Dengan memahami penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256, tidak hanya memperkaya wawasan tentang prinsip kebebasan beragama dalam Islam, tapi juga mendapatkan panduan praktis untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis di era global.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۗ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الغَيِّ ۗ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Maka barang siapa yang kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Albaqarah [2]: 256)
Baca Juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama
Ayat di atas sering kali dijadikan dasar untuk mendiskusikan kebebasan beragama dalam Islam. Dalam konteks ini, penafsiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan perspektif yang sangat progresif dan relevan dengan tantangan kontemporer. Lalu, bagaimana Gus Dur menafsirkan ayat ini, dan apa kontribusinya terhadap pemahaman kebebasan beragama dalam Islam, serta tantangan dan argumen terkait penerapannya di dunia modern?
Gus Dur menawarkan tafsir yang mendalam dan inovatif terhadap surah Albaqarah ayat 256. Dengan menekankan bahwa ayat ini mencerminkan prinsip kebebasan beragama yang fundamental dalam Islam. Beberapa poin kunci dari penafsiran Gus Dur adalah: Pertama, kebebasan beragama sebagai hak asasi.
Menurut Gus Dur, ayat ini menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang harus dihormati. Ia berpendapat bahwa iman dan praktik agama haruslah berdasarkan keyakinan pribadi, bukan paksaan. Menurutnya, “Kebebasan beragama dalam Islam adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar dan harus dihormati sebagai bagian dari hak asasi manusia.” (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 45).
Kedua, pluralisme dan toleransi. Islam, menurut Gus Dur, mengakui hak individu untuk memilih agama mereka dan mendukung kehidupan berdampingan dengan berbagai keyakinan dalam masyarakat. Ia menjelaskan, “Ayat ini seharusnya dipahami sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang plural dan toleran, di mana perbedaan keyakinan harus dihargai.” (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 52).
Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran
Dan ketiga, implementasi dalam konteks modern. Gus Dur mengaitkan tafsirnya dengan konteks sosial dan politik modern. Ia berpendapat bahwa prinsip kebebasan beragama dalam masyarakat kontemporer harus mencerminkan nilai-nilai pluralisme dan hak asasi manusia. Maka dari itu, perlu kiranya untuk menafsirkan ayat di atas sesuai dengan prinsip kebebasan beragama dengan standar hak asasi manusia internasional. (Wahid, Abdurrahman, Islam dan Pluralisme, 67).
Sebenarnya, penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256 ini, berakar pada pemahaman bahwa kebebasan beragama adalah nilai inti dalam Islam. Gus Dur melihat ayat ini sebagai pernyataan bahwa iman tidak boleh dipaksakan, yang mendasari prinsip toleransi dan pluralisme dalam masyarakat.
Penekanan Gus Dur pada pluralisme dan hak asasi manusia menunjukkan bahwa ayat ini relevan dalam konteks modern, di mana kebebasan beragama menjadi isu global yang penting. Dalam Pemikiran Gus Dur dalam Perspektif Al-Qur’an (hlm. 89) Muhammad Ali mencatat, “Gus Dur membawa perspektif baru dengan menekankan pentingnya pluralisme sebagai bagian dari ajaran Islam yang autentik”.
Penafsiran Gus Dur yang lebih fleksibel dan inklusif terhadap ayat ini mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama harus diterjemahkan dalam konteks pluralisme modern. Penafsiran ini mengusulkan bahwa masyarakat harus mengadopsi sikap terbuka dan menghargai perbedaan keyakinan.
Jadi, menurut penulis Ini penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan adil, yang mendukung hak-hak individu dalam kerangka nilai-nilai universal hak asasi manusia. Mohammad Hashim Kamali dalam Prinsip-Prinsip Fikih Islam (hlm. 133) menjelaskan, “Penafsiran yang inklusif terhadap ayat ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih adil dan harmonis dengan mengakui hak individu untuk kebebasan beragama”.
Dalam dunia yang semakin global dan pluralistik, penting untuk menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial dan budaya. Penafsiran Gus Dur menawarkan wawasan yang penting dalam memahami bagaimana prinsip kebebasan beragama dapat diterapkan dalam masyarakat yang beragam, sambil tetap menghormati prinsip-prinsip dasar Islam.
Baca Juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam
Jadi, penafsiran Gus Dur terhadap surah Albaqarah ayat 256 menawarkan panduan yang penting dalam memahami kebebasan beragama dalam Islam. Dengan penekanan pada hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi, tafsir Gus Dur menjadi relevan dengan tantangan dan dinamika kontemporer. Meskipun penerapan prinsip kebebasan beragama dapat menghadapi tantangan, penafsiran progresif seperti yang diusulkan Gus Dur memberikan dasar untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.
Dengan demikian, menyelami tafsir Gus Dur terhadap surah Albaqarah (2:256) membawa pada pemahaman yang lebih dalam tentang esensi kebebasan beragama dalam Islam. Gus Dur mengajukan perspektif bahwa kebebasan beragama bukan hanya sebuah prinsip normatif, tetapi merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.