Tafsir Iqra’: Perintah Al-Quran untuk Tanggap Literasi

iqra': perintah tanggap literasi
iqra': perintah tanggap literasi

Pada pembukaan pidato-pidato, tepatnya ketika mengenang jasa Nabi Muhammad, sering sekali kita mendengar kalimat ‘Nabi Muhammad adalah orang yang mengantarkan umat manusia dari zaman kegelapan menuju terang benderang’. Biasanya, ungkapan tersebut hanya dikonotasikan ke aspek-aspek spiritual semata, seperti ibadah, perintah dan larangan Allah, dosa dan pahala, dan semacamnya. Tidak banyak yang mengatakan bahwa proses menuju pada kehidupan yang terang benderang itu dengan bekal literasi, sebagaimana perintah ayat iqra’, yakni tanggap literasi.

Hal demikian seolah-olah menyatakan bahwa Islam hanya tentang ibadah, dosa dan pahala, surga-neraka, sehingga menjauhkan manusia dari hal lainnya, seperti ilmu pengetahuan. Termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu adanya budaya membaca, menulis dan kegiatan literasi lainnya. Padahal, kalau kita mencoba mengingat sejarah peradaban Islam, salah satu aktifitas literasi (membaca, menulis, dan lainnya) inilah yang justru pernah mengantarkan Islam pada masa kejayaannya berabad-abad silam.

Dalam konteks Indonesia, sangat amat disayangkan, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia saat ini, masih memiliki indeks literasi yang rendah. Indonesia menepati urutan ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah.

Ini harus menjadi perhatian bagi kita semua bahwa tanggap literasi amatlah penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam membangun peradaban yang maju, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw melalui Al-Quran. Lantas bagaimana kita menjelaskan bahwa Islam sangat peduli terhadap literasi? Serta bagaimana peran kita dalam meningkatkan kualitas literasi umat Islam khususnya?

Baca Juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Al-Quran sebagai sumber literasi

Wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad adalah Q.S. Al-‘alaq [96]:1-5 memerintahkan manusia untuk tanggap literasi. Berikut bunyinya,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara qalam.

Menurut Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, قرأ (qa-ra-a) yang menjadi akar kata اقرأ  (iqra’) berarti menghimpun atau mengumpulkan. Zainudin ar-Razi dalam Mukhtar ash-Shihah mengatakan قرأ (qa-ra-a) bermakna mengumpulkan dan menghimpun dan kenapa dinamakan al-Qur’an, karena al-Qur’an mengumpulkan dan menghimpun surah-surahnya. Dengan demikian al-Qur’an menghimpun banyak informasi yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk literasi manusia.

Al-Quran sebagai kitab yang mengajarkan segala hal bagi yang ingin mempelajarinya, dijelaskan oleh Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib ketika menafsiri ayat diatas dengan ayat lain di surah An-Nisa’[4]: 113, bahwa ‘Allah akan mengajari engkau (Muhammad) apapun yang belum kamu ketahui’. Pada ayat ini disampaikan bahwa Al-Quran dijadikan sebagai sumber literasi bagi Nabi Muhammad saw. sekaligus perintah untuk tanggap literasi. Untuk hari ini, Al-Quran banyak menginspirasi  munculnya banyak ragam ilmu, baik ilmu yang identik dengan urusan ibadah atau lainnya.

Di kesempatan lain, Ar-Razi menegaskan bahwa wahyu pertama di atas menunjukkan bentuk pemuliaan Allah dalam hal mendidik manusia, sembari mensifati Allah Yang Maha Mulia untuk memuliakan manusia melalui kitab pendidikan dan sumber literasi, yaitu Al-Quran.

Baca Juga: Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

Literasi dan peningkatan kualitas hidup manusia

Pendapat-pendapat para ahli tafsir di atas yang berkaitan tentang pentingnya literasi bagi umat Islam benar-benar diejawantahkan oleh para cendekiawan muslim berabad-abad lalu dengan lahirnya berbagai ilmu pengetahuan. Mereka menyadari betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Mereka kemudian merealisasikannya dengan menggiatkan literasi dengan cara penelitian, penerjemahan, dan penulisan karya.

Hal yang menjadi autokritik bagi kita adalah seringkali kita melihat kejayaan Islam di bidang ilmu pengetahuan di masa lalu sebagai sesuatu yang kita bangga-banggakan semata tanpa kita teladani, hingga akhirnya umat Islam sekarang banyak mengalami ketertinggalan. Padahal dalam Al-Qur’an, jelas dikatakan bahwa kata لِيَتتَفَقَّهوْا   (potongan ayat 122 surah at-Taubah) berarti ‘supaya mereka terus memperdalam (pengetahuan)’ yang berarti pendalaman pengetahuan baik agama maupun lainnya bersifat berkelanjutan tanpa henti.

Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan mengatakan bahwa لِيَتتَفَقَّهوْا  artinya mendengarkan apa yang terjadi di sekitar manusia, alias memperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat. Ini menjadi penting karena ketika pengetahuan hanya ada dalam pikiran, maka dia tidak bisa menjadi solusi bagi kehidupan.  Oleh karena itu, pengetahuan tersebut perlu disampaikan, terlebih lagi dipraktikkan dalam dunia nyata, bisa dengan menulis atau yang lainnya.

Berdasar cara pandang di atas, kita bisa mengatakan bahwa Islam sangat memerhatikan soal kualitas intelektual manusia dengan literasi dan mengujinya dengan memerhatikan kenyataan yang ada. Hal ini dilakukan agar ilmu pengetahuan bukan hanya sesuatu yang bersifat teori belaka dan jauh dari kenyataan masyarakat. Salah satu contoh yaitu ilmu fikih, sebuah displin ilmu yang berbasis pada banyak referensi dan selalu memperhatikan kondisi dan situasi masyarakat.

Sekali lagi, bagaimana kita memandang literasi itulah yang menentukan bagaimana ilmu pengetahuan diperlakukan dan diimplementasikan sebagai rahmat Allah bagi semesta alam. Maka sejatinya, literasi tidak melulu soal ilmu pengetahuan yang dibaca dan didiskusikan di ruang-ruang sempit dan terbatas pada retorika. Literasi bagi umat Islam adalah sebuah solusi yang dekat dengan kehidupan manusia. Wallahu a’lam