BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2)

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2)

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2) adalah series akhir dari tafsir surah al-Hajj. Melanjutkan pembahasan sebelumnya, kali ini akan mengulas tentang karakter dari agama Islam, bahwa Islam adalah agama yang mudah, lapang, dan meyakini adanya hari Kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (1)


Ditegaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 78 (2) bahwa Islam merupakan warisan dari agama Ibrahim yang berasaskan tauhid kepada Allah Swt, karena itu, agama tidaklah menentang agama-agama sebelumnya, melainkan penyempurna dari aspek syariat yang dibawa Rasul terdahulu.

Ayat 78 (2)

Rasulullah saw pernah memberikan suatu peringatan yang keras kepada suatu golongan yang memberatkan beban dalam agama, sebagaimana tersebut dalam hadis.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ صَنَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْرًا فَتَرَخَّصَ فِيْهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِهِ فَكَأَنَّهُمْ كَرِهُوْهُ وَتَنَزَّهُوْا عَنْهُ فَبَلَغَهُ ذَلِكَ فَقَامَ خَطِيْبًا فَقَالَ مَابَالُ رِجَالٍ بَلَغَهُمْ عَنِّى اَمْرٌ تَرَخَّصْتُ فِيْهِ فَكَرِهُوْهُ وَتَنَزَّهُوْا عَنْهُ فَوَاللهِ لَاَنَا اَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَاَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً. (رواه البخاري ومسلم)

Dari `Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw pernah membuat sesuatu, lalu beliau meringankannya, lalu sampailah hal yang demikian kepada beberapa orang sahabat beliau. Seolah-olah mereka tidak menyukainya dan meninggalkannya.

Maka sampailah persoalan itu pada beliau. Beliau lalu  berdiri berpidato dan berkata: Apakah gerangan keadaan orang-orang yang telah sampai kepada mereka tentang sesuatu perbuatan yang aku meringankannya, lalu mereka tidak menyukainya dan meninggalkannya? Demi Allah (kata Rasululah): Sesungguhnya aku adalah  orang yang paling tahu di antara mereka tentang Allah dan orang yang paling takut di antara mereka kepada-Nya.”  (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasul ingin menandingi beliau, sehingga ada yang berkata, “Aku akan puasa setiap hari.” Yang lain lagi berkata, “Aku tidak akan mengawini perempuan.” Maka sampailah hal itu kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda:

مَابَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا لَكِنِّي اُصَلِّى وَاَنَامُ وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى. (رواه النسائى)

Apakah gerangan keadaan orang yang telah mengharamkan perempuan, makan dan tidur? Ketahuilah, sesungguhnya aku salat dan tidur, berpuasa dan berbuka puasa serta menikahi perempuan-perempuan. Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku. (Riwayat an-Nasā`i)

Dengan keterangan hadis-hadis di atas nyatalah bahwa agama Islam adalah agama yang lapang, meringankan beban, tidak picik dan tidak mempersulit.

Seandainya ada praktek dan amalan agama Islam yang memberatkan, picik dan sempit, maka hal itu bukanlah berasal dari agama Islam, tetapi berasal dari orang yang tidak mengetahui hakikat Islam itu.

Dalam kehidupan sehari-hari terlihat masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami dengan baik tujuan Allah menurunkan syariat-Nya kepada Nabi saw.

Seperti Allah mensyariatkan salat dengan tujuan agar manusia terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, tetapi sebagian kaum Muslimin merasa berat mengerjakan salat yang lima waktu itu, bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa salat itu menganggu waktu berharga bagi mereka. Demikian pula pendapat mereka tentang ibadah-ibadah lainnya.


Baca Juga: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89


Kemudian Allah menerangkan bahwa agama yang dibawa Muhammad itu adalah sesuai dengan agam Ibrahim, nenek moyang bangsa Arab dan kedua agama itu sama-sama bersendikan ketauhidan.

Seakan-akan Allah memperingatkan kepada bangsa Arab waktu itu, “Hai bangsa Arab, kamu mengaku memeluk agama yang dibawa nenek moyangmu Ibrahim, karena itu ikutilah agama yang dibawa Muhammad, agama yang berazaskan tauhid, tidak ada kesempitan dan kepicikan di dalamnya. Dan Allah menamakan orang-orang yang memeluk agama tauhid dengan “muslim”.”

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Rasulullah saw menjadi saksi di hari Kiamat atas umatnya. Maksudnya ialah dia bersaksi bahwa ia telah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan agar mereka tetap berpegang teguh kepada agama Allah, serta beribadah kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.

Sedangkan kaum Muslimin menjadi saksi atas manusia di hari Kiamat kelak, maksudnya ialah mereka telah melakukan seperti yang telah dilakukan Rasul atas mereka, yaitu mereka telah menyeru manusia agar beriman, menyampaikan agama Allah, melakukan tugas yang dibebankan Allah dan Rasul kepada mereka dengan sebaik-baiknya.

Setelah itu mereka menyerahkan urusan mereka kepada Allah, apakah ajakan mereka diterima atau ditolak.

Sebagian Ahli tafsir dalam menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa kaum Muslimin menjadi saksi atas manusia termasuk di dalam persaksian mereka atas umat-umat terdahulu, yang telah diutus kepada mereka Rasul-rasul.

Mereka mengetahui hal itu dari Allah melalui Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Rasul dahulu telah menyampaikan agama yang bedasar tauhid kepada mereka.

Semua perintah Allah yang disebutkan itu dapat dilaksanakan dengan baik, agar umat Muhammad yang ditugaskan menjadi saksi terhadap manusia pada hari Kiamat dapat melakukan persaksian itu dengan sebaik-baiknya, maka Allah memerintahkan kepada mereka:

  1. Selalu melaksanakan salat yang lima waktu, karena salat menjauhkan manusia dari perbuatan keji dan mungkar dan merupakan penghubung yang kuat antara Tuhan yang disembah dengan hamba-Nya.
  2. Menunaikan zakat, agar dapat membersihkan jiwa dan harta, agar mempersempit jurang antara si kaya dan si miskin.
  3. Berpegang teguh dengan tali Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...