BerandaUlumul QuranTafsir La Raiba Fih: Tiga Bantahan Terhadap Orang yang Meragukan Al-Qur'an

Tafsir La Raiba Fih: Tiga Bantahan Terhadap Orang yang Meragukan Al-Qur’an

Meragukan Al-Quran merupakan tindakan yang sangat dilarang oleh agama. Tindakan tersebut karena bertentangan dengan syara’ (hukum Allah) dan karakter al-Quran itu sendiri, yaitu tidak ada keraguan di dalamnya. Orang atau kelompok yang meragukan Al-Qur’an (kitab suci), bahkan benihnya sudah muncul sejak misi dakwah Nabi Muhammad Saw.  Justru tindakkan tersebut semakin bervariatif disebabkan perkembangan zaman dan kemajuan intelektual.

Ketika zaman Nabi, yang meragukan Al-Quran hanya bersifat oral (ucapan), maka masa kini memiliki varian yang sangat kompleks. Menganggap Al-Quran sihir dan sya’ir merupakan anggapan mereka di zaman kenabian. Namun sekarang dengan berkembangnya media dan teknologi seseorang yang meragukan Al-Quran terlihat nyata.

Disamping itu, keragu-raguan dan kebimbangan terhadap Al-Quran bisa muncul bahkan didominasi dari hati seseorang; sehingga hal tersebut tidak tampak jelas. Al-Quran sendiri sudah memprediksi fenomena tersebut akan terjadi. Sebagai antisipasi, Al-Quran melakukan langkah preventif untuk menetralisir keimanan seseorang yang meragukan Al-Quran.

Baca juga: Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Ahmad Musthafa Al-Maraghi (w. 1371 H) mengungkapkan bahwa keraguan terhadap Al-Quran disebabkan oleh empat faktor; pertama, kebodohan orang tersebut pada hakikat Al-Quran; kedua, mata mereka buta (khususnya melihat Al-Quran); ketiga, mereka memiliki kesombongan dan sifat keras kepala; keempat, menuruti hawa nafsu atau “taqlid buta” kepada orang lain. Tafsīr al-Marāgī (1, 40).

Tidak hanya faktor-faktor di atas, bisa jadi faktor yang lain juga dapat menjadikan manusia meragukan Al-Quran. Di antaranya adalah terkait dengan keaslian dan terbuktinya kandungan Al-Quran, khususnya dalam bidang sejarah. Sebagaimana sebagian tradisi Barat yang terus menanyakan terkait dengan keaslian kandungan sejarah yang ada dalam Al-Quran.

Akan tetapi, jauh sebelum itu Al-Quran sudah menantang orang-orang yang meragukan Al-Quran melalui salah satu ayatnya, yaitu Q.S Al-Baqarah [2]: 23.

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَداءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ (23)

Sekiranya kamu merasa ragu tentang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah sebuah surah yang sebanding dengannya. Dan ajaklah saksi-saksimu (tuhan-tuhanmu) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

Selain ayat di atas tantangan untuk membuat satu surat, dalam ayat lain juga ditemukan tantangan terhadap orang yang meragukan Al-Quran, seperti dalam Q.S Al-Isra [17]: 88 tantangan untuk mendatangkan serupa Al-Quran; Q.S Hud [11]: 13 dengan menantang mereka untuk mendatangkan 10 surat; Q.S Al-Thur [52]: 34 yang menyatakan bahwa tantangan kepada mereka untuk membuat satu kalimah serupa al-Quran.

Semua tantangan yang dikemukakan Al-Quran kepada orang yang meragukannya, sampai saat ini tidak bisa dibuktikan oleh orang yang meragukan al-Quran. Namun, tidak menutup kemungkinan keraguan terhadap Al-Quran bisa hilang, bahkan hal tersebut perlu diantisipasi dengan cara memberikan tiga bantahan atau argumen kepada orang yang meragukan Al-Quran. Berikut tiga bantahan tersebut.

Baca juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20

Pertama, Al-Quran Mengharuskan Adanya Proses Berfikir

Bantahan pertama ini bersifat umum, tidak melihat status keimanan seseorang. Dengan demikian, kemungkinan besar orang kafir juga ketika membaca dan melihat Al-Quran disertai dengan memikirkan isi kandungannya, maka kepercayaan terhadap Al-Quran akan tumbuh. Sebaliknya, keraguannya terhadap al-Quran akan memudar. Apalagi orang Muslim yang sanggup membaca al-Quran disertai dengan memikirkannya, akan menambah keyakinan.

Sebagaimana proses berfikir, seseorang tidak bisa melakukannya dengan kemampuan yang sederhana dan terbatas. Sebab, Al-Quran adalah kitab yang luar bisa sehingga meniscayakan kemampuan dan keahlian yang luar biasa juga. Sedikit banyaknya ilmu pengetahuan akan memengaruhi pada proses berfikir seseorang.

Dengan demikian, ketika seseorang meragukan atau mempertanyakan perihal keautentikan Al-Quran maka yang perlu dilakukan adalah mengajak mereka berfikir tentang Al-Quran. Dimulai dari hakikat al-Quran, kemudian menjelaskan sifat-sifatnya, yang terakhir memunculkan kemukjizatan Al-Quran.

Proses tersebut tidak hanya harus memiliki kamurnian berfikir, namun hati dan jiwa juga perlu dilibatkan. Sehingga ketika membangun bantahan dengan poin pertama ini harus keluar dari hati dan jiwa yang bersih, supaya sampai kepada hati orang yang meragukan Al-Quran. Metode penyampain dan komunikasi tentunya memengaruhi sukses dan tidaknya bantahan pertama ini.

Oleh karena itu akal, jiwa, dan hati merupakan tiga komponen yeng memiliki peran signifikan. Kesuksasan dalam ‘bantahan’ ini akan membuahi kepatuhan, ketundukan, dan sanggup mengkonstruksi sebuah dalil serta memiliki analisis tajam terkait dengan Al-Quran.

Baca juga; Tafsir Ahkam: Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu

Kedua, Meyakini Al-Quran Adalah Petunjuk yang Jelas

Walaupun dalam kalimat lā raiba fīh berupa kalimat nafi, namun memiliki makna nahyi (melarang). Dengan demikian, bukan hanya meniadakan sifat keraguan terhadap al-Quran, lebih dari itu seseorang dilarang untuk meragukan al-Quran. Larangan tersebut dikarenakan dalil yang menunjukkan pada sumber Al-Quran (Allah) sudah jelas.

Bantahan kedua ini sekaligus mengoreksi anggapan orang terdahulu; menurutnya Al-Quran rekayasa Nabi Muhammad saw untuk kepentingan diri sendiri. Padahal pada permulaan ayat turun saat itu Nabi belum bisa menulis dan membaca. Kenyataan tersebut bukan mengkonfirmasi Nabi bodoh, tetapi mempertegas dan membantah anggapan orang kafir masa itu terkait dengan sumber Al-Quran.

Lebih luasnya, Al-Quran tidak hanya menunjukkan dirinya bersumber dari Allah S.w.t. melainkan mencakup konsepsi dan petunjuk hidup yang komprehensif (menyeluruh). Hal demikian tentunya tidak bisa dibuktikan dengan cara sederhana, karena al-Quran bersifat universal. Dengan demikian, al-Quran sebagai petunjuk yang jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut oleh orang yang berkompeten (mufasir), dengan tujuan memberikan kejelasan makna kepada mereka yang meragukan dan kurang pengetahuan terhadap al-Quran.

Ketiga, Hanya Orang Beriman yang Tidak Meragukan Al-Quran

Pada bantahan ketiga ini, kalimat lā raiba fīh “tidak ada keraguan di dalam Al-Quran” dikhususkan bagi orang yang beriman. Berbeda dengan yang pertama, siapa saja bisa meyakini dan meragukan al-Quran, di poin ini secara tegas menyebutkan bahwa orang kafirlah yang meragukan al-Quran, sementara itu orang yang berimanlah yang meyakini al-Quran.

Baca juga: Mengenal Dua Tafsir Karya Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an dan Al-Arba‘in fi Ushul al-Din

Secara tersirat bantahan ini memiliki nilai dakwah; seolah-olah dalam bantahan ini mengajak beriman dan menjauhi perbuatan menyekutukan Allah. Karena ancaman menyekutukan Allah adalah neraka. Bisa jadi, bantahan ini difahami sebagai syarat untuk menghilangkan keraguan terhadap al-Quran.

Penjelasan di atas dapat dijadikan sebagai argumen ketika mengahadapi orang yang meragukan al-Quran. Disamping itu, bagi mufasir, lafaz lā raiba fīh memiliki tiga sifat; 1) umum; 2) nahyi (larangan); dan 3) khusus (bagi orang beriman). Dari tiga sifat tersebut akan melahirkan sebuah konklusi (kesimpulan) yang menyatakan keaslian Al-Quran dan kepatuhan kepadanya. Wallahu A’lam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU