Pendidikan merupakan fondasi dan sarana penting bagi setiap manusia untuk memperoleh kemuliaan. Gelar mulia didapat karena pada hakikatnya seseorang yang mengenyam pendidikan akan tampak berbeda dari berbagai aspek dibanding dengan orang yang tidak memperoleh pendidikan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Azzumar [39]: 9. Hal ini terjadi sebab Allah Swt. telah berjanji dalam Q.S. Almujadilah [58]: 11 akan mengangkat derajat seseorang yang menuntut ilmu menjadi mulia.
Berbicara mengenai derajat, sesungguhnya Allah Swt. benar-benar sangat adil terhadap seluruh makhluknya, tak terkecuali pada binatang. Sebenarnya, pengangkatan derajat yang disebutkan sebelumnya tidak terbatas pada manusia saja, bahkan pada binatang juga berlaku hal-hal yang demikian sekalipun binatang yang dimaksud itu sering dianggap hina di kalangan masyarakat, anjing misalnya. Perhatikan firman Allah Swt. berikut.
يَسۡئَلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمۡۖ قُلۡ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ وَمَا عَلَّمۡتُم مِّنَ ٱلۡجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُۖ فَكُلُواْ مِمَّآ أَمۡسَكۡنَ عَلَيۡكُمۡ وَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٤
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ia tangkap untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (Q.S. Almaidah [5]: 4).
Baca juga: Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan
Penjelasan ayat
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menjelaskan bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi. Dia berkata, “Ketika Nabi saw. memerintahkan agar anjing-anjing dibunuh, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu apa yang dibolehkan untuk kami dari anjing-anjing ini?’ Lalu turunlah ayat ini.”
Menurut riwayat lainnya, Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari jalur asy-Sya’bi bahwa ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i berkata, “Seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw. untuk menanyakan hasil buruan anjing. Beliau tidak menjawabnya hingga ayat ini turun.”
Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam tafsir Khawatir al-Sya’rawi Haula al-Qur’an al-Karim, menerangkan bahwa kata مُكَلِّبِين (mukallabin) pada ayat ini berasal dari kata كَلْبٌ (kalbun) yang bermakna anjing.
Pada hakikatnya kata مُكَلِّبِين (mukallabin) bermakna anjing-anjing yang telah terlatih. Namun, مُكَلِّبِين (mukallabin) yang dimaksud pada ayat ini bermakna umum, yakni mencakup semua binatang pemburu yang telah diajari dan terlatih seperti serigala, elang, macan dan lain sebagainya, sehingga tidak terkhusus kepada makna anjing saja.
Penyebutan kata مُكَلِّبِين (mukallabin) pada ayat ini dianggap lebih pantas dan tepat daripada binatang lainnya karena anjing adalah binatang berburu yang paling populer di antara binatang pemburu lainnya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menjelaskan bahwa binatang hasil tangkapan anjing atau binatang pemburu termasuk makanan yang halal dimakan, dengan syarat:
- Binatang pemburu dibimbing oleh pelatih yang berpengalaman.
- Binatang pemburu tidak membantah pelatihnya.
- Nama Allah Swt. disebut saat akan melepas binatang pemburu.
- Binatang hasil buruan haruslah dimaksudkan untuk pelatihnya bukan untuk binatang pemburu tersebut.
Baca juga: Keutamaan Ilmu Menurut Alquran: Tafsir Surah Almujadilah Ayat 11
Realitasnya, anjing kerap kali dianggap sebagai binatang yang hina dan harus dijauhi oleh umat muslim, karena faktor air liurnya yang tergolong najis, serta adanya larangan dari syariat untuk memakannya. Namun, jika persyaratan di atas telah terpenuhi, maka hasil buruan yang tertangkap oleh anjing pemburu tersebut halal hukumnya untuk dikonsumsi. Sehingga, tidaklah sama hukum memakan hasil buruan anjing yang terdidik dengan yang tidak terdidik.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika anjing mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari pelatih yang mumpuni, maka berubahlah status anjing tersebut daripada anjing lainnya yang tidak mendapat pendidikan. Bahkan, anjing terdidik ini diistimewakan oleh syariat, yaitu dengan diperbolehkannya memelihara anjing selama tujuannya untuk membantu manusia berburu, menjaga tanaman, maupun ternak.
Jika ditilik secara mendalam, maka akan didapati pada ayat ini pembahasan terkait urgensi pendidikan yang terlihat dari kata عَلَّمَ. Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, menjelaskan bahwa pada kalimat وَمَا عَلَّمۡتُم مِّنَ ٱلۡجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُ terdapat tiga kali pengulangan kata عَلَّمَ yang mengandung makna mengajari.
Selain itu, dalam kitab al-Mu’jam al-Maushu’i li Alfazh al-Qur’an dijelaskan bahwa kata عَلَّمَ pada ayat ini juga mengandung makna دَرَّبَ yang berarti melatih atau membuat (binatang pemburu tersebut) terlatih.
Quraish Shihab dan sebagian besar ulama lainnya menganggap bahwa pengulangan kata عَلَّمَ pada ayat ini sebagai bentuk penekanan dan penegasan, serta mengisyaratkan bahwa pengajaran pada binatang pemburu itu hendaknya dilakukan melalui pelatihan yang sungguh-sungguh dan dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang tersebut.
Sebab, jika tidak demikian, dikhawatirkan binatang pemburu tersebut akan menggunakan ilmu berburu yang telah didapatnya untuk berburu bagi dirinya sendiri. Jika demikian, anjing tersebut masih tergolong sebagai binatang yang tidak terdidik, sehingga haramlah hukum memakan hasil buruannya. Maka oleh karena itu, pelatih memiliki kewajiban untuk mendidik binatang pemburu itu dengan benar.
Di antara tanda-tanda yang menunjukkan bahwa binatang pemburu tersebut telah berhasil dididik dengan baik adalah jika diperintah pergi, binatang pemburu itu pergi; bila dilarang, ia tunduk; dan bila dicegah, ia menurut. Kemudian jika diperintah untuk menangkap binatang buruan, ia tidak akan memakannya melainkan akan diserahkan secara utuh kepada tuannya.
Baca juga: Keutamaan Ilmu dalam Alquran dan Kiat Memiliki Anak yang Alim
Penutup
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dianalogikan bahwa untuk kadar seekor binatang saja harus diajari dengan benar, apalagi manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan agar setiap orang harus lebih serius dan selektif ketika belajar. Sebab, jika ilmu yang dimiliki seseorang hanya sedikit, maka kemungkinan besar akan dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang tersebut dalam memahami suatu hal. Bagian terpentingnya adalah manusia berkewajiban untuk mengetahui bahwa pada hakikatnya ilmu itu berasal dari Allah Swt.
Dari sinilah tampak bahwa betapa agung dan mulianya kedudukan ilmu. Ilmu yang melekat pada diri seseorang, menjadikannya makhluk yang lebih mulia di antara makhluk lainnya. Bukan hanya manusia, anjing yang berilmu dengan anjing yang tidak berilmu pun berbeda derajatnya serta dibedakan pula hukum buruannya.
Hal ini bermakna bahwa Allah Swt. akan mengangkat derajat makhluknya, baik manusia maupun binatang, selama makhluk tersebut memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai manusia untuk terus belajar. Jika ayat ini direnungkan secara mendalam, sungguh ia akan mampu memotivasi setiap manusia untuk terus belajar dan memperluas wawasannya hingga ajal menjemput. Wallahu a’lam.
Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran