Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (2) diawali dengan penjelasan tentang perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait boleh dan tidaknya ‘kepemilikan’ wilayah disekitar Masjidil Haram, kemudian berlanjut pada penjelasan terkait keistimewaan dari Masjidil Haram itu sendiri, berikut uraiannya.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 25 (1)
Ayat 25 (2)
- Menurut suatu riwayat, pada permulaan Islam, Masjidil Haram tidak mempunyai pintu-pintu masuk, sehingga sampai pada suatu masa, banyak pencuri berdatangan, lalu seorang laki-laki membuat pintu-pintu, tetapi Umar melarangnya dan berkata, “Apakah kamu menutup pintu-pintu orang-orang berhaji ke Baitullah? Laki-laki itu menjawab, Aku membuat pintu-pintu untuk memelihara barang-barang pengunjung dari pencuri.” Karena itu Umar ra membiarkannya.
Imam Syafi`i berpendapat bahwa tanah sekitar Masjidil Haram itu boleh dimiliki dan diperjual-belikan, asal tidak menghalangi kaum Muslimin beribadah di sana.
عَنْ اُمَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَأُنْـزِلَ غَدًا فِى دَارِكَ بِمَكَّةَ؟ فَقَالَ فَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيْلٌ مِنْ رِبَاعٍ. (رواه الشيخان)
Dari Umamah bin Zaid, dia berkata, “Wahai Rasulullah bolehkah aku besok berkunjung ke rumahmu di Mekah? Rasulullah menjawab, “Apakah keluarga Aqil meninggalkan rumah? (Riwayat asy-Syaikhān)
Perbedaan pendapat ini berpangkal pada persoalan; Apakah Nabi Muhammad dan para sahabat pada saat penaklukan kota Mekah (fathu Makkah) dengan cara kekerasan atau dengan cara damai?
Jika direbut dari tangan orang-orang musyrik dengan kekerasan, tentulah tanah sekitar Masjidil Haram itu merupakan harta rampasan bagi kaum Muslimin yang harus dibagi-bagi sesuai dengan ketentuan agama. Tetapi Rasulullah tidak membagi-baginya, sehingga tetaplah tanah itu merupakan milik bagi kaum Muslimin sampai saat ini.
Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh Sayidina `Umar pada suatu daerah yang telah direbutnya dari orang-orang kafir. Pendapat kedua menyatakan bahwa tanah Mekah itu direbut Nabi Muhammad saw dengan cara damai, karena itu ia bukan merupakan barang rampasan, dan tetap menjadi milik empunya waktu itu. Kemudian diwariskan atau dijual oleh pemiliknya yang dahulu, sehingga menjadi milik dari pembeli pada saat ini.
Sekalipun ada perbedaan pendapat yang demikian, namun para ulama sependapat bahwa Masjidil Haram merupakan tempat beribadah bagi seluruh kaum Muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia. Mereka boleh datang kapan saja mereka kehendaki, tanpa seorang pun yang boleh mengganggu dan menghalanginya.
Jika berlawanan kepentingan pribadi atau golongan dengan kepentingan agama Islam, maka kepentingan agama Islam yang harus diutamakan dan diprioritaskan. Tentu saja kaum Muslimin yang telah bermukim dan menjadi penduduk Mekah itu berhak dan boleh mencari nafkah dari hasil usaha mereka melayani dan mengurus jama`ah haji yang datang dari segenap penjuru dunia.
Sekalipun demikian, usaha mengurus dan melayani jama`ah haji itu, tidak boleh dikomersilkan, tetapi semata-mata dilakukan untuk mencari pahala yang besar.
Baca Juga : Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?
Masjidil Haram sebagai tempat yang suci dan kiblat umat Islam, memiliki keistimewaan dan kelebihan-kelebihan, di antaranya adalah:
- Di tempat tersebut orang yang baru berencana saja untuk berbuat maksiat/makar, maka Allah akan mengazabnya. Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, ad-adhahak dan Ibnu Zaid, menyatakan bahwa bila seseorang sedang berada di Masjidil Haram, kemudian dia berencana untuk membunuh seseorang yang tinggal di Aden, maka Allah akan mengazabnya.
- Ibadah yang dilakukan di Masjidil Haram mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan ibadah di tempat-tempat lain, bahkan satu kali salat di Masjidil Haram nilainya sama dengan seratus ribu kali salat di luar Masjidil Haram. Rusulullah bersabda:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ اِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ اَلْفِ صَلاَةِ فِيْمَا سِوَاهُ. (رواه أحمد بسند صحيح)
Dari Jabir bahwa Rasulullah berkata, “Salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali dibandingkan dengan salat di luar masjidku, kecuali di Masjidil Haram. Dan salat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali dibandingkan salat di luar Masjidil Haram. (Riwayat Ahmad dengan sanad sahih)
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 26