Jarkoni, kepanjangan dari iso ngujari tapi ora bisa nglakoni merupakan akronim dalam bahasa Jawa yang berarti bisa berkata/menasehati tapi tidak bisa melaksanakan. Akronim jarkoni merupakan sindiran dan cemoohan bagi orang yang hanya pandai berbicara namun dia sendiri tidak melakukan apa yang dikatakannya. Akronim ini ditujukan bagi siapa saja terutama para pendakwah yang pandai berbicara, padahal dia sendiri tidak melakukan apa yang dikatakannya. Mengenai hal ini, al-Quran juga memberikan peringatan keras, yakni pada QS. As-Saff ayat 2-3
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? (iu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff ayat 2-3).
Tafsir QS. As-Saff ayat 2-3
Ibn Jarir al-Tabari dalan kitabnya Jāmi` al-Bayān (juz 22, hal 607) memberikan rincian mengenai pendapat para ulama mengenai sebab ayat tersebut diturunkan. Sebagian ulama berkata bahwa ayat tersebut turun sebagai teguran dari Allah atas orang mukmin. Mereka sangat ingin tahu berbagai amalan yang paling utama. Namun ketika Allah memberitahukan amalan utama itu, mereka melakukannya tidak secara sempurna.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sebagian kaum mukmin berkata “Demi Allah, jikalau kami mengetahui amal yang paling dicintai Allah, kami pasti akan melaksanakannya”. Lalu Allah menurunkan QS. Al-Shaf [61]: 2-4. Pada ayat keempat Allah memberitahukan amalan yang paling dicintainya, yaitu jihad di jalan Allah, namun mereka tidak senang.
Sebagian ulama berpendapat, QS. As-Saff ayat 2-3 tersebut menjadi teguran bagi sebagian sahabat Nabi yang membangga-banggakan perbuatan yang tidak mereka kerjakan. Mereka berkata “Aku melakukan ini dan itu,” padahal dia tidak melakukannya dan Allah mencela mereka sebab sesuatu yang tidak mereka kerjakan.
Diriwayatkan dari Qatadah bahwa ayat tersebut berkaitan dengan seruan jihad di mana ada seorang laki-laki berkata “Aku pasti berperang, aku pasti melakukannya,” padahal dia tidak melakukannya. Maka Allah menegurnya dengan teguran yang keras. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang munafik yang berjanji kepada orang-orang mukmin untuk menolong mereka di medan perang namun ternyata mereka berbohong.
Ibn Katsir menjelaskan bahwa QS. Al-Shaf [61]: 2 merupakan bentuk pengingkaran terhadap sikap orang yang berjanji namun tidak ditepatinya atau yang berkata namun tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.
Baca juga: Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92
Melalui QS. As-Saff ayat 2-3 ini, para ulama salaf menjadikannya dalil mengenai wajibnya menepati janji secara mutlak. Baik itu janji yang bisa mengakibatkan denda atau tidak. Para ulama salaf tersebut juga berhujjah dengan hadis shahih, Rasulullah bersabda “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berkata, dia berbohong, ketika dia berjanji, dia mengingkari, dan ketika dipercaya, dia berkhianat.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibn al-Kaṡīr, juz 8, hal 105).
Allah tidak hanya mengingkari (menolak) perbuatan tersebut, namun juga sangat membenci perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari redaksi ayat selanjutnya كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ . Lafaz maqtan dalam ayat tersebut bermakna asyaddul bukhdhi (sangat dibenci). Apalagi kebencian tersebut berkaitan dengan bencinya Allah, maka lebih menakutkan lagi peringatan ini. Manusia tidak bisa membayangkan jika dia dibenci Allah, Sang pencipta.
Selain itu, redaksi ayatnya disertai dengan pengulangan mā lā taf’alūn. Ketika ada satu lafaz yang sama diulang dalam satu kalam (pembicaraan), itu menunjukkan betapa ngeri dan agungnya hal tersebut (al-Qasimi, Maḥāsin al-Ta`wīl, juz 9, hal 216).
Ali al-Shabuni (Shafwah al-Tafāsīr, hal 1325) mengutip sebuah pendapat yang menyatakan bahwa termasuk orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya adalah orang-orang yang memerintahkan saudaranya untuk melakukan kebaikan namun dia sendiri tidak melaksanakannya, atau melarang perbuatan mungkar namun dia tidak melarang dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana Firman Allah “mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab ? Tidakkah kamu mengerti “ (QS. Al-Baqarah [2]:44).
Berkaitan dengan ayat ini, Al-Qurthubi mengutip riwayat dari Anas bin Malik dalam Musnad Ahmad hadis nomor 12940; “Ketika malam aku di-isra’-kan, aku melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong-potong dengan gunting api. Aku bertanya ‘siapakah mereka itu Wahai Jibril?’. Dia menjawab ‘Mereka adalah juru dakwah umatmu, mereka memerintahkan orang-orang untuk berbuat kebaikan namun melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca Kitab. Tidakkah mereka berakal?.” (Tafsir al-Qurtubi, juz 1, hal 365).
Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1
Penutup
Imam al-Ghazali dalam Bidāyah al-Hidāyah (halaman 27) memasukkan ulama su’ (ulama yang buruk) termasuk orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya. Mereka berpura-pura dengan ilmunya untuk memperbanyak harta, membanggakan pangkat, mencari pengikut, menaklukkan tempat yang bisa dia taklukkan, dan mengharap bagiannya di dunia yang kesemua niat ini dia sembunyikan dalam dirinya.
Mereka seolah-olah mengajak manusia untuk berpaling dari dunia, padahal sebenarnya mereka menggiring manusia untuk mencintai dunia karena lisānul ḥāl afshaḥu min lisānil maqāl, yaitu bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan. Sedangkan tabiat manusia lebih cenderung meniru apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan.
Ayat tersebut memberikan peringatan kepada kita untuk selalu menepati apa yang kita janjikan dan berkata sesuai dengan perbuatan. Ayat ini juga mengajarkan kita untuk selalu berusaha menyesuaikan dengan apa yang yang kita yakini, katakan, dan lakukan. Ini juga merupakan implementasi dari iman, yaitu meyakini dengan hati, ikrar dengan lisan, dan beramal dengan perbuatan. Orang yang mengaku beriman namun hatinya ingkar maka munafik.
Berusahlah untuk tidak bersikap seolah memusuhi setan dalam keramain sedangkan bersekutu dengannya ketika sendiri. Oleh karena itu, ibda’ binafsik, mulailah kebaikan dari diri sendiri. Wallahu a’lam.
Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan