Perbedaan manusia -dalam segala hal nya-, merupakan sebuah keniscayaan. Demikian kurang lebih pesan dalam surah Hud ayat 118. Sebagai individu, setiap orang mempunyai sifat, karakter, ketertarikan dan cara berpikir masing-masing. Sebagai bagian dari sebuah kelompok, berbangsa dan bernegara, sebut saja Indonesia misalnya, masing-masing rakyatnya mempunyai suku, adat, tradisi, bahasa dan keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Bahkan sebagai pemeluk agama, masing-masing orang mempunyai cara keberagamaan dan cara memahami ajaran agama yang tidak sama.
Tidak jarang perbedaan-perbedaan itu berujung pada perselisihan, konflik atau perpecahan, meski sebenarnya dalam perbedaan itu ada potensi besar untuk mewujudkan harmoni, keindahan dan kedamaian. Sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari pesan tersembunyi itu, kecuali orang yang mendapat rahmat Allah (QS. Hud [11]: 119). Mengingat sedikitnya orang yang peka terhadap pesan yang tersembunyi tersebut, maka pertanyaannya kemudian, siapakah ‘orang yang mendapat rahmat Allah itu?’
Allah berfirman dalam surah Hud ayat 118-119,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ () إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat); kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud [11]: 118-119)
Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran
Konteks ayat 118-119 dalam Surah Hud dan Al-Quran
Kaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 116-117, ayat 118-119 ini menegaskan bahwa keragaman manusia, ada yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah, seperti yang terjadi pada kisah umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad saw, hingga kemudian Allah menghukum dan membinasakan mereka ini bukan berarti karena sifat tidak kuasanya Allah, seandainya saja Allah berkehendak untuk semuanya patuh, maka tentu hal tersebut yang akan terjadi. Namun ternyata Allah tidak menghendaki demikian, sehingga perbedaan dan keragaman, mulai dari hal-hal yang remeh misal sifat atau karakter seseorang hingga hal yang prinsip seperti agama akan terus terjadi.
Realita di lapangan sekarang, kehendak Allah ini masih banyak yang belum bisa menerima, dan seringkali keragaman ini dituntut untuk menjadi seragam, oleh karena itu Al-Quran menyatakan bahwa hanya ‘orang mendapat rahmat Allah’ yang bisa menerima dan mengelolanya.
Adapun kaitannya dengan ayat yang lain dalam Al-Quran, tema yang sama juga dapat ditemui dalam surah Asy-Syura ayat 8:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka pelindung dan penolong.” (QS. Asy-Syura [42]: 8)
Sekali lagi Allah menyatakan bahwa Ia menghendaki perbedaan dan keragaman manusia yang senantiasa diiringi dengan pemberian rahmatNya. Ini senada dengan surah Hud ayat 118-119 yang mengiringi pernyataan perbedaan dengan rahmat dari Allah.
Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran
Yang mendapat Rahmat Allah adalah ia yang toleran
Seringkali dua ayat ini dibaca secara terpisah, ayat 118 sendiri dan ayat 119 dikaji sendiri, padahal dua ayat ini berkesinambungan. Ini terlihat dari kata ‘illa’ atau ‘kecuali’ di awal ayat 119 yang menandakan bahwa ayat sebelumnya, 118 belum selesai. Ini menjadi penting, karena di awal ayat 119 tercantum pengecualian dari pernyataan sebelumnya, ayat 118. Di situ ditegaskan bahwa manusia akan terus berbeda dan berselisih, kecuali yang dirahmati Allah, dan seterusnya.
Ada yang menarik dalam penjelasan M. Quraish Shihab tentang penjabaran atas pengecualian di awal ayat 119 di atas. Dalam bukunya, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, hal. 181, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa orang yang dirahmati Allah ini adalah orang yang mampu mengelola perbedaan tersebut, antara lain dengan bersikap toleran atas perbedaan dan keragaman manusia. Padahal sebelumnya, di Tafsir Al-Misbah, vol. 5, hal. 786 ia hanya menjelaskan frasa ini dengan ‘hanya’ orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah.
Penjelasan ini tampak berbeda meski tidak bertentangan dengan penafsir-penafsir pendahulunya. At-Tabari misalnya, ia menafsirkan frasa ‘man rahima Allah’ dengan banyak pilihan, antara lain ahlu al-haq (sebagai kebalikan ahl al-batil), al-hanifiyah (sebagai padanan dari Yahudi, Nasrani dan Majusi), ahl al-iman, ahl al-jamaah (sebagai kebalikan dari ahl al-firqah) dan pilihan yang terakhir yaitu man ja’alah ‘ala al-Islam
Masih berbeda dengan mufasir yang lain, seperti As-Samarqandi. Mufasir asal Samarkand ini memaknai kata ‘rahima’ dengan penjagaan Allah terhadap perselisihan yang terjadi. Sedang Al-Kasysyaf dan Al-Baidhawi memahami ‘orang yang dirahmati Allah’ itu dengan sekelompok orang yang mendapatkan petunjuk Allah dan bersikap lemah lembut; ini tidak jauh berbeda dengan Nawawi Al-Bantani yang memaknai ‘man rahima Allah’ dengan suatu kelompok yang Allah memberi petunjuk kepada mereka dengan fadhol dari Allah.
Meskipun demikian, pemahaman yang beraneka raga mini dapat ditarik benang merahnya bahwa ia yang mendapat rahmat Allah adalah orang yang mendapat petunjuk Allah untuk senantiasa terhindar dari perselisihan atau konflik dengan tetap bersikap lemah lembut dan menjaga persatuan (al-jamaah) tidak terpecah belah (al-firqah). Dalam konteks pemaknaan yang seperti ini, maka penjelasan M. Quraish Shihab di awal tadi dapat diposisikan sebagai teknis dalam mewujudkan rahmat atau petunjuk Allah tersebut, yaitu dengan bersikap toleran.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah
Toleransi termasuk yang hilang dari akhlak kita
Quraish Shihab memasukkan sikap toleransi ini pada salah satu nilai akhlak terpenting. Toleransi sendiri diartikannya dengan sikap membiarkan, menenggang dan menghormati pendapat atau sikap pihak lain, walau yang membiarkannya tidak selalu sependapat dengannya.
Lebih lanjut, mufasir Indonesia ini memaparkan beberapa langkah untuk mewujudkan sikap toleransi. Sikap toleran bisa terwujud kalau kita mengenal pihak lain yang berbeda dengan kita. Untuk mengenal, perlu adanya dialog. Namanya dialog, berarti di dalamnya ada interaksi dari kedua belah pihak, keduanya saling menghargai, tidak bersikap apriori dan memonopoli, baik memonopoli kebenaran maupun memonopoli kesalahan. Berdialog untuk mencari titik temu menemukan substansi, bukan untuk berdebat dan membanggakan diri.
Kalaupun dialog itu tidak menemukan titik temu, maka prof. Quraish meminta kita untuk mengingat pesan Allah kepada Nabi Muhammad saw. “Sampaikanlah bahwa sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat” (QS. Saba’ [34]: 25-26.
Mengingat Indonesia adalah Negara yang sangat beragam penduduknya, maka toleransi bukan lagi pilihan sikap untuk diterapkan, tetapi memang sikap yang harus dipraktikkan. Wallahu a’lam