BerandaTafsir TahliliTafsir Surah An-Nur Ayat 61

Tafsir Surah An-Nur Ayat 61

Tafsir Surah An-Nur Ayat 61 berbicara mengenai etika bertamu. Selain itu juga dijelaskan mengenai aturan-aturan dalam kekerabatan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 59-60


Ayat 61

Menurut kebiasaan orang Arab semenjak masa Jahiliah mereka tidak merasa keberatan apa-apa meskipun tanpa diundang di rumah kaum kerabat dan kadang-kadang mereka membawa serta famili yang cacat makan bersama-sama.

Pada ayat ini telah disusun urutan kaum kerabat itu dimulai dari yang paling dekat, kemudian yang dekat bahkan termasuk pula pemegang kuasa atau harta dan teman-teman akrab, karena tidak jarang seorang teman dibiarkan di rumah kita tanpa diundang atau meminta izin lebih dahulu. Urutan susunan kaum kerabat itu adalah sebagai berikut:

  1. Yang paling dekat kepada seseorang ialah anak dan istrinya, tetapi dalam ayat ini tidak ada disebutkan anak dan istri karena cukuplah dengan menyebut “di rumah kamu” karena biasa seorang tinggal bersama anak dan istrinya. Maka di rumah anak istri tidak perlu ada izin atau ajakan untuk makan lebih dahulu, baru boleh makan. Demikian pula kalau anak itu telah mendirikan rumah tangga sendiri maka bapaknya boleh saja datang ke rumah anaknya untuk makan tanpa undangan atau ajakan, karena rumah anak itu sebenarnya rumah bapaknya juga karena Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

اَنْتَ وَمَالُكَ ِلاَبِيْكَ (رواه احمد واصحاب السنن)

“Engkau sendiri dan harta kekayaanmu adalah milik bapakmu.”    (Riwayat A¥mad dan A¡¥ābus-Sunan)

  1. Ayah. Anak tidaklah perlu meminta izin lebih dahulu kepada bapak untuk makan, karena memang sudah menjadi kewajiban bagi bapak untuk menafkahi anaknya. Bila anak sudah berkeluarga dan berpisah rumah dengan bapaknya tidak juga perlu meminta izin untuk makan meskipun tidak tinggal lagi di rumah bapaknya.
  2. Ibu. Kita sudah mengetahui bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Walaupun anaknya sudah besar dan sudah beranak cucu sekalipun, namun kasih ibu tetap seperti sediakala. Benarlah pepatah yang mengatakan, “kasih anak sepanjang penggalah dan kasih ibu sepanjang jalan.” Tidaklah menjadi soal baginya bila anaknya makan di rumahnya tanpa ajakan, bahkan dia akan sangat bahagia melihat anaknya bertingkah laku seperti dahulu di kala masih belum dewasa.
  3. Saudara laki-laki. Hubungan antara seorang dengan saudaranya adalah hubungan darah yang tidak bisa diputuskan, meskipun terjadi perselisihan dan pertengkaran. Maka sebagai memupuk rasa persaudaraan di dalam hati masing-masing maka janganlah hendaknya hubungan itu dibatasi dengan formalitas etika dan protokol yang berlaku bagi orang lain. Alangkah akrabnya hubungan sesama saudara bila sewaktu-waktu seseorang datang ke rumah saudaranya dan makan bersama di sana.
  4. Saudara perempuan hal ini sama dengan makan di rumah saudara laki-laki.
  5. Saudara laki-laki ayah (paman).
  6. Saudara perempuan ayah (bibi).
  7. Saudara laki-laki dari ibu.
  8. Saudara perempuan dari ibu.
  9. Orang yang diberi kuasa memelihara harta benda seseorang.
  10. Teman akrab.

Demikianlah Allah menyatakan janganlah seseorang baik yang memiliki maupun tidak memiliki cacat tubuh merasa keberatan untuk makan di rumah kaum kerabatnya selama kaum kerabatnya itu benar-benar tidak merasa keberatan atas hal itu, karena hubungan kerabat harus dipupuk dan disuburkan.

Sedang hubungan dengan orang lain seperti dengan tetangga baik yang dekat maupun yang jauh harus dijaga sebaik-baiknya, apalagi hubungan dengan kaum kerabat.


Baca juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Meskipun demikian seseorang janganlah berbuat semaunya terhadap kaum kerabatnya apalagi bila kaum kerabatnya itu sedang  kesulitan dalam rumah tangganya dan hidup serba kekurangan kemudian karena kita ada hubungan kerabat beramai-ramai makan di rumahnya.

Rasa tenggang menenggang dan rasa bantu membantu haruslah dibina sebaik-baiknya. Bila kita melihat salah seorang kerabat dalam kekurangan hendaklah kaum kerabatnya bergotong royong menolong dan membantunya. Lalu Allah menerangkan lagi tidak mengapa seorang makan bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ad-Dahhāq dan Qatādah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Lais bin Amr bin Kinanah, mereka merasa keberatan sekali makan sendiri-sendiri.

Pernah terjadi seseorang di antara mereka tidak makan sepanjang hari karena tidak ada tamu yang akan makan bersama dia. Selama belum ada orang yang akan menemaninya makan dia tidak mau makan.

Kadang-kadang ada pula di antara mereka yang sudah tersedia makanan di hadapannya tetapi dia tidak mau menyentuh makanan itu sampai sore hari. Ada pula di antara mereka yang tidak mau meminum susu untanya padahal untanya sedang banyak air susunya karena tidak ada tamu yang akan minum bersama dia. Barulah apabila hari sudah malam dan tidak juga ada tamu dia mau makan sendirian.

Hatim At-Ta’i seorang yang paling terkenal sangat pemurah mengucapkan satu bait syair kepada istrinya:

اِذَا صَنَعْتِ الزَّادَ فَالْتَمِسِى لَهُ #  اَكِيْلاً فَاِنِّى لَسْتُ اٰكِلَهُ وَحْدِي

Apabila engkau memasak makanan, maka carilah orang yang akan memakannya bersamaku, karena aku tidak akan memakan makanan itu sendirian.

Maka untuk menghilangkan kebiasaan yang mungkin tampaknya baik karena menunjukkan sifat pemurah pada seseorang, tetapi kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan semua orang, Allah menerangkan bahwa seseorang boleh makan bersama dan boleh makan sendirian.

Janganlah seseorang memberatkan dirinya dengan kebiasaan makan bersama tamu, lalu karena tidak ada tamu dia tidak mau makan. Kemudian Allah menyerukan kepada setiap orang mukmin agar apabila dia masuk ke rumah salah seorang dari kaum kerabatnya, hendaklah dia mengucapkan salam lebih dahulu kepada seisi rumah itu, yaitu salam yang ditetapkan oleh Allah, salam yang penuh berkat dan kebaikan yaitu, “Assalāmu`alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.” Dengan demikian karib kerabat yang ada di rumah itu akan senang dan gembira dan menerimanya dengan hati terbuka.

رَوَى اَلْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ اَلْبَزَّارِ عَنْ اَنَسِ قَالَ: أَوْصَانِى النَِّبيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ خِصَالٍ قَالَ يَا اَنَسَ أَسْبِغْ الْوُضُوْءَ يَزِدْ فِى عُمُرِكَ وَسَلِّمْ عَلَى مَنْ لَقَيْكَ مِنْ اُمَّتِى تَكْثُرْ حَسَنَتُكَ وَاِذَا دَخَلَتَ –يَعْنِى بَيْتِكَ- فَسَلِّمْ عَلَى اَهْلِكَ يَكْثُرُ خَيْرُ بَيْتِكَ وَصَلَّ صَلاَةَ الضُّحَى فَاِنَّهَا صَلاَةَ اْلاَوَّابِيْنَ قَبْلَكَ، يَا اَنَسَ اِرْحَمِ الصَّغِيْرَ وَوَقَّرِ الْكَبِيْرَ، تَكُنْ مِنْ رُفَقَائِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Al-Hafiz, Abu Bakar al-Bazzār meriwayatkan bahwa Anas berkata: Rasulullah mengajarkan kepadaku lima hal. Rasulullah bersabda, “Hai Anas! Berwudulah dengan sempurna tentu umurmu akan bertambah, beri salamlah kepada siapa yang kamu temui di antara umatku, tentu kebaikanmu akan bertambah banyak, apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu; tentu rumahmu itu akan penuh dengan berkah, kerjakanlah salat duha karena salat duha itu adalah salat orang-orang saleh di masa dahulu.

Hai Anas sayangilah anak-anak dan hormatilah orang tua, niscaya engkau akan termasuk teman-temanku pada hari Kiamat nanti.”

Demikianlah Allah menerangkan ayat-Nya sebagai petunjuk bagi hamba-Nya, bukan saja petunjuk mengenai hal-hal yang besar, melainkan juga petunjuk mengenai hal-hal yang kecil. Semoga dengan mengamalkan petunjuk itu kita dapat memikirkan bagaimana baik dan berharganya petunjuk itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 62


(Tafsir Kemenag)

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...