya, kerap kali mengkritik tanpa dasar ilmu atau karena tidak selevel dengan Imam Syafi’i.

Dari kedua sisi menarik dari karya tafsir ini mungkin bisa dikatakan bahwa karya ini unik sekaligus ekstrem. Unik dari sisi style penafsirannya yang hanya fokus pada ayat-ayat yang memuat muatan hukum (ayat ahkam), dan ekstrem jika ditinjau dari fanatisme pengarangnya yang sangat tinggi sehingga tidak segan-segan mengeritik atau bahkan merendahkan subjek yang dianggapnya sebagai lawan.

Baca Juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an

Kedua sisi menarik ini sebenarnya lahir dari latar belakang penulisan kitab itu sendiri. Di mana motivasi Ilkiya Al-Harasi sendiri adalah melahirkan karya yang mampu untuk men-tarjih pendapat-pendapat madzbab lainnya serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang sebelumnya belum tuntas dibahas oleh Imam Syafi’i dengan berlandaskan pada metode yang digunakan Imam Syafi’i.

Sudah barang tentu jika sikap fanatismenya yang sangat tinggi (sampai merasa madzhabnya paling benar) tidak tepat untuk diikuti saat ini. Sebab Imam Syafi’i sendiri begitu low profile dan toleran dalam menghadapi perbedaan. Namun bagaimanapun Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya telah menyumbang dan menjadi warisan berharga bagi khazanah keilmuan Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU