Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang cukup populer dan sering dibahas terkait tema kehidupan rumah tangga adalah QS. An-Nisa: 34. Bila dibaca sekilas, ayat ini seakan-akan mengandung ajaran bahwa kepemimpinan di keluarga berada di tangan suami dan kewajiban istri untuk patuh secara mutlak kepada suaminya. Begitulah narasi yang juga sering terdengar. Namun benarkah demikian adanya? Mari kita bahas kembali kandungan ayat tersebut yang berbunyi:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34]
Artinya, “Laki-laki adalah pengayom bagi perempuan sebab keistimewaan yang diberikan Allah dan sebab mereka menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34).
Seringkali ayat di atas oleh sebagian kalangan – Termasuk banyak tafsir yang beredar di pesantren – dijadikan dalil yang menjustifikasi superioritas kaum laki-laki, khususnya sebagai pemimpim keluarga. Pada dasarnya, pandangan seperti ini tidak seluruhnya salah sebagaimana tidak seluruhnya benar. Akan tetapi, yang dimaksud dengan pemimpin dalam institusi keluarga adalah kemimpinan yang berdasarkan musyawarah bukan kepemimpinan yang berdasarkan otoritas semena-mena.
Oleh karena itu, kepemimpinan dalam keluarga hendaknya tidak selalu berdasarkan kehendak suami semata, tanpa melibatkan unit-unit yang ada dalam keluarga tersebut. Ada anggota keluarga lain yang perlu diperhitungkan haknya, semisal anak, dan terlebih lagi istri.
Sementara itu, pada ayat di atas ada term gender, yaitu kata rijal yang disandingakan dengan kata nisa sebagai lawan dari rijal. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa kata rijal biasanya dimaknai dengan laki-laki dan kata nisa dengan makna perempuan. Akan tetapi ada makna lain dari kedua kata tersebut. Dr. Hj. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an (hal. 110), mengatakan bahwa istilah-istilah gender dalam Al-Qur’an memiliki makna-makna yang signifikan.
Baca juga: Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer
Makna sosiologis kata rijal dan nisa yang sangat cair
Term nisa identik dengan konotasi feminin, domestik, lemah lembut, bahkan bermakna banyak lupa sebagaimana dikatakan Lois Ma’luf dalam kitab al-Munjid fi al–Lughah wa al-A’lam (hal. 807). Sedangkan kata rijal bermakna orang yang berjalan kali, karena rijal merupakan bentuk plural al-rajil yang terambil dari kata al-rijlu yang bermakna kaki.
Hal ini, karena pada zaman Al-Qur’an di turunkan, laki-laki (suami) seringkali berjalan untuk mencari nafkah sementara istri hanya tinggal di rumah. Oleh karena itu, laki-laki yang berusaha berjalan untuk mencari nafkah adalah qawwam (pengayom/pemimpin) dalam rumah tangga (al-Ashafani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an).
Pemaknaan seperti ini berdasarkan perwujudan bahasa atau peristiwa bahasa yang dikembangkan dalam studi lingusitik filologi yang tidak bisa terlepas dengan budaya suatu bangsa. Sebagaimana pengertian di atas, bahwa rijal adalah orang yang berjalan, berupaya, dan berusaha untuk mengayomi dang menghidupi keluarganya, sehingga ia mendapatkan jabatan qawwam atau pemimpin.
Maka, menurut Dr. Zaitunah, secara sosiologis siapapun yang mampu berjalan, berusaha, dan berupaya untuk mengayomi dan menjadi penopang keluarga, dialah yang menjadi pemimpin. Dialah yang disebut rijal dalam ayat di atas, tanpa memandang apakah ia perempuan secara biologis ataupun laki-laki.
Jadi, jika ada seorang wanita (istri) lebih aktif dalam keluarga, bekerja untuk mencari nafkah dari berbagai profesinya masing-masing, maka sejatinya wanita itulah yang disebut rijal (pria) secara sosiologis. Kendatipun, secara biologis ia adalah perempuan yang tetap mengalami haid, melahirkan, dan sebagainya sebagai sifat kodratinya.
Sebaliknya, jika ada laki-laki yang hanya menganggur di rumah, tanpa ada usaha untuk mencari nafkah karena berbagai faktor, maka sejatinya ia adalah nisa (perempuan) secara sosiologis, meskipun secara biologis ia tetap adalah laki-laki.
Melalui pendeketan seperti ini terhadap ayat di atas, maka pemahamannya lebih komprehensif dan lebih holistik, di mana seorang laki-laki diangkat menjadi pemimpin sebenarnya bukan karena faktor ia berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, lebih disebabkan sebagaimana disebutkan oleh kelanjutan ayat tersebut, yaitu karena sudah diberi keistimewaan oleh Allah (keistimewaan yang bersifat temporal) dan karena berusaha menafkahi dan mengayomi keluarganya.
Tidak hanya itu, ayat tersebut dengan pendekatan seperti di atas juga akan mencakup kepada wanita-wanita tangguh yang memperjuangkan rumah tangganya sendirian. Karena realitas di masyarakat tidak sedikit wanita yang berusaha mencari nafkah sendiri walaupun sudah bersuami karena banyak faktor. Semisal suaminya mengalami disfungsi (cacat), atau karena istrinya berpendidikan sehingga menjadi dosen dan sebagainya, sementara suaminya pengangguran. Dengan demikian, wanita-wanita seperti ini adalah rijal secara sosiologis. Wallahu a’lam.
Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin