BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al-Ashr: Waktu yang Hilang Tidak Akan Kembali Lagi

Tafsir Surah Al-Ashr: Waktu yang Hilang Tidak Akan Kembali Lagi

Bergantinya tahun 2021 menuju tahun 2022 menyadarkan kita akan perputaran waktu yang senantiasa berjalan. Cepat atau lambat, lapang atau sibuk. Oleh karenanya, semua orang diharapkan mampu mengelola dengan baik jatah 24 jam waktu yang telah diberikan secara merata. Salah satu hal paling berharga yang dimiliki oleh manusia adalah waktu. Dengan manajemen waktu yang baik, seseorang bisa saja menggapai apapun impiannya. Harta dan ilmu dicari, namun waktu yang hilang, tak dapat ditemukan dan diulangi kembali

Mengenai pentingnya waktu, kiranya ungkapan masyhur yang konon katanya diucapkan oleh Imam asy-Syafi’i ini relevan

الوقت كالسيف ان لم تقطعه قطعك

Waktu itu seperti pedang, jika engkau tidak menggunakannya dengan baik, ia akan memotongmu.”

Salah satu surah dalam Al-Quran yang berbicara mengenai waktu adalah surah Al-Ashr. Meski terbilang pendek, surah Al-Ashr menjadi salah satu surah yang menjadi perhatian para mufassir dengan ulasan panjang penafsirannya dalam karyanya.

Baca Juga: Makna dan Keutamaan Surah Al-Ashr dalam Kehidupan Sehari-Hari

Keutamaan Surah Al-Ashr

Mufasir kontemporer, Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam pengantar awal penafsirannya, menyebutkan beberapa riwayat mengenai keutamaan surah Al-Ashr.

Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dari salah satu surah terpendek dalam Al-Qur’an ini adalah ganjaran berupa ampunan Allah swt.

Rasulullah saw. Bersabda:

من قرأ سورة العصر غفر الله له وكان ممن تواصى بالحق وتواصى بالصبر “.

Barang siapa membaca Surah al-‘Ashr, niscaya Allah swt. Akan mengampuninya dan menjadikannya sebagai salah satu dari orang-orang yang diperintahkan kebenaran dan diperintahkan kesabaran.”

Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan Imam al-Baihaqi dalam kitab asy-Syu’ab, membaca surah Al-Ashr merupakan bagian dari salah satu kebiasaan para sahabat ketika mereka bertemu.

عن أبي مدينة الدرامي . وكانت له صحبة . قال : كان الرجلان من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم إذا التقيا لم يتفرقا حتى يقرأ أحدهما على الآخر ” والعصر ” إلى آخرها ثم يسلم أحدهما على لآخر.

“Dua sahabat Rasulullah ﷺ. Ketika keduanya bertemu, sebelum keduanya berpisah, salah satu di antaranya membaca Surat “Al-Ashr” hingga akhir Surat kemudian mereka berjabat tangan seraya mengucapakan salam satu pada lainnya.”

Imam Syafi’i juga memberikan komentarnya terhadap keagungan surah al-‘Ashr ini.

لو تدبر الناس هذه السورة لوسعتهم

Seandainya manusia mentadabburi surat ini niscaya ini sudah mencukupkan mereka.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir/30/528)

Para mufasir memiliki interpretasi yang berbeda-beda atas makna kata “al-‘Ashr” yang menjadi ayat pertama sekaligus nama surah ini. Syekh asy-Sya’rawi (Tafsir asy-Sya’rawi/521) menghimpun berbagai perbedaan pendapat tersebut menjadi tiga kesimpulan pokok. Pertama, menunjukkan makna ibadah, yakni shalat ‘Ashar. Kedua, waktu pelaksanaan ibadah itu sendiri, yakni waktu ‘Ashar.

Pendapat kedua menekankan pada aspek waktu, sedangkan yang pertama menekankan pada aspek pekerjaan atau ibadah yang dikerjakan. Adapun pendapat ketiga memaknainya dengan waktu secara umum, meliputi siang atau malam, dan jangka waktu yang variatif seperti minggu atau bulan. Selain itu, ada pula yang mengkhususkannya hanya pada waktu zaman hidupnya Rasulullah saw. Kelompok ini menguatkan argumennya bahwa sebagaimana Allah bersumpah dengan Makkah sebagai tempat yang paling utama pada Q.S. al-Balad [90]: 1-2, maka surah al-‘Ashr pun demikian. Allah swt. Bersumpah dengan zaman yang paling utama, yakni zaman Rasulullah saw. (Tafsir Al-Qur’an al-Karim Wa I’rabuhu Wa Bayanuhu/10/718)

Baca Juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

Larangan Mencaci-Maki Waktu

Berdasarkan ulasan Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (15/585), salah satu sebab turunnya surah ini berkaitan dengan kebiasaan kumpul-kumpul dan berbincang-bincang yang telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Arab pada masa turunnya Al-Qur’an. Tak jarang dalam perbincangan tersebut, mereka melontarkan kata-kata yang menyalahkan waktu apabila mereka ditimpa kesialan, atau sebaliknya, mereka menganggap sedang dalam waktu yang baik jika memperoleh kebaikan.

Turunnya surah al-‘Ashr dianggap sebagai respon balik atas stereotip bangsa Arab Jahiliah pada saat itu. Sebuah kekeliruan fatal mengkambinghitamkan waktu atas segala yang ditimpakan kepada manusia, terutama kesialan. Pada dasarnya, waktu bersifat netral, tidak bersangkut paut dengan keberuntungan dan kesialan yang dialami seseorang. Waktu hanyalah situasi (zharf) berlangsungnya kejayaan dan kemalangan umat manusia, bukan penyebab dari itu semua.

Bahkan waktu bisa jadi perantara seseorang memandang kekuasaan dan kemahabesaran Allah swt, di antaranya pada peralihan siang dan malam. (Tafsir Al-Maraghi/25/234) Dalam perjalanan waktu pula, manusia mengalami suka dan duka, sehat dan sakit, kejayaan dan kejatuhan, yang dapat diambil sebagai ibrah yang menunjukkan kepada kekuasaan Allah swt. dan hikmah serta ilmu-Nya. (Tafsir an-Nur/5/4691).

Oleh karena itulah, menurut Syekh Muhammad Amin al-Harari, waktu tidak hanya sebatas tempo atau durasi terjadinya suatu peristiwa belaka, akan tetapi ia sekaligus menjadi guru dan pendidik, karena waktu menjadi perlintasan bagi berbagai macam peristiwa yang menimpa umat manusia. Darinya manusia dapat belajar serta mengambil hikmah dan ibrah untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga: Keutamaan Syukur Menurut Al-Quran: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7

Sebagai hidangan penutup tulisan ini, penulis akan menyajikan kutipan menarik yang dituliskan Syekh Muhammad Amin al-Harari dalam karyanya, Tafsir Hada’iq ar-Ruh Wa ar-Raihan (32/299):

ومن لم يؤدبه الأبوان ، أدبه الزمان.

“Barang siapa yang tidak dididik oleh orang tuanya, maka waktu yang akan mendidiknya.”

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...