Setiap penduduk di belahan dunia mana pun pasti menginginkan negaranya makmur, sejahtera, aman, dan tentram. Jauh dari kesempitan, pertengkaran, kemerosotan, dan segala bentuk mafsadah-mafsadah lain. Kelirunya, maslahah tidaknya suatu negara, tidak jarang dipahami bahwa ini hanya terwujud tergantung pada pemimpinnya. Rakyat terlalu memfokuskan dirinya menilai pemimpin tanpa memenuhi tugasnya sebagai rakyat.
Seorang pemimpin selalu saja menjadi sorot tudingan rakyat ketika kemunduran dalam suatu negara terjadi. Bukankah suatu negara berjalan dengan baik ketika pemimpin dan yang dipimpin saling bekerja sama membangun kemajuan negeri? Sebelum menjawab, terlebih dahulu simak Q.S. Hud [11]: 117 berikut.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ
Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedangkan penduduknya berbuat kebaikan.
Ayat di atas menunjukkan janji Allah, bahwa Dia akan senantiasa menjaga suatu wilayah satu daerah dari turunnya azab, apabila penduduk dalam suatu daerah tersebut selalu berbuat baik. Ini ditunjukkan pada term muslihun yang merupakan isim (kata benda), tidak terikat dan tidak dibatasi oleh waktu, sehingga ‘perbuatan baik’ mengarah pada pengertian sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan atau terus-menerus dilakukan.
Baca Juga: Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran
Term muslihun pada Q.S Hud ayat 117
Kata muslihu merupakan jamak dari kata muslih, bentuk isim fa’il tsulatsi mazid dari lafaz aṣlaḥa-yuṣliḥu, yaitu term ṣalaḥa yang mendapat ziyadah atau tambahan huruf alif. Sesuai kaidah wazan af’ala yang mendapat ziyadah alif, kebaikan ini diarahkan pada makna kesalehan sosial.
Oleh karenanya, lafaz muṣliḥ lebih tepatnya didefinisikan sebagai orang yang senantiasa melakukan perbaikan, baik bagi diri sendiri, maupun masyarakat luas. Kebaikannya tidak hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan lafaz salih, bentuk isim fail dari tsulatsi mujarrad ‘ṣalaḥa’, ia bermakna hamba yang taat secara personal, atau orang yang berbuat kebaikan untuk dirinya sendiri.
Ragam penafsiran Q.S. Hud ayat 117
Berkenaan ayat di atas, al-Sya’rawi menuturkan bahwa suatu daerah yang memiliki penduduk yang sehat dalam konteks hubungan sosial, Allah tidak akan menghancurkan daerah tersebut, sebab mengikuti apa yang diperintahkan-Nya agar berbuat baik bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, gerak manusia menjadi seimbang dengan pergerakan alam semesta, tidak bertentangan. Sebaliknya, antara manusia dan alam semesta saling mendukung dan bekerja sama, sehingga dapat mewujudkan apa yang diharapkan masyarakat. (Tafsir al-Sya’rawi, 11/753)
Apa yang disampaikan al-Sya’rawi ini menunjukkan bahwa antara apa yang terjadi di dunia dan perilaku manusia terhadap sesama saling berhubungan. Ini dapat dilihat dalam realitas sosial, sebagai misal, masyarakat yang memiliki kebesaran hati untuk saling menghargai satu sama lain, bersikap adil satu sama lain, maka perselisihan sangat minim terjadi, sehingga akan terciptanya negara yang damai, tentram, dan tertib untuk kemudian mewujudkan kemajuan negara bersama-sama.
Lebih lanjut, al-Sya’rawi menerangkan pada redaksi selanjutnya, bahwa term muslihun tidak dalam konteks beriman atau tidaknya suatu penduduk, melainkan memperbaiki dirinya sendiri, sehingga kemudian mampu bermua’asyarah dengan sesama manusia dengan baik pula.
Dengan demikian, Allah tidak membinasakan penduduk dalam suatu daerah dikarenakan mereka kafir, selama mereka mematuhi hukum perundang-undangan pemerintah yang mengatur hak-hak dan kewajiban mereka sebagai rakyat. (Tafsir al-Sya’rawi, 11/754)
Baca Juga: Term Fasad dan Pemaknaannya dalam al-Qur’an, dari Penyimpangan sampai Kerusakan Lingkungan
Sebaliknya, meski penduduk adalah orang beriman dan hubungan penghambaan kepada Allah baik, namun hubungan kepada manusia buruk, ini tidak dapat dikatakan sebagai muslihun Kebinasaan suatu daerah atau negara pelan-pelan akan mengalami kemunduran sebab penduduknya memiliki hubungan buruk terhadap sesama manusia.
Ini senada terhadap penafsiran Muhammad Abdul Latif al-Khatib, bahwa kerusakan suatu daerah disebabkan karena dosa-dosa penduduknya, kedurhakaan atau perilaku menyeleweng mereka dan sikap sewenang-wenang di luar batas aturan yang telah ditetapkan pemerintah. (Auḍah al-Tafasir, 1/278) Hemat penulis, perilaku buruk tersebut adalah dilakukan terhadap sesama manusia, sehingga memungkinkan suatu daerah mengalami kemunduran.
Hal serupa juga dipaparkan oleh al-Razi mengenai ayat di atas, bahwa Allah tidak akan membinasakan suatu daerah hanya karena penduduknya berakidah menyimpang, yakni syirik maupun kufur, sementara mereka berperilaku sosial yang baik dan adil. Ini berdasarkan azab yang ditimpakan Allah kepada umat terdahulu, yang mana ‘azab al-isti’ṣal (azab yang dahsyat), sebagaimana menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, dan lainnya, dipicu oleh perilaku sosial mereka yang merugikan serta mengancam kehidupan masyarakat secara umum, bukan semata-mata karena akidah mereka yang menyimpang. (Mafatih al-Ghaib, 18/410)
Relasi dosa sosial dengan kemunduran suatu negara
Sebagaimana pemaparan dari ragam penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa kontekstualisasi Q.S. Hud ayat 117 berkenaan dosa-dosa sosial. Maka, sangat tidak dapat dibenarkan jika mengaitkan bencana alam dengan kemusyrikan atau kekufuran. Justru kebinasaan yang didatangkan oleh Allah adalah hasil dari dosa sosial manusia terhadap sesama, seperti bertindak kejahatan, menzalimi, mencaci-maki, dan tindakan buruk lain terhadap manusia lainnya.
Baca Juga: Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran
Apabila pemimpin menjalankan hak dan kewajiban dengan baik, disusul dengan penduduk yang bertindak demikian juga sesuai porsinya masing-masing, maka akan memungkinkan suatu negara tidak mengalami kemunduran, dan berjalan lebih maju. Masihkah mau meneruskan kerusakan antar sesama yang berimbas pada kebinasaan negara hanya karena perselisihan? Entah itu masalah ekonomi, politik, atau hal lain.
Untuk itu, tidaklah benar memfokuskan tudingan kemunduran suatu negara hanya karena pemimpinnya. Karena pada dasarnya, berjalannya suatu negara dengan baik adalah pemimpin dan rakyat saling bekerja sama. Cukuplah kita sebagai masyarakat bermuhasabah, apakah sudah menjadi rakyat yang baik bagi negara sendiri untuk senantiasa berbaik kepada sesama, mematuhi peraturan perundang-undangan, dan menghindari perselisihan?
Wallahu A’lamu.