Sehari-hari, umat Islam sering mendengar ajakan atau perintah istiqomah dalam kebaikan dan menjauhi keburukan dalam berbagai kegiatan maupun kesempatan. Namun meskipun begitu, masih banyak orang yang belum mengetahui secara mendalam tentang makna istiqomah dan bagaimana Al-Qur’an berbicara mengenainya.
Secara bahasa, istiqomah berasal dari bahasa Arab istiqamah yang bermakna lurus dan tegak. Sedangkan menurut istilah, istiqomah berarti terus berpegang teguh pada ajaran Islam, baik urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Di Indonesia, istiqomah sering diterjemahkan sebagai konsisten dalam melaksanakan sesuatu atau bersikap.
Istiqomah dalam kebaikan adalah sebuah pembuktian tentang sejauh mana seseorang dalam berislam pasca beraksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt dan nabi Muhammad Saw merupakan utusan-Nya. Para ulama bahkan menyebutkan bahwa “al-istiqamah khairun min alfi karamah.” Artinya, sikap dan perbuatan istiqomah jauh lebih baik dari seribu karomah (Syarh al-Hikam al-‘Atha’iyyah [1]: 126).
Baca Juga: Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai istiqomah dalam kebaikan. Tercatat, kata istiqomah dan derivasinya disebutkan sebanyak 22 kali dan tersebar dalam beberapa surah. Secara umum, ayat-ayat tersebut berbicara mengenai perintah istiqomah dalam kebaikan dan keutamaannya, serta janji Allah Swt bagi orang-orang yang senantiasa bersikap istiqomah dalam beragama.
Tafsir Surah Hud [11] Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan
Bersikap istiqomah dalam kebaikan maupun menjauhi keburukan tidaklah mudah. Karena setiap orang seringkali mengalami fluktuasi keimanan yang kadangkala meningkat dan kadangkala menurun. Ketika iman seseorang naik, maka kemungkinan besar semangat beribadahnya akan meningkat, begitu pula sebaliknya.
Menjaga konsistensi keimanan tidaklah mudah. Allah Swt Bahkan mengingatkan nabi Muhammad Saw – sebagai manusia terbaik dan paling beriman – agar selalu istiqomah dalam kebaikan dan berusaha menjaga stabilitas grafik keimananya serta meningkatnya. Narasi persuasif Allah Swt ini tertuang dalam surah Hud [11] Ayat 112 yang berbunyi:
فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ١١٢
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan perintah istiqomah dalam kebaikan dan konsistensi dalam mengikuti tuntunan Allah Swt dalam Al-Qur’an. Karena pada ayat sebelumnya, yakni surah Hud [11] Ayat 111, dikisahkan bahwa bani Israil tidak berpegang teguh kepada kitab Taurat dan berselisih tentangnya. Akibatnya, sebagian mereka ada yang mempercainya dan ada pula yang tidak.
Agar kisah bani Israil dan Taurat tidak terulang, pada surah Hud [11] Ayat 112 mengingatkan nabi agar senantiasa konsisten berpegang teguh pada Al-Qur’an dan ajarannya. Seakan-akan Allah Swt berfirman, “Dulu sebelum zamanmu wahai Muhammad, bani Israil telah diberikan kitab Taurat melalui Musa, akan tetapi mereka semua tidak berpegang teguh padanya dan malah memperselisihkannya.”
“Akibat dari tindakan tersebut, mereka tercerai berai dan tersesat. Oleh karena itu ya Muhammad, maka istiqomahlah kamu, yakni bersungguh-sungguh memelihara, mempercayai, mengamalkan serta mengajarkan tuntunan-tuntunan-Nya, baik menyangkut dirimu secara pribadi, maupun masyarakat sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan juga hendaklah kamu bersikap serupa terhadap orang-orang yang bertaubat bersamamu.”
“Selain harus istiqomah dalam kebaikan wahai Muhammad, engkau beserta umatmu juga dilarang untuk melakukan segala macam keburukan dan janganlah kamu semua melampaui batas yang telah ditetapkan Allah Swt. Karena itu dapat mencederai kesucianmu dan kebaikan umatmu. Ketahuilah sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kata fastaqim pada ayat ini diambil dari kata qama yang berarti mantap, terlaksana, berkonsentrasi serta konsisten. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kata fastaqim diambil dari kata berdiri yang mengisyaratkan kemantapan dan kekokohan. Istilah ini dapat digambarkan seperti tiang yang berdiri tegak, tumbuhan yang akarnya kuat, dan permukaan air yang stabil (Tafsir Al-Misbah [6]: 360).
Dengan demikian, kata fastaqim adalah perintah untuk menegakkan sesuatu sehingga ia menjadi sempurna, mantap, dan seluruh yang diharapkan darinya berada dalam bentuk sesempurna mungkin, tidak ada kekurangan, keburukan dan kesalahan sedikitpun. Jadi, ketika Allah Swt memerintahkan seseorang dengan kata fastaqim, berarti ia harus melaksanakan perintah tersebut sesempurna mungkin sesuai kemampuan dirinya.
Secara umum, ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk istiqomah dalam kebaikan dan menegakkan tuntunan wahyu-wahyu llahi sebaik mungkin sehingga terlaksana secara sempurna sebagaimana mestinya. Tuntunan wahyu ada bermacam-macam, ia mencakup seluruh persoalan agama, dan kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan demikian, perintah tersebut mencakup perbaikan kehidupan duniawi dan ukhrawi, pribadi, masyarakat dan lingkungan.
Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW
Redaksi ayat di atas memisahkan Nabi Muhammad Saw dengan orang-orang yang telah bertaubat. Hal ini bukan saja untuk menunjukkan betapa tinggi kedudukan Nabi Saw, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa tugas dan beban yang diletakkan di pundak Nabi Muhammad Saw dalam soal perintah ini lebih berat daripada lainnya. Beliaulah yang berkewajiban tampil terlebih dahulu, setelah itu umat Islam mencontoh perbuatan Nabi Saw tersebut (Tafsir Al-Misbah [6]: 362).
Menurut al-Biqa‘i, kata istaqim pada Hud [11] Ayat 112 mengandung makna moderasi, karena pada ayat tersebut perintah melakukan berpadu dengan larangan agar melampaui batas. Dengan demikian, istaqim adalah pertengahan antara melebihkan (melampaui batas) dan mengurangi (tidak sempurna dalam mengerjakan ataupun meninggalkannya).
Hal serupa dikatakan Sayyid Qutb. Menurutnya, “Istiqamah adalah moderasi serta menelusuri jalan yang ditetapkan tanpa penyimpangan. Ini menuntut kewaspadaan terus-menerus, perhatian bersinambung, upaya pengamatan terhadap batas-batas jalan, pengendalian emosi yang dapat memalingkan sedikit atau banyak, karena perintah ini merupakan tugas abadi dalam setiap gerak dari gerak-gerak hidup ini.”
Larangan yang datang pada ayat ini sesudah perintah istiqomah bukanlah larangan pengabaian atau pengurangan, tetapi larangan pelampauan batas. Karena perintah istaqim serta apa yang diakibatkaanya dalam jiwa manusia bisa jadi membuat seseorang melampaui batas dan berlebihan sehingga mengalihkan ajaran agama ini dari kemudahan menjadi kesukaran. Padahal Allah Swt menghendaki agar agama-Nya dilaksanakan sebagaimana ia diturunkan.
Allah Swt menghendaki agar istiqomah ini sesuai dengan yang diperintahkan-Nya, tidak berkurang dan tidak berlebih. Kelebihan dan pelampauan batas serupa dengan pengabaian dan pengurangan, keduanya mengantar agama ini menyimpang dari cirinya yang dikehendaki Allah swt. Ini adalah satu pesan yang sangat berharga untuk memantapkan jiwa dalam jalan lurus dan lebar, tanpa penyimpangan menuju pelampauan batas atau pengabaian. Wallahu a’lam.