BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Baqarah Ayat 44: Sebuah Pengingat Bagi Para Dai dan Mubalig

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 44: Sebuah Pengingat Bagi Para Dai dan Mubalig

Bagi para da’i maupun mubalig, menyusun teks dan merangkai kalimat mungkin bisa dikatakan mudah. Yang paling sulit adalah melaksanakan apa yang dikatakan. Sebuah kebaikan bila hanya diucapkan belumlah menjadi kebaikan itu sendiri. Oleh karenanya, Allah SWT mengingatkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 44:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Apakah kalian hendak menyuruh manusia agar (melakukan) kebaikan, sementara kalian lupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca kitab, apakah kalian tidak berpikir?

Ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 44 di atas, Imam Al-Qurthubi menerangkan bahwa ayat di atas adalah bentuk pertanyaan yang bermakna celaan bagi para rahib Yahudi. Ibn Abbas misalnya, mengungkapkan bahwa seorang dari Yahudi Madinah berkata kepada sanak saudaranya dari kaum Muslim agar tetap setia kepada Nabi Muhammad SAW karena setiap perintahnya adalah hak, sementara mereka sendiri tidak menjalankannya.

Riwayat lain dari Ibn Abbas menyebutkan bahwa para rahib Yahudi menyuruh pengikut mereka agar mematuhi Taurat sementara mereka sendiri menyelisihi kitab tersebut dengan mengingkari sifat Nabi Muhammad SAW.

Ibn Juraij menyebut bahwa para rahib menyeru orang-orang agar taat kepada Allah sementara mereka tetap melakukan kemaksiatan. Sebagian ahli takwil menyebut para rahib menyuruh kaum untuk bersedekah sementara mereka sendiri kikir. Sebagian ahli isyarat menyebut bahwa maknanya, “apakah kalian menuntut manusia agar mencari hakikat makna sementara kalian menyelisihi bahkan sejak zahir tulisannya?”

Imam Al-Qurthubi mengutip riwayat dari Anas bin Malik sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي مَرَرْتُ عَلَى نَاسٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Dari Anas, beliau berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘malam ketika aku diisra’kan aku berjalan pada sekelompok manusia yang mulut mereka dipotong dengan pemotong-pemotong dari api. Maka aku bertanya, wahai Jibril siapakah mereka itu? Ia berkata, mereka adalah para pengkhotbah dari ahli dunia yang menyuruh manusia agar (berbuat) baik sementara mereka melupakan diri mereka sendiri, padahal mereka membaca kitab. Apakah mereka tidak berpikir?’”

Setelah menerangkan perihal ancaman terhadap para penyeru kebaikan, Imam al-Qurthubi mengutip pernyataan al-Hasan kepada Mutharif bin Abdillah, “peringatkan sahabat-sahabatmu!” Ia menjawab, “aku takut jika mengatakan apa yang tidak kuperbuat.”

Al-Hasan menimpali, “Semoga Allah merahmatimu dan siapapun di antara kita yang melakukan apa yang dikatakannya! Setan berharap mendapat keuntungan dari hal ini, sehingga tiada orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Pernyataan al-Hasan di atas adalah bentuk dukungan moril terhadap siapapun yang hendak menyuarakan kebaikan, meskipun belum dapat melakukan apa yang dikatakan. Di titik ini pernyataan al-Hasan tersebut beririsan dengan pendapat imam al-Razi bahwa ayat ini lebih pada larangan agar seseorang tidak lupa akan dirinya.

Menurut Imam Ar-Razi redaksi afala ta‘qilun di atas adalah bentuk ketakjuban, bagaimana bisa seorang berakal melakukan hal demikian! Beliau menggarisbawahi tiga sebab mengapa ketakjuban ini  menjadi logis.

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Pertama, bahwa maksud dari seruan kepada kemakrufan dan larangan akan kemungkaran yakni menunjukkan orang lain untuk mendapat maslahah dan mengingatkan akan segala potensi destruktif. Sementara kebaikan kepada diri sendiri lebih utama daripada kebaikan untuk orang lain.

Sehingga orang yang menasihati tanpa mengambil pelajaran maka seakan ia melakukan hal yang kontradiktif, tidak dapat diterima oleh akal sehat. Oleh karenanya dikatakan afala ta‘qilun.

Kedua, barangsiapa menasihati manusia serta menampakkan ilmunya kepada mereka namun ia tidak mengambil pelajaran maka nasihat tersebut akan menjadi motivasi bagi audiensnya dalam bermaksiat. Ketika seorang pendakwah melakukan maksiat maka seruannya seakan menjadi ajakan bagi umat untuk bersambalewa terhadap agama, melanggengkan kemaksiatan.

Jika seorang hendak mencegah maksiat, tetapi ia melakukannya, dan ini berdampak pada keberlangsungan maksiat itu sendiri maka seakan ia telah mengumpulkan dua hal yang bertentangan. Di mana yang demikian ini bukanlah ciri dari orang yang berakal. Oleh karenanya dikatakan afala ta‘qilun.

Ketiga, barangsiapa memberi nasihat maka menjadi keniscayaan baginya untuk berusaha agar pesannya berpengaruh sampai ke hati. Sementara langkah maksiat masuk dalam perkara yang menjadikan hati lari, tidak menerima.

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Orang yang memberi nasihat tujuannya membekaskan nasihat tersebut di hati. Dan orang yang bermaksiat tujuannya agar nasihatnya tidak membekas di hati. Menggabungkan keduanya merupakan ketidakpatutan bagi orang yang berakal.

Dari berbagai penafsiran surat Al-Baqarah ayat 44 di atas, dapat disimpulkan bahwa sah saja menyeru kepada kebaikan, catatannya ialah agar sang penyeru tersebut tidak melupakan dirinya pribadi untuk melakukannya juga. Wallahu A’lam.

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

keserasian nilai-nilai pancasila dengan Alquran

Keserasian Nilai-Nilai Pancasila dengan Alquran

0
Pancasila sebagai hasil kristalisasi dari gagasan brillian para pejuang kemerdekaan dari berbagai kalangan telah menjadi suatu identitas yang melekat pada jati diri bangsa Indonesia....