Problematika kesamaan setiap insan dalam Islam terkadang kurang diperhatikan, sehingga mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Padahal ‘kesamaan’ dalam Islam, khususnya al-Quran, sangat diprioritaskan dan diperhatikan sebagai semangat lahirnya agama Islam. Surah Abasa ayat 1-10 mengandung informasi adanya kesamaan dalam Islam. Oleh karena itu, menarik untuk memperdalami tafsir Surah Abasa ayat 1-10 menurut Wahbah Al-Zuhaili dan bagaimana persamaan dalam Islam.
Wahbah Al-Zuhaili dikenal sebagai mufasir abad modern dan memiliki gaya penafsiran yang khas. Walaupun memberikan perhatian lebih dalam masalah fiqih, dalam karya agungnya al–Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Mahaj kita dapat menemukan mulai dari tematik, kajian kebahasaan, balgah, hingga asbab nuzul (jika ada). Mode penafsiran demikian juga dapat didapati pada penafsirannya terhadap Q.S ‘Abasa [80]: 1-10.
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ ١ أَن جَآءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ ٢ وَمَا يُدۡرِيكَ لَعَلَّهُۥ يَزَّكَّىٰٓ ٣ أَوۡ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰٓ ٤ أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ ٥ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ ٦ وَمَا عَلَيۡكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ ٧ وَأَمَّا مَن جَآءَكَ يَسۡعَىٰ ٨ وَهُوَ يَخۡشَىٰ ٩ فَأَنتَ عَنۡهُ تَلَهَّىٰ ١٠
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling (1) Karena telah datang seorang buta kepadanya (2) Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) (3) Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (4) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (5) Maka kamu melayaninya (6) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman) (7) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (8) Sedang ia takut kepada (Allah), (9) Maka kamu mengabaikannya. (10)”
Baca juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani
Asbab Nuzul Surah Abasa Ayat 1
Hadis yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Imam Hakim, dari ‘Aisyah. (Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Mahaj, 30, 60)
Ketika Nabi sedang disibukkan dengan urusan beliau, yakni sedang mengislamkan tokoh pembesar Quraisy dan dalam status sosialnya jauh melebihi yang lain; kemudian datanglah seseorang yaitu yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Namun, status sosial itu bukanlah menjadi ukuran derajat manusia dihadapan Allah, bahkan Abdullah bin Ummi Maktum memiliki derajat lebih tinggi dari pada para pembesar Quraisy.
Kendati demikian, Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan dalam fisiknya, yaitu matanya tidak bisa melihat sehingga ia tidak dapat melihat dengan mata lahiriyah, tetapi Allah memberikan anugrah yang luar bisa kepadanya, berupa mata batin yang sangat peka dan hati yang bersih sekaligus cerdas.
Kekurangan fisik itulah yang menjadi sebab bahwa ia tidak mengetahui kesibukan Nabi saw; padahal kedatangannya kepada Nabi bukan tanpa tujuan, melainkan untuk belajar satu ilmu dan hikmah supaya ia mendapatkan manfaat dari Nabi. Namun, permintaannya tidak diindahkan oleh Nabi, bahkan beliau berpaling darinya dengan wajah masam. Kemudian, Allah menegur Nabi melalui wahyu-Nya, yaitu Q.S ‘Abasa ayat 1-10, sekaligus di dalamnya terkandung hikmah yang luas.
Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [2]: Makna Bayyinah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 185
Kajian Balagah Surah Abasa Ayat 1-10
Di dalam ayat ke 1-2 dhamir (kata ganti) yang digunakan ialah gaib (kata ganti orang ketiga) kemudian pada ayat berikutnya (ayat 3) dhamir yang digunakan ialah mukhatab (kata ganti orang kedua), hal demikian telah terjadi gaya bahasa iltifat, yaitu perpindahan semua kata ganti karena tuntutan dan memiliki tujuan dan pertimbangan khusus.
Tujuan digunakannya iltifat dalam ayat 1-3, yaitu; pertama, sebagai tambahan (penekanan) mengingkari (terhadap kejadin tersebut), kedua, tambahan dalam menegur; ketiga, peringatan kepada Nabi SAW untuk menolong orang karena keadaan butanya.
Wahbah Al-Zuhaili mengilustrasikan fenomena iltifat tersebut dengan orang yang mengeluh kehadirannya tidak dianggap oleh orang lain padahal ia hadir jelas dihadapan mereka, kemudian ia menghadap (menghampiri) mereka (yang menggap tidak hadir) dengan mengarahkan wajahnya kepada mereka, sebagai peringatan bahwa ia hadir.
Penggunaan lafaz ٱلۡأَعۡمَىٰ bukan العَمَى dalam ayat tesebut sebagai pengingkaran juga. Karena jikalau menggunakan lafaz yang kedua, maka hal demikian mengharuskan adanya simpati dan belas kasih bagi orang yang mempunyai akhlak. Jadi, lafaz yang kesatu digunakan sebagai mencela dan menegur karena adanya suatu pristiwa, dan yang kedua digunakan ketika tujuannya untuk kasih sayang dan menunjukkan rasa simpati.
Di dalam lafaz يَذَّكَّرُ dan والذِّكْرى terjadi gaya bahasa jinās isytiqāq. Ayat 1 sampai 3 digunakan gaya bahasan saja’ murasha’. Kemudian Allah juga menggunakan thibaq, yaitu yang terdapat pada تَصَدَّىٰ dan تَلَهَّى.
Baca juga: Surah al-Qadr Ayat 1, Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr Menurut Fakhruddin Ar-Razi
Nilai-Nilai Yang Terkandung dalam Surah Abasa ayat 1-10
Pertama, teguran kepada Nabi SAW karena berpaling dan tidak memerhatikan ‘Abdullah bin Ummi Maktum, sehingga hati orang-orang fakir (miskin) merasakan sakit. Padahal orang mukmin yang fakir lebih baik dari pada mukmin yang kaya.
Kedua, dalam ayat tersebut mempunyai hikmah bahwa kekhawatiran Nabi terhadap tokoh-tokoh Quraisy tidak masuk Islam menjadi sebab beliau ditegur dan turunnya ayat tersebut. Dan ‘Abdullah bin Ummi Maktum menginginkan supaya Nabi mengajarkannya. Dua pristiwa tersebut memiliki dua diskursus yaitu ‘khawatiran’ dan ‘sesuatu yang lebih penting’. Adanya teguran tersebut mengindikasikan bahwa hal yang penting harus didahulukan dari pada kekhawatiran.
Ketiga, ‘Abdullah Ummi Maktum beralasan ia bukanlah seorang ‘alim, sedangkan Nabi pada saat itu sibuk mengislamkan tokoh-tokoh Quraisy, dan berharap mereka masuk Islam. Karena yakin ketika pembesar Quraisy masuk Islam akan memengaruhi kepada yang lain.
Keempat, Ayat ini sebagai dalil wajib adanya persamaan dalam Islam, baik orang tersebut mempunyai kekurangan atau dalam hal menyampaikan dakwah, bukan memprioritaskan keadaan sosial, yang kaya atau fakir.
Bahkan ketika orang tersebut meminta petunjuk dan mempunyai hati bersih, walaupun status sosialnya rendah, maka bagi para pendakwah diwajibkan memprioritaskan orang tersebut. Karena pada hakikatnya Islam memberikan perhatian lebih kepada mereka yang lemah.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa
Kelima, tidak sah seseorang menyibukkan dan memberikan perhatian lebih untuk mengislamkan seseorang, namun pada waktu yang sama merugikan dengan berpaling dari orang Islam, karena ia disibukan dakwah kepada orang bukan Islam.
Lima nilai di atas sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah Al-Zuhaili, namun apabila dianalisis secara mendalam terkait turunnya surat tersebut maka persamaan dalam Islam harus mencakup dalam semua bidang, hak-hak mereka harus diperhatikan, apalagi mereka dari orang lemah. Disamping itu, tertuang akhlak menerima tamu tidak boleh menampilkan wajah masam dan berpaling.
Wallahu a’lam.