Sejak diwahyukan pada masa nabi Muhammad saw, Al-Qur’an senantiasa berinteraksi dengan umat Islam. Mereka meresepsi, meresapi dan mengaktualisasikan Al-Qur’an pada keseharian mereka dalam berbagai bentuk. Interaksi ini juga menghasilkan beragam penafsiran dan pemahaman sesuai kecenderungan pembaca. Misalnya, kelahiran tafsir ilmi didorong oleh kecenderungan mufasir terhadap pengamatan alam semesta.
Secara eksplisit Al-Qur’an juga mengajak para pembacanya untuk merefleksikan berbagai aspek dari alam semesta, seperti kosmos (afaq), diri manusia (nafs), dan sejarah (atsar). Ajakan ini bertujuan agar pembaca Al-Qur’an menanamkan keimanan tak tergoyahkan dalam hatinya melalui tadabur dan tafakur alam. Dengan itu diharapkan manusia yakin dengan ke-Esaan Allah swt yang telah menciptakan jagat raya.
Pasca datangnya era modern, pemahaman tentang ayat-ayat kosmos mengalami transmutasi besar-besaran disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ayat-ayat kealaman ditelah kembali oleh para reformis melalui kacamata sains, teknologi dan pengamatan-pengamatan eksperimental. Langkah ini dinilai dapat mengatasi ketertinggalan masyarakat muslim dari bangsa barat yang menghegemoni dunia dengan teknologinya.
Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya
Menurut Muzaffar Iqbal dalam tulisannya Scientific Commentary On The Qur’an, semarak tafsir ilmi memiliki dua tujuan utama, yaitu: yang pertama adalah untuk memberikan tingkat legitimasi tertentu agar sains modern digalakkan dalam kajian Al-Qur’an; dan yang kedua adalah untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an kitab suci yang mengandung fakta atau teori tertentu yang baru-baru ini ditemukan sains modern. Fakta tersebut – mungkin – tidak diketahui nabi Muhamad saw.
Sejarah Kebangkitan Tafsir Ilmi
Dalam sejarah kebangkitan tafsir ilmi, setidaknya ada dua karya awal yang paling awal, yakni tafsir karya Sayyid Aḥmad Khān (w. 1315/1898), seorang reformis India, yang mulai ditulis pada 1296/1879. Namun tafsir ini belum selesai hingga saat kematiannya. Tafsir ilmi yang kedua adalah karya Muḥammad bin Aḥmad al-Iskandarānī (w. 1306/1889), yang berjudul Kasyf al-Asrār ʿan al-Nūrāniyyat al-Qurʾāniyyah fī-mā Yata’allaqu bi al-Ajrām al-Samāwiyyah wa al-Arḍiyyah wa al-Hayawānāt wa al-Nabāt wa al-Jawāhir al-Maʿdaniyyah.
Dalam usahanya, Aḥmad Khān memiliki pengetahuan terbatas mengenai sains modern. Karena itu, ia tidak mampu mengidentifikasi penemuan dan tidak memberikan penemuan spesifik dalam tafsirnya. Ia lebih cenderung ke arah memotivasi umat Islam untuk mempelajari sains modern. Sebaliknya, al-Iskandarānī memiliki pengetahuan mumpuni terkait sains modern sehingga ia mampu mengidentifikasi penemuan tertentu dan mengklaim itu sudah ada dalam Al-Qur’an.
Taka lama setelah dua upaya awal ini, bayak muncul buku-buku serupa. Misalnya, ʿAbd Allāh Bāshā Fikrī (w. 1307/1889), Sayyid ʿAbd al-Raḥmān al-Kawkabī (w. 1320/1922), dan Muḥammad Tawfīq Ṣidqī (w. 1338/1920), yang – semuanya – menulis penafsiran atau karya-karya pendek tentang Al-Qur’an di mana penjelasan ilmiah dari ayat-ayat tersebut ditawarkan sebagai ganti atau sebagai tambahan dari penafsiran tradisional.
Pada akhir abad ketiga belas Hijriah atau kesembilan belas Masehi, tafsir ilmi telah memantapkan dirinya sebagai disiplin yang independen. Meskipun demikian, tafsir ilmi masih kurang diterima dan dihargai oleh khalayak umum sebagaimana corak penafsiran lain yang selama ini eksis di dunia Islam, seperti tafsir hukum (tafsir fiqhī), tafsir sufi (tafsir isyari) dan tafsir linguistik (tafsīr lughawī).
Selama abad keempat belas Hijriah atau kedua puluh Masehi, muncul beberapa produk tafsir ilmi, namun tidak ada yang selengkap kitab al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qurʾān al-Karīm (Mutiara Tafsir Al-Qur’an Mulia) yang ditulis oleh Tanṭāwī al-Jawharī (w. 1359/1940). Karya ini diilustrasikan dengan gambar, foto, dan tabel sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui informasi yang terkandung di dalamnya.
Dalam kata pengantarnya, al-Jawharī menyatakan bahwa dia berdoa kepada Allah swt agar memungkinkannya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang mencakup semua ilmu yang diperoleh manusia, sehingga umat Islam dapat memahami ilmu kosmik. Al-Jawharī berusaha untuk menunjukkan bahwa surah Al-Qur’an melengkapi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern.
Metodologi Tafsir Ilmi dan Kritik Terhadapnya
Secara umum, konten tafsir ilmi biasanya terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai proses biologis, geologi, meteorologi, atau kosmik tertentu. Karena tema-tema ini merupakan pokok bahasan dari sains modern. Dalam usahanya, seringkali penulis tafsir ilmi bertujuan untuk menjelaskan fenomena tersebut berdasarkan teori-teori atau penemuan sains yang ada. Kosa kata dalam Al-Qur’an kadangkala – tidak sedikit – diidentifikasi dengan kosa kata sains modern.
Misalnya, surat al-Anbiya [21] ayat 30 yang berbicara mengenai penyatuan langit dan bumi pada awal penciptaan sering dikutip sebagai pendukung teori Big Bang. Kata ratq dan fath pada ayat tersebut diartikan bahwa bumi dan langit menyatu bersama sebagai massa yang pada dan panas (ratq), kemudian dipisahkan oleh Allah swt (ratq) sebagaimana yang dikemukakan oleh Martin Ryle dan Allan R. Sandage dalam teori Big Bang.
Metodologi seperti ini sering muncul dalam tafsir ilmi seakan-akan semuanya berasal dari cetakan yang sama namun berbeda pada detail tertentu. Semuanya fokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan proses alam atau bagian-bagian kosmos seperti langit, planet, bintang, bumi, matahari dan sebagainya. Mayoritas tafsir ilmi mengutip teori-teori sains modern barat tanpa menyadari bahwa teori tersebut suatu ketika mungkin menjadi usang (terfalsifikasi).
Baca Juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan
Karena itulah, sejumlah sarjana Qur’an seperti al-Syatibi, al-Zahabi, Muhammad Izzat Darwaza, Bint al-Syathi, Subhi al-Shalih, dan Mahmud Syaltut telah mengekspresikan keberatan mereka terhadap tafsir ilmi yang menggunakan sains modern sebagai sumber utama penafsiran. Misalnya, al-Syatibi mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada bangsa yang ummi, sesuai dengan pemahaman mereka dan mustahil memuat hal-hal di luar nalar bangsa Arab kala itu.
Sedangkan Syaltut berargumen bahwa pendekatan sains dalam Al-Qur’an adalah suatu kekeliruan dengan alasan yakni; 1) Al-Qur’an bukan kitab sains; 2) Pada masa pewahyuan Al-Qur’an, generasi awal muslim telah mengenal pengetahuan ilmiah, namun mereka tidak menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur’an; 3) Dalam banyak kasus, tafsir ilmi mendorong mufasir berlebihan menggunakan metode ini; 4) teori sains modern bisa difalsifikasi sedangkan Al-Qur’an tidak (bebas dari kesalahan).
Terlepas dari perdebatan tentang reliabilitas tafsir ilmi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, ia telah memberi wawasan baru kepada kita tentang bagaimana Al-Qur’an mengandung banyak hal termasuk kealaman. Ketika menjelaskan semesta, Al-Qur’an mungkin tidak sedetail dan sepresisi tafsir ilmi, namun ia berusaha menjelaskan itu semua dalam rangka mengajak manusia untuk berpikir tentang ke-Maha Kuasaan Allah swt sebagai Pencipta Semesta.
Berbeda dengan worldview yang diciptakan oleh sains modern yang cenderung mendewakan dan mengutamakan manusia, paradigma Al-Qur’an tentang kosmos tidak membuatnya hanya tunduk pada kemanusiaan; sebaliknya, mereka tetap dalam pelayanan kepada Tuhan mereka, Yang menciptakan mereka dan mengatur mereka untuk tugas-tugas untuk Tujuan-Nya.
Kosmos (alam semesta) mungkin menguntungkan atau memberi manfaat bagi umat manusia, dan keberadaan serta fungsinya dapat dipelajari secara mendalam oleh manusia melalui pemahaman tentang hukum alam yang ditentukan Sang Pencipta untuk keberadaan mereka, tetapi kosmos pada akhirnya tetap berada di luar kendali manusia. Wallahu a’lam.