Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

bombastis.com

Secara fitrah, manusia tidak akan berkata buruk jika tidak ada pengaruh terhadap lingkungannya atau pengaruh emosional yang sedang dialami. Misalnya, orang akan berkata buruk jika mendapatkan perkataan buruk dari orang lain. Meskipun banyak umat muslim sudah mengetahui bahwa Allah SWT melarang hambanya untuk berkata buruk, tapi sulit untuk di hindari oleh kebanyakan orang. 

Pada  tafsir surah an-Nisa’ ayat 148-149 memberikan penjelasan terkait perkataan buruk yang dilarang oleh Allah SWT, dan bagaimana kita membalas perkataan buruk orang lain terhadap kita, berikut penafsirannya. Firman Allah  Surah an-Nisa’ ayat 148:

َا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Menurut Ali Shabuny dalam Shafwah at-tafasir, perkataan buruk tidak disenangi oleh Allah swt. Kemudian Menurut  Imam Syuyuti dalam tafsir Jalalain, orang yang berkata buruk akan mendapat siksa dari Allah swt.

Selanjutnya ada pendapat dari Ali al-Shabuny bahwa, mengabarkan kejelekan terhadap orang yang telah mendhalimi orang lain adalah boleh. Kemudian pada kitab Ibnu Katsir juga mengatakan demikian, bahwa boleh orang mengabarkan kejelekan orang yang telah berbuat dhalim terhadap orang lain.

Sikap untuk Menyikapi Perkataan Buruk

Kemudian pendapat hadir dari Ibnu Abbas, bahwa seseorang diperbolehkan mendoakan buruk terhadap orang yang telah mendhaliminya, pendapat ini ia kutip dari Ali Shabuny dan Ibnu Katsir

لا يحب الله أن يدعوَ أحدٌ على أحد، إلا أن يكون مظلومًا

Allah tidak menyukai seseorang berdoa buruk terhadap orang lain kecuali orang yang terdhalimi. 

Namun pendapat Hasan al-Basry tetap tidak membolehkan mendokan buruk terhadapnya. Dalam riwayat lain Hasan Basry berpendapat, orang yang terdhalimi mendapat keringanan berdoa buruk tanpa harus menyerang orang yang mendhalimi.

Selain membalas dengan doa buruk, orang yang terdhalimi diperbolehkan membalas cacian dengan cacian juga, akan tetapi tidak boleh membuat-buat atau mengada-ada meski yang mendhalimi melakukan itu. Ini pendapat ‘Abd al-Karim bin Malik al-Jazary, yang dikutip oleh Ibn Katsir.

Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan dengan hadis riwayat Abu Daud;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِي مِنْهُمَا مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

Dua orang yang saling mencaci dengan apa yang mereka ucapkan, maka yang menaggung dosanya adalah yang memulai, yaitu selama orang yang terzalimi tidak melampaui batas. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Timidzi dan Ahmad.

Dari balasan yang setimpal dan mendoakan terhadap orang dhalim tadi, menurut Ibn Katsir jika orang yang terdhalimi  bersabar  maka akan baik pula baginya.

Atau dengan memaafkan yang mendhaliminya sebagaimana surah al-Nisa’ ayat 149;

إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا

Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.

Ayat di atas, dari al-Syuyuti berpendapat bahwa maksud memaafkan adalah memaafkan orang yang mendhaliminya. menurut Ibnu Katsir, sesungguhnya bersikap memaafkan terhadap orang yang mendhalimi kita, dapat mendekatkan diri kepada Allah. Serta Allah akan memberikan pahala yang banyak, karena salah satu dari sifat Allah adalah memaafkan hamba-Nya bersamaan dengan taqdir-Nya atas siksaan hambanya. wallahu a’lam