Diskursus tafsir maqashidi sejak tiga tahun kebelakang menjadi primadona di dunia Ilmu Al-Quran dan Tafsir, khususnya di Indonesia. Padahal, dalam konteks yang luas maqashid Al-Quran telah digaungkan oleh mufasir dan ahli ushul fikih. Sehingga, tidak heran ada kedekatan konsep antara maqashid al-syari’ah dengan maqashid Al-Quran. Berangkat dari itu, karena tafsir maqashidi bukan sebagai metode atau pendekatan belaka, melainkan mencapai pemahaman dalam mencapai hidup yang ideal. Tulisan singkat ini akan memberikan pandangan singkat terkait dengan maqashid Al-Quran sebagai fondasi mencapai kebahagiaan.
Namun, apabila dianalisis lebih mendalam ada perbedaan yang signifikan antara kedua konsep tersebut. Dr. Wasfi ‘Asyur Abu Zayd dalam bukunya, yang dialihbahasakan oleh Ulya Fikriyati dengan judulnya Metode Tafsir Maqasidhi Memahami Pendekatan Baru Penafsiran Al-Quran menyebutkan, kami menetapkan bahwa maqashid Al-Quran lebih luas dan lebih mencakup banyak hal dibandingkan dengan maqashid al-syari’ah.
Baca juga: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 237: Bagaimana Mahar Jika Terjadi Perceraian dalam Pernikahan?
Dengan begitu, tafsir maqashidi bukan sebagai metode atau pendekatan belaka, melainkan mencapai pemahaman dalam mencapai hidup yang ideal. Misalnya, tafsir maqashid diekplorasi dengan moderasi Islam; atau dikombinasikan dengan konsep pribumisasi Islam. Tulisan singkat ini akan memberikan pandangan singkat terkait dengan maqashid Al-Quran sebagai fondasi menggapai kebahagiaan.
Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati
Al-Quran telah memberikan perhatian kepada manusia sebagai salah satu objek diturunkannya kitab tersebut. Perhatian tersebut dapat dilihat dari bagaimana Al-Quran memberikan resep yang diinginkan oleh manusia itu sendiri. Kebahagiaan sejati menjadi salah satu dari sekian banyak cita-cita manusia. Kendati demikian, ada hubungan dekat antara keduanya.
Pertama, hubungan visi dan misi. Seseorang tidak akan memahami dan menjadikan Al-Quran sebagai teman dalam kesehariannya, kecuali memahami apa yang diinginkan Al-Quran. Visi Al-Quran diturunkan cukup beragam sampai yang bersifat universal, menjadi pedoman manusia; hingga yang khusus, seperti menjadikan manusia sebagai makhluk yang terbaik.
Baik visi yang sifatnya umum atau khusus, visi tersebut merupakan cita-cita manusia ketika mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Al-Quran mencantumkan langkah-langkah untuk menggapai visi tersebut. Sangat sederhana dan tidak sulit, Al-Quran memberikan tips supaya manusia mengikuti perintah Allah sebagai sumber Al-Quran dan Nabi Muhammad sebagai utusan dalam membumikan Al-Quran.
Kedua, hubungan proses. Titik penekanan maqashid Al-Quran adalah memenuhi nilai-nilai universal manusia, meliputi hidup, agama, jiwa, harta, dan keturunan. Namun, nilai-nilai tersebut merupakan sebagian dari proses menemukan maqashid Al-Quran.
Proses dalam menemukan maqashid Al-Quran pertama kali dengan memperhatikan redaksi ayat tersebut. Terkadang, dalam ayat tersebut disebutkan secara langsung tujuan diturunkannya Al-Quran. Ditempat lain tidak disebutkan secara rinci apa dan bagaimana tujuan diturunkannya ayat tersebut. Kasus tersebut harus dipecahkan dengan teknis yang lebih terperinci.
Baca juga: Mengapa Para Pecinta Rasulullah Sulit Mengisahkan Kemuliaan Nabi Saw?
Bagaimanapun proses menemukan maqashid Al-Quran adalah fondasi mencapai kebahagiaan sejati. Kenapa demikian? Karena manusia telah menemukan apa yang telah diinginkan oleh dirinya sendiri, telah memenuhi sesuai tujuan pedomannya (dengan tidak menyebutkan diinginkan Allah). Setelah menemukannya, manusia lebih yakin bahwa tujuan Al-Quran bukanlah sebagai beban, melainkan untuk memenuhi kebahagiaan.
Misalnya dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 38.
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًاۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (٣٨)
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Ayat di atas merupakan salah satu contoh ayat yang secara eksplisit (jelas) disebutkan maqashidnya. Bahwa petunjuk atas perkara agama maupun dunia bagi manusia, Al-Quran telah melukiskannya. Maksudnya, Al-Quran yang disebut sebagai pedoman bahkan petunjuk pada dasarnya akan menjadi modal bagi manusia untuk meraih kesenagan.
Yang dimaksud dengan “petunjuk” di dalam ayat tersebut adalah petunjuk Allah. Muhammad Sayyid Thanthawi berpendapat, bahwa penggabungan lafaz هُدًى dengan lafaz هُدَايَ memiliki faedah mengagungkan sekaligus menegaskan bahwa petunjuk Allah lah yang paling berhak untuk diikuti; sehingga kita akan mendapatkan ketenangan di dunia dan kebahagiaan di akhiraat (al-Tafsir al-Wasith li Thanthawi 1,103).
Berangkat dari itu, bahwa petunjuk Allah, baik Al-Quran atau yang tersirat, tujuannya adalah menjaga manusia dari rasa sedih dan membentuk umat bahagia, di dunia dan di akhirat.
Kendati kebahagiaan menjadi keinginan semua manusia, namun untuk menggapainya tidak sederhana, seperti membalikan telapak tangan. Disamping maqashid di atas, ayat tersebut juga menampilkan maksud lain, salah satunya adalah prosesi dalam mencapai jiwa yang tenang.
Qs. Al-Baqarah [2]: 38 tersebut menurut Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya (al-Tafsir al-Wasith li Zuhaili 1, 24) berhubungan dengan kediaman Nabi Adam as dan Hawa, yakni di surga. Spesifiknya, ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada Nabi Adam dan Hawa supaya meninggalkan surga.
Meninggalkan tempat tinggal bagi siapa pun pasti akan merasakan kesedihan, berat, dan penuh tantangan. Namun, Allah dalam ayat tersebut memberikan cara supaya tidak merasakan kesedihan yaitu dengan mengikuti petunjuk-Ku.
Dari analisis tersebut, maqashid yang didapatkan yaitu seseorang yang menginginkan kebahagiaan, kesenangan sejati, dan ketenangan jiwa pasti melewati terlebih dahulu kekecewaan dan kesedihan. Tetapi, setelah itu manusia akan menemukan petunjuknya dan jalannya untuk keluar dan sanggup beradaptasi dengan keadaan. Di sinilah manusia akan merasakan kesenangannya. Wallahu A’lam.