BerandaTafsir TematikTafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Pada era kontemporer ini, lahir metode tafsir bernuansa maqashidi atau kebermaksudan. Istilah “maqashid” sebenarnya sudah dikenal dan telah familiar di kalangan Muslim sejak dulu. Tetapi, istilah ini masih kuat kaitannya dengan fiqih-ushul fiqih; istilah tafsir maqashidi sendiri, merupakan istilah yang cukup baru dalam ranah kajiam tafsir. Meskipun, maqashidi ini telah memiliki jaringan, “cantolan” pada praktik-praktik yang diterapkan pada zaman Nabi s.a.w. dan sahabat; seperti ijtihad Sayyidina Umar mengenai pembatalan hukum potong tangan dikarenakan saat itu musim “paceklik” yang di sana nampak dimensi maqashidiyah-nya (Abdullah Saeed, 2016: 61).

Tafsir Maqashidi merupakan susunan takrib shifat-maushuf (Maqashidi: shifat; tafsir: maushuf), maka dapat kita pahami, bahwa tafsir maqashidi adalah “tafsir  bernuansa kebermaksudan”. Artinya, tafsir maqashidi merupakan salah satu dari variasi ragam penafsiran yang di sana berupaya untuk menguak makna-makna logis serta rasional dan tujuan-tujuan yang beragam dalam al-Quran baik pada itu ayat-ayat yang universal maupun partikular. Yang tujuan dari itu adalah untuk “tahqiqul mashlahah” merealisasikan mashlahah “wa dar-ul mafsadah” dan menjauhkan dari sebab timbulnya kerusakan (Abu Zayd, 2020).

Baca Juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Abdul Mustaqim, Guru Besar IAT UIN Suka, merincikan tujuan hadirnya metode tafsir bernuansa maqashidi adalah, “sebagai pelengkap metode-metode penafsiran yang sudah ada, serta menjadi pelengkap bagi penafsiran yang belum mencermikam dimensi kebermaksudan”—seperti kajiannya hanya seputar linguistik, hanya seputar asbabun nuzul, hanya seputar kajian tematik (maudlu’i), hanya seputar kisah israiliyat, dsb. Yang demikian itu belum menunjukkan dimensi maqasidiyah, yakni mengenai “apa sebenarnya maksud dan tujuan sebuah ayat itu?”.

Di bawah ini akan kami sajikan contoh dari Tafsir Maqashidi yang diuraikan oleh Abdul Mustaqim dalam salah satu kuliah Tafsir Maqashidi, beliau menguraikan makna kata “adl-ribuhunnapukullah! dalam QS. An-Nisa’ ayat 34,

وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan tinggalkan mereka di tempat-tempat pembaringan dan pukullah mereka. Lalu, jika mereka telah menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.

Penggalan ayat di atas berbicara mengenai bagaimana cara suami mendidik seorang istri-istrinya. Dalam tafsir al-Munir misal, jika istrinya berbuat nusyuz (membangkang) maka al-Quran menurunkan tiga –urutan, sebab sebagian ulama mengatakan bahwa langkah-langkah berikut harus dilakukan secara berurutan–opsi, yakni menasihati, kemudian pisah ranjang–sebab istri akan cemas dan tahu akan perbuatannya adalah salah sehingga tobat– kemudian opsi terakhir adalah memukul (az-Zuhaili, 2013: 80-81).

Mengenai kata, “wadl-ribuhunna”. Sebelum beranjak lebih jauh, penulis ingin paparkan sedikit respon menyangkut “maqashid” dari syariat (perintah, berupa pembolehan, pengharaman–aturan); Tujuan dari diturunkannga syariat (baik dari Quran maupun Sunnah) adalah demi “tahqiqul mashlahah” (merealisasikan mashlahah) sekaligus “wa dar-ul mafsadah” menghindarkan yang mafsadah, yang fasad, yang buruk dan bersifat merusak” misal dalam QS. An-Nisa ayat 34 mengenai kalimat wadl-ribuhunna” dan pukullah! Jika makna itu hanya dipahami secara literal, maka yang terjadi malah menimbulkan konflik baru, menumbulkan kerusakan (berupa perpecahan) dalam bahtera rumah tangga.

Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan, jika istri (dikhawatirkan) melanggar aturan agama (membangkang), maka—suami diperintahkan untuk memahamkan dengan—pilihan terakhirnya “wadl-dlribūhunna” pukulah mereka (istri-istri kamu). Makna “pukullah!” bukan seperti dikatakan dalam tafsir yang dinisbatkan pada Jalalain, “pukul dengan pukulan keras” namun adalah pukulan simbolis (Abdul Mustaqim) yang ringan dan tidak mencederai (al-dlarbu ghairu al-mubarrih) yakni pukulan yang tidak menyakitkan. Sebab apa, inti pernikahan adalah “keharmonisan” (mawaddah). Jika sampai ada kekerasan (violence) maka, “apakah rumah tangga itu akan harmonis ?” Tentu malah—pasti bisa—menghadirkan sikap benci pada salah satu pihak.

Tujuan dari—perintah—itu adalah untuk memahamkan dan memberi pengertian akan aturan yang istri langgar tidak dapat disepelekan. Maka agama memerintahkan untuk memberi pengertian, dengan opsi terakhirnya adalah memberi pukulan. “Pukulan” itu dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, bahwa “(aturan) itu adalah perintah yang tidak boleh dilanggar”. Sebagaimana uraian Prof. Wahbah Zuhaili, bahwa pukulan itu dimaksudkan untuk mengingatkan istri agar kembali menjadi baik, bukan maksud lain (az-Zuhaili, 2013: 80). Kalau maksudnya adalah pukulan keras, maka akan bertolak belakang dengan ideologi gagasan yang sedari awal Quran tawarkan.

Baca Juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Dari contoh di atas, bisa kita pahami bahwa tidak serta merta maksud ayat seperti yang dituliskan, yakni misal perintah “pukullah!”, namun maksud pukulan itu hanya sebagai gambaran mengenai apa yang dilakukan istrinya bisa berujung keburukan (fasad). Oleh karenanya, al-Quran menggambarkan keburukan yang dilakukan oleh sang istri dengan menggunakan diksi pukul, walau pukulan itu hanya simbolis, umpamanya pukulan tiga kali di bahu dengan tangan, menggunakan kayu siwak, atau selainnya yang tidak mencederai (az-Zuhaili, 2013: 80).

Tujuan dari tafsir maqashidi adalah demi mewujudkan maksud dan tujuan-tujuan di balik teks-teks keagamaan yakni al-Quran (sebagai verbatim Tuhan) dan sunnah demi terlaksananya mashlahah. Tentunya di balik perintah dan pembolehan itu, pasti terdapat maqsad (maksud) dan tujuan. Yang demikin itu, terkadang tidak bisa hanya dimaknai secara literal saja, tapi membutuhkan penjelasan, pengungkapan. Wallahu A’lam.

Muhammad Fathun Niam
Muhammad Fathun Niam
Mahasiswa Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU