BerandaTafsir TematikTafsir IsyariTafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108: Makna Bersuci Bagi al-Ghazali

Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108: Makna Bersuci Bagi al-Ghazali

Thaharah atau bersuci memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tak hanya aspek fisik yang menjadikannya syarat keabsahan salat, tetapi juga nuansa metafisik bekal perjalanan salik menuju Khaliq. Meski begitu, nyatanya tak banyak tulisan yang membicarakan masalah bersuci dari aspek yang kedua. Oleh karena itu penulis tertarik menyajikan pembacaan ayat thaharah dalam perspektif tasawuf ala Imam Al-Ghazali.

Ada begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang membahas tentang bersuci. Paling tidak hal itu yang dapat dilihat dari munculnya ragam derivasi kata tha-ha-ra dalam Fath al-Rahman li Thalab Ayat al-Qur’an karya ‘Ilmi Zadah Faidlullah al-Hasaniy. Namun dari sekian banyak ayat tersebut, Al-Ghazali memilih QS. At-Taubah ayat 108 sebagai landasan hukum praktek bersuci.

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Bagi beberapa pembaca, ayat ini mungkin tidak asing karena masuk dalam rangkaian cerita Masjid Dlirar, salah satu cerita yang masyhur dijumpai dalam QS. At-Taubah. Ayat 108 ini sendiri berisi lanjutan pesan dari ayat 107, yang melarang umat Islam kala itu melakukan salat di Masjid Dlirar, sebutan untuk masjid yang didirikan Bani Ghanam bin ‘Auf dari kelompok Khazraj.

Sementara isyarat yang terkandung dalam redaksi lamasjidun ussisa sendiri mengacu pada Masjid Quba’ yang didirikan oleh Bani ‘Amr bin ‘Auf dari kelompok Aus yang masuk dalam kategori sahabat Anshar. Sehingga kata thaharah dalam ayat tersebut secara lahir merujuk pada kelompok Anshar ini, yang benar-benar mendasari pendirian masjid dengan takwa kepada Allah.

Baca juga: Tafsir Surat at-Taubah Ayat 107: Mengenal Masjid Dhirar dan Sikap Nabi Terhadapnya

Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108

Dari ayat ini Al-Ghazali menyebutkan dalam Mukhtashar Ihya’-nya bahwa konsep bersuci terbagi menjadi 4 fase, yakni thathhir al-dzahir ‘an al-ahdats atau membersihkan tubuh dari segala jenis hadas dan kotoran, thathhir al-jawarih ‘an al-jara’im wa al-atsam atau membersihkan anggota tubuh dari tindak perbuatan kriminal dan dosa, thathhir al-qalb ‘an al-akhlaq al-dhamimah atau membersihkan hati dari pekerti yang buruk, dan thathhir al-sirr ‘amm siwa Allah atau mengosongkan hati dari selain Allah.

Dalam karyanya yang lain, Al-Arba‘in fi Ushul al-Din, Al-Ghazali memberikan ulasan lebih lanjut bahwa pembagian fase tersebut muncul seiring dengan adanya pengaruh yang timbul dari satu lapisan fase menuju lapisan yang lain. Lapisan-lapisan fase ini sendiri ia sebut dengan qisyr atau kulit. Masing-masing kulit ini akan memberikan ta’tsir (dampak, efek, pengaruh) yang akan menembus ke dalam lapiran kulit yang lebih dalam. Ia mencontohkan,

فَإِنَّكَ إِذَا أَسْبَغْتَ الْوُضُوْءَ، وَاسْتَشْعَرْتَ نَظَافَةَ ظَاهِرِكَ، صَادَفْتَ فِي قَلْبِكَ انْشِرَاحًا وَصَفَاءً كُنْتَ لَا تُصَادِفُهُ مِنْ قَبْلُ

“Karena ketika Engkau telah menyempurnakan wudu, dan merasakan bersihnya zahir(tubuh)-mu, Engkau akan mendapati di dalam hatimu perasaan lapang dan jernih yang tidak Engkau dapati sebelumnya.”

Perjalanan antar-fase ini menjadi mungkin dikarenakan adanya hubungan (‘alaqah) antara dimensi fisik yang terlihat (‘alam al-syahadah) dan dimensi metafisik yang tidak terlihat (‘alam al-malakut).

Nilai aksentuasi dari thaharah sendiri terletak pada aspek yang lebih dalam. Semakin dalam fase yang didapat, semakin sempurna pula ritual thaharah yang dilakukan. Namun tidak menutup kemungkinan setiap fase memiliki aspek pentingnya tersendiri, yakni sebagai media menuju fase yang lebih dalam.

Sebenarnya akan menarik pula jika mengetahui alasan pemilihan Al-Ghazali terhadap QS. At-Taubah ayat 108 sebagai landasan dalil bersuci ini. Karena konteks peristiwa ayat ini tidak secara langsung membicarakan aktivitas bersuci. Penulis sendiri menduga adanya munasabah (kesesuaian) antara kisah dan nilai yang dikandung ayat 108 ini dengan pesan yang ingin disampaikan Al-Ghazali.

Kesesuaian tersebut ada pada isi QS. At-Taubah ayat 108 tentang isyarat akan kemurnian amal dan kebersihan hati dari segala iri hati, seperti perilaku Bani ‘Amr bin ‘Auf dari kelompok Aus, yang sesuai dengan isyarat thaharah pada aspek kebatinan, bukan sekadar penampilan luar. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...