BerandaTafsir Al QuranTafsir Surah At-Taghabun: 14: Musuh dalam Selimut

Tafsir Surah At-Taghabun: 14: Musuh dalam Selimut

Dalam kehidupan ini, seseorang yang menyatakan keimanannya pasti mendapatkan coban dari Allah (Q.S. al-‘Ankabūt: 2). Selain sebagai bukti pernyataannya, cobaan juga menjadi batu loncatan untuk kenaikan kelasnya. Cobaan adakalanya muncul dari diri sendiri seperti hawa nafsu, ada pula yang dari luar seperti musuh. Q.S. At-Taghabun: 14 menyebut salah satu musuh kita adalah pasangan dan anak sendiri.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghabun: 14)

Mengenai At-Taghabun: 14 ini, Ibn al-‘Arabī dalam Tafsīr Ahkām al-Qur’ān-nya menuturkan paling tidak ada enam poin yang bisa digali dari ayat ini. Pertama, kata ‘adāwah harus dipahami sebagai ‘jauh’. Sementara walāyah, antonimnya, harus dimaknai dengan ‘dekat’. Karena memang ada unsur jauh dan dekat dalam dua kata tersebut. Pada dasarnya, dua hal ini berkaitan dengan jarak yang tidak berlaku bagi Allah. namun keduanya juga berkaitan dengan kasih sayang dan kedudukan.

Yang dimaksud dengan ‘adāwah pada ayat ini adalah jauhnya kasih sayang dan kedudukan. Hal ini karena secara tempat tinggal, anak dan istri adalah orang yang hidup bersama. Dengan ikatan yang baik dan interaksi yang bagus mereka bisa mendekatkan kita kepada Allah. Dalam kondisi ini mereka menjelma menjadi kekasih yang dirindukan. Namun terkadang mereka juga menjadi musuh dalam selimut pada saat menjauhkan kita dari-Nya. Misalnya dengan melemahkan semangat ibadah kita, mengajak untuk berbuat maksiat, atau bahkan mengingakari ke-Esa-an atau keberadaan-Nya.

Kedua, ayat ini menjadi respon atas kekecewaan sekelompok lelaki terhadap anak-istri mereka yang telah menghalangi keinginannya. Mereka adalah penduduk Makkah yang ingin belajar Islam kepada Nabi namun tidak terlaksana lantaran keberatan yang diajukan anak-istrinya. Setelah nekat berangkat dan mendapati sahabat yang lain telah berhasil memahami agama dengan baik, mereka merasa perlu menghukum anak-istrinya. Hal itu dicegah oleh Allah melalui alternatif sikap yang ditawarkannya. Yakni memaafkan, tetap santun, dan mengampuni mereka.

Kisah yang melatari turunnya ayat ini dituturkan oleh Imam al-Tirmīdzī dari Sahabat Ibn Abbas. selain Ibn al-‘Arabī, mufassir lain yang mencantumkan riwayat ini dalam tafsirnya adalah Ibn Jarīr al-Thabarī, al-Baghawī, Ibn ‘Athiyyah, al-Qurthubī, Ibn Katsīr, dan Ibn ‘Āsyūr (al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’ān, 2/1022).

Ketiga; ayat ini menegaskan bentuk permusuhan yang ada. Sebagaimana yang diajarkan Nabi Nuh, seorang musuh tidak boleh dimusuhi fisiknya melainkan sikapnya (Q.S al-Syu’arā` [26]: 168). Jika seorang istri atau anak berperilaku seperti musuh maka ia adalah musuh. Dalam sebuah hadis, Nabi menuturkan bagaimana setan membuktikan janjinya yang tercantum di Q.S. al-A’rāf [7]: 16-17, yakni berusaha sekuat tenaga dalam mencari teman untuk hidup bersama di neraka.

Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17

Pada awalnya –sebagaimana hadis riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (25/315)– setan menghalangi keturunan Adam dari beriman dengan mempertanyakan kesiapan mereka meninggalkan agamanya dan agama nenek moyangnya. Setelah tidak berhasil, ia berusaha mencegahnya dari berhijrah bersama Nabi dengan dalih ia akan meninggalkan keluarga dan hartanya, tanah airnya, dan mengumpakan orang hijrah dengan kuda yang tidak tahu jauhnya jarak tempuh. Karena tidak berhasil lagi, ia mencoba melemahkannya dari ikut berperang di jalan Allah dengan menakut-nakutinya akan kematian, istrinya menjadi milik orang lain, dan hartanya dibagi-bagikan. Dari sini, nampak jelas bahwa usaha setan ada dua; mengobang-ambingkan perasaan seseorang (membuatnya was-was) dan membawa-bawa anak, istri serta kerabat orang tersebut dalam misinya.

Keempat; musuh yang dalam ayat ini digambarkan muncul dari sosok istri dan anak, juga berlaku bagi kaum perempuan. Suami dan anak juga bisa menjadi musuh yang menghalanginya dari keimanan atau berbuat ketaatan. Hal ini karena penggunaan kata min azwājikum mencakup kaum muslim laki-laki maupun perempuan sebagaimana dalam banyak ayat. Khālid bin ‘Utsmān al-Sabt dalam Qawā’id Tafsir-nya (2/99) menuliskan:

“Telah ditetapkan dalam kebiasaan syari’at, bahwasanya sebuah hukum yang hanya menyebutkan kaum lelaki secara umum tanpa adanya penyertaan kaum wanita, maka ia mencakup (berlaku untuk) muslim lelaki dan perempuan”.

Kelima; kata fahdzarūhum yang berarti ‘maka berhati-hatilah terhadap mereka’. Ada dua bentuk kehati-hatian yang harus diperhatikan. Hati-hati terhadap sesuatu yang membahayakan fisik dan hati-hati terhadap sesuatu yang membahayakan agama. Mudarat dari yang kedua lebih besar dan berbahaya. Karena bahaya fisik itu berkaitan dengan dunia yang sementara dan bisa diperbaiki keadaannya. Sementara bahaya agama berkaitan dengan akhirat, yang tidak hanya selamanya saja tapi juga tidak bisa diperbaiki dan berlipat ganda kesengsaraannya.

Keenam, tiga tawaran Allah sebagai solusi dalam menyikapi fenomena yang menjengkelkan ini. Dalam bagian kedua dari ayat ini, Allah memberi tahu hamba-Nya sikap yang bisa membuat mereka tidak rugi dua kali dan bahkan bisa memperoleh banyak sekali manfaat darinya. Allah mengajaknya untuk memaafkan anak istrinya, tetap mengasihi, dan mengampuni mereka. Cukup kehilangan kesempatan belajar agama kepada Nabi saja –dalam konteks asbāb nuzūl-nya ayat ini– yang menjadi kerugiannya. Jangan sampai kehilangan keharmonisan rumah tangga. Apalagi anak istri. Selain itu, dengan ketiganya ia bisa membuat dirinya tetap sehat jiwanya dengan menaggalkan amarah, menarik hati mereka tersadar dan mengajak mereka untuk lebih baik lagi dan berinteraksi.

Demikian tafsir Q.S. At-Taghabun: 14 tentang makna istri dan anak sebagai musuh. semoga bermanfaat.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...