Al-Quran selain memuat Rasulullah sebagai Nabi, juga menampilkan Rasulullah sebagai persona manusia biasa, dan, menariknya, di beberapa ayat terdapat gambaran bagaimana persona kemanusiaan Rasulullah dihadapkan pada tantangan kenabian. Misalnya, ketika menghadapi penolakan atas dakwah, tentu Rasulullah merasakan sedih—sebagaimana manusia umumnya—dan Allah memberikan teguran sekaligus petunjuk bagaimana Nabi harus bersikap. Tilikan lebih lanjut pada ayat seperti ini dapat memunculkan etika-sosial kenabian, sebagaimana terdapat dalam surah al-Kahfi ayat 6:
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا ٦
“Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).”
Baca juga: Tafsir Al-Baqarah Ayat 164: Menyikapi Pandangan Ulama Klasik Tentang Larangan Berlayar di Laut
Larangan Mencelakai Diri Sendiri
Konteks kesedihan Rasulullah pada ayat di atas, menurut Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir, bermula dari perkataan musyrikin bahwa Allah memiliki anak. Keyakinan musyrikin itu bertolak belakang dengan spirit tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Di sisi lain, berkenaan dengan visi profetik, Rasulullah tentu menginginkan semua manusia beriman pada Allah agar memperoleh keselamatan. Dengan kerangka demikian Qurasih Shihab berpendapat bahwa ayat ini sesungguhnya menunjukkan belas kasih Rasulullah. Sebegitu sedih hingga Rasulullah dinarasikan hendak mencelakai diri sendiri.
Kata la’alla, masih menurut Quaraish Shihab, berfungsi untuk menunjukkan harapan atau rasa kasih sayang terhadap mitra bicara, maka ayat ini masih berada dalam lingkup kasih sayang. Sedangkan menurut az-Zuhaily kata la’alla bermakna nafi (larangan), sehingga dapat bermakna larangan untuk mencelakai diri sendiri karena kesedihan mendalam akibat kekufuran musyrikin.
La’alla dengan makna kasih sayang maupun larangan, masing-masing memiliki signifikansi dalam konteks keseluruhan ayat. Namun kebanyakan mufassir lebih memahami ayat ini sebagai larangan, sebab kata la’alla bersanding dengan kata bakhi’, yang bermakna dasar membunuh. Menurut Ibn ‘Ashur, dalam at-Tahrir wa at-Tanwir, makna kata bakhi’ adalah membunuh diri sendiri atau menyembelih, kedua makna ini menurut Ibn ‘Ashur cukup identik menurut asal-usulnya.
Makna menyembelih juga dikemukakan oleh Qurasih Shihab, makna yang berasal dari kata bukha’: urat terakhir di leher binatang, di mana urat ini menjadi penyangga terakhir sebelum leher putus dari badan hewan ketika disembelih. Arti ini memberikan penekanan bahwa kesedihan yang dirasakan sebegitu luar biasa hingga dapat mengantar pada kematian.
Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia
Namun beberapa mufassir melepaskan kata bakhi’ dari arti membunuh diri sendiri, seperti menurut Al-Syaukani, dalam tafsir Fath al-Qadir, kata bakhi’ memiliki arti tidak produktif atau lemah. Makna tidak produktif masih memiliki keterkaitan dengan kesedihan Rasulullah. Artinya dengan terlalu bersedih dapat menyebabkan tidak produktif atau lemah. Selain itu kata ini juga dapat berarti al-juhd, kesusahan. Ibn Kathir dalam Tafsir al-‘Adzim mengartikan kata bakhi’ dengan mencelakai diri sendiri, disamping mengutip Qatadah yang memberi arti bakhi’ sebagai membunuh diri sendiri.
Kata la’alla dan bakhi’ menjadi dua kata kunci untuk masuk pada pemahaman seluruh ayat. Variasi pemaknaan kata bakhi’ di atas, dari yang ekstrem (membunuh diri sendiri), hingga yang cukup netral (mencelakai diri sendiri), ketika beranding dengan larangan maka bermuara pada satu kesimpulan pararel: larangan berbuat buruk, dengan berbagai bentuk, kepada diri sendiri ketika bersedih akibat gangguang dari luar.
Berkaitan dengan larangan bersedih, Quraish Shihab menutup penafsirannya dengan pemaknaan kata athar, yang berarti jejak kaki di pasir yang telah terlewati. Makna semantik tersebut, menurut Quraish Shihab, berfungsi sebagai bentuk metaforis tuntunan kepada Rasulullah untuk tidak bersedih karena penolakan kaum musyrikin tidak lebih hanya seperti jejak tanpa nilai, yang memang sepantasnya ditinggalkan.
Psikologi Positif dan Misi Rasulullah
Ayat ke-6 surah al-Kahfi, tidak kurang berfungsi sebagai dukungan mental terhadap misi kenabian Rasulullah. Larangan bersedih dan mencelakai diri sendiri tersebut, dalam salah satu pemaknaan Ibn Kathir, terkait kepentingan misi kenabian, yakni Rasulullah harus tetap fokus menyampaikan wahyu tanpa larut pada pendapat kaum muysrik. Az-Zuhaily, meskipun hanya dalam kalimat singkat, juga menafsirkan bahwa ayat menunjukkan keharusan menyampaikan risalah Allah meski Rasulullah dalam keadaan sedih.
Baca juga: Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama
Dari pemaknaan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah menghendaki misi filantropi religius tetap menjadi tujuan utama. Gagasan ini, dalam kerangka keilmuan yang oleh Martin Seligman disebut sebagai psikologi positif, dapat menimbulkan kebahagiaan. Seligman, professor di bidang psikologi, berdasarkan riset lapangan, mengatakan bahwa kebahagiaan makna adalah kekuatan paling menimbulkan efek positif.
Kebahagiaan makna, menurut Seligman dalam Authentic Happiness, adalah mendayagunakan seluruh sumber daya untuk melayani sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Seuatu di luar diri sendiri, dan sangat bermakna bagi diri sendiri, menjadi sarana sumber semangat aktualisasi dan, puncaknya, menimbulkan kepuasaan visioner. Dalam kerangka ini, menyampaikan misi kenabian termasuk dalam aktualisasi diri.
Dengan demikian, masih dalam bentuk korelatif dengan psikologi positif, signifikansi ayat 6 surah al-Kahfi mengandung pembelajaran tidak hanya untuk Rasulullah, tetapi juga berlaku universal bagi seluruh manusia, yakni peran aktualisasi diri.