BerandaTafsir TematikTafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan

“Mulutmu harimaumu” peribahasa yang populer sebagai pengingat untuk menjaga lisan dari ucapan yang tidak baik dan menyakitkan. Hati-hati dalam memberi julukan terhadap seseorang juga merupakan salah satu bentuk penjagaan lisan.

Begitu esensialnya lisan, sehingga sekali salah bicara akan bisa menyebabkan sesal di waktu yang lama. Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari, nomor 6478:

Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang sesuatu yang diridhai Allah yang tidak ia sadari, sehingga Allah mengangkat beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang suatu yang dimurkai Allah, yang tidak ia sadari, ternyata menghempaskan dirinya ke dalam neraka Jahannam.

Salah satu bentuk penjagaan lisan adalah dengan berhati-hati dalam berbicara, berargumen, mengklaim, menyebut atau memberi julukan seseorang dengan panggilan yang tidak baik. Tidak hanya itu, di era digital ini bentuk menjaga lisan bisa bergeser ke menjaga jari-jemari dengan tidak menyebar fitnah, isu-isu hoaks dan berita-berita yang belum jelas sumbernya.

Bagaimana dengan menyebut atau menjuluki orang lain dengan Fir’aun? Dalam sejarah Islam, Fir’aun itu dikenal sebagai seorang raja yang zalim, tidak beriman kepada Allah dan mengingkari kerasulan Musa a.s.

Mengingat jejak Fir’aun yang demikian, bisa jadi dapat dikatakan bahwa menjuluki orang lain dengan sebutan tersebut merupakan satu bentuk ucapan yang tidak baik.

Kewaspadaan Alquran terhadap hal-hal seperti yang disinggung sebelumnya (menjuluki orang lain dengan Fir’aun) disinggung dalam surah Alhujurat [49] ayat 11,

….يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا خَيۡرًا مِّنۡهُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lainya (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih dari mereka (yang mengolok-olok)….”

Baca Juga: Julukan Buruk Yang Dilarang Alquran

Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11

Dalam Tafsir Jalalain, Jalalluddin Al-Mahalli mengatakan bahwa ayat ini turun ketika salah satu kaum bani Tamim mengolok-olok orang-orang fakir dari umat Islam, meremehkan mereka dan merendahkan mereka. (Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, hal. 687).

Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil hadis Rasulullah saw. yang berkaitan dengan laku orang menjuluki orang lain dengan sebutan tertentu dengan tujuan meremehkan. Ucapan yang mengarah pada hal tersebut, menurit hadis dikaregorikan sebagai sikap sombong. “Sombong adalah tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7 hal. 376).  

Dengan demikian, larangan meremehkan dan merendahkan orang lain menjadi inti pesan dari ayat tersebut. Menurut kebiasaan, orang yang meremehkan dan merendahkan orang lain itu secara bersamaan berarti menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Padahal dalam ayat tersebut disinggung bahwa ‘boleh jadi orang yang diremehkan itu lebih baik dari yang meremehkan’.

Bagaimana dengan seseorang yang mengibaratkan orang lain dengan Fir’aun? Sungguh pemisalan Fir’aun adalah seburuk-buruk pengibaratan, karena figurnya yang dikenal sangat zalim. Seseorang menyebut orang lain dengan julukan Fir’aun seakan-akan seseorang tersebut menyamakan orang lain tersebut dengan Fir’aun. Kiranya tidak ada yang mau seorang muslim di klaim dirinya sebagai Fir’aun. Lantas bagaimana hukum pengibaratan tersebut menurut fikih?

Baca Juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Hukum Menyebut Fir’aun Terhadap Saudara Muslim

Dalam aspek fikih memberi label Fir’aun pada seseorang diharamkan karena perkataan tersebut mengandung unsur dapat menyakiti orang lain. Didalam kitab Is’ad Ar-Rafiq dijelaskan

فَفِي الزَّوَاجِرِ اَنَّ اِيْذَاءِ الْمُسْلِمِ مُطْلَقًا كَبِيْرَةٌ

Dalam kitab Az-Zawajir disebutkan bahwa menyakiti sesama muslim secara mutlak diharamkan. (Habib Abdullah bin Husain Ba’alawiy, Is’ad Ar-Rafiq, Juz 2 hal. 119).

Namun pemberian label Fir’aun tersebut tidak selamanya diharamkan. Menurut Habib Abdullah bin Husain Ba’alawiy barometer apakah sebuah ucapan tersebut mengandung unsur menyakiti orang lain atau tidak dikembalikan pada urf (kebiasaan) yang berlaku. Jika urf (kebiasaan) mengatakan hal terebut menyakiti maka haram, sebaliknya jika kebiasaannya penyebutan tersebut tidak bertendensi pada menyakiti maka tidaklah sampai pada taraf keharaman.

Namun bagaimana pun penyebutan Fir’aun tidak pantas diucapkan seseorang terhadap orang lain. Menurut Syekh Zainul Abidin, seorang muslim yang mengatakan Fir’aun terhadap saudaranya layak mendapat takzir sebagai bentuk hukuman perilaku maksiat sebab menyakiti hati orang lain.

لَوْ قَالَ لِغَيْرِهِ اَنْتَ اِبْلِيْسُ اَوْ اَنْتَ فِرْعَوْن يَنْبَغِيْ اَنْ يُعَزَّرَ اِذَا اَذَاهُ

Jika ada seseorang berkata pada orang lain “engaku iblis” atau engkau Fir’aun” maka sepatutnya ia mendapatkan takzir jika ucapanya dapat menyakiti orang lain. (Ghamz Uyun al-Bashair Syarh Kitab al-Asybah wa an-Nadhoir, Juz 2, Hal. 182).

Misal bahwa pengibaratan Fir’aun tersebut didasari tujuan untuk mengkritisi bukan meremehkan, akan lebih baik jika kritisi tersebut disampaikan dengan cara yang lebih baik. Terlebih misalnya kritik tersebut bukannya mendatangkan manfaat, malah membawa mudorot yang lebih besar.

Bukankah ketika menghadapi Fir’aun sekali pun, Nabi Musa tetap diperintah oleh Allah untuk menggunakan perkataan yang lembut? Demikian Alquran mengajarkan tentang penjagaan lisan. Wallah a’lam

Abdullah Rafi
Abdullah Rafi
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU