BerandaTafsir TematikTafsir Surah Thaha Ayat 43-44: Cara Menasehati Orang Lain

Tafsir Surah Thaha Ayat 43-44: Cara Menasehati Orang Lain

Tafsiralquran.id – Sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari khilaf dan salah, tentu kita dalam hal ini sangat membutuhkan peran orang lain untuk dapat mengingatkan di saat salah. Agama Islam adalah agama nasehat, maka dari itu nasehat menduduki posisi yang penting dalam agama Islam.

Semua sendi-sendi agama Islam adalah nasehat. Dan setiap dari umat Islam ini akan senantiasa menasehati dan dinasehati, sehingga inilah yang menyebabkan umat ini menjadi yang terbaik. Agar pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima oleh orang lain, maka hendaknya seseorang mengetahui etika ketika menyampaikannya. Allah Swt berfirman dalam (QS. Thaha [20] 43-44):

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)

Artinya:” 43. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; 44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

Pada ayat 43, Allah Swt. memerintah Musa dan saudaranya (Harun) pergi mendatangi Fir’aun perlu membatalkan seruannya sebagai tuhan (untuk disembah) dengan argument dan dalil, karena dia telah melampaui batas kufur, menentang dan durhaka kepada Allah, yakni dengan ucapannya: “saya adalah tuhan kalian yang maha tinggi”. (al-Munir, 16/215).

Menurut al-Zuhaili, ayat 44 merupakan sebuah metode berdakwah, yang kemudian dipraktikkan Musa dan Harun ketika menghadap Fir’aun perlu menasehati dan menyampaikan risalah ilahi. Cara yang digunakan oleh keduanya adalah Qaula Layyina.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, al-Baghawi (3/261) mengutip beberapa tafsiran terkait makna Qaula Layyina. Diantaranya adalah tafsiran Ibnu Abbas berupa larangan berkata kasar. Al-Suddi dan ‘Ikrimah menafsiri dengan perintah kepada Musa dan Harun untuk menyeru Fir’aun dengan kunyah (Abu Abbas atau Abu Walid).

Al-Suddi juga menafsiri Qaula Layyina dengan janji-janji kepada Fir’aun, berupa; ‘jika dia beriman, maka dia senantiasa akan tetap muda (tidak pikun atau mudah lupa), tetap memiliki kerajaan dengan segala kemewahan sampai ajalnya datang, dan akan masuk surga. Dan ada pendapat lain yang menafsirinya dengan perkataan yang lembut.

Benang merah yang bisa ditarik dari beberapa pendapat diatas mengenai cara Musa dan Harun menyampaikan risalah ilahi adalah dengan perkataan yang lembut, tidak kasar, dan dengan penyebutan nama yang baik, tidak cacian. Cara seperti inilah hingga konon disebutkan Fir’aun sempat tertarik, namun Allah belum menghendakinya mendapat hidayah. 

Mengapa harus dengan cara yang lembut?

Al-Sya’rawi dalam tafsirnya menyebutkan kepribadian yang hendaknya dimiliki seorang pendakwah beserta alasannya,

أن الداعية لا بُدَّ أن يكون رَحْب الصدر، رَحْب الساحة، ذلك لأنه يُخرِج أهل الضلال عما أَلِفوه إلى شيء يكرهونه، فلا تُخرجهم من ذلك بأسلوب يكرهونه، فتجمع عليهم شدتين

Artinya: “seorang pendakwah hendaknya dapat bermurah hati dan berlapang dalam penyambutan. Demikian karena tugasnya adalah mengentaskan orang-orang yang tersesat dari apa yang menjadi kebiasaannya menuju apa yang mereka benci, maka janganlah kalian mengentaskan mereka dengan cara yang mereka membencinya, sehingga akan bertambah kebenciannya”. (Al-Sya’rawi, 17/10438)

Di akhir penafsiran ayat tersebut, al-Zuhaili menyebutkan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Yakni, jika orang seperti Fir’aun saja yang angkuh dan sombong, Nabi Musa yang menjadi pilihan-Nya masih diperintahkan berkata yang lembut dan santun, apalagi untuk mendakwahi selainnya yang tidak lebih dari Fir’aun.   

Dikisahkan, suatu ketika Khalifah al-Ma’mun didatangi seseorang. Lalu dia berkata, “Khalifah, saya ingin menasehati Anda, tapi dengan kata-kata keras. Semoga Tuan dapat menerimanya,”.

“Tidak. Tidak. Itu tidak baik.”, jawab sang khalifah.

“Kenapa ?”, dia kembali bertanya. “Perlu anda ketahui, Allah pernah mengutus orang yang lebih baik dari Anda (Nabi Musa) untuk memberi nasehat kepada orang yang lebih buruk dariku (Fir’aun). Dan Anda tahu, sungguh pun begitu Allah tetap memerintah orang itu untuk berkata-kata dengan baik dan lemah lembut.” (al-Syanawani, Syarh Abi Jamrah, hlm. 51). Wallahu A’lam bi Shawab.

M. Ali Mustaan
M. Ali Mustaan
Alumnus STAI Imam Syafii Cianjur, mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pecinta kajian-kajian keislaman dan kebahasaaraban, penerjemah lepas kitab-kitab kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...