BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Satu dari sekian bentuk jihad yang menurut saya paling relevan sepanjang masa adalah jihad memerangi hawa nafsu. Problematika yang terjadi di segala lini kehidupan tidak lain penyebab utamanya karena manusia diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Padahal Islam mengajarkan kepada manusia untuk piawai dan lihai memerangi hawa nafsu.

Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun, ia mengatakan “hidup itu harus tahu kapan nge-gas dan nge-rem”. Manusia, kata Cak Nun, harus tahu kapan saat mempercepat lajunya dan kapan mengurangi. Ringkasnya, manusia dituntut untuk mengendalikan – jika tidak berlebihan memerangi – hawa nafsu. Seperti firman Allah swt terhadap Nabi Muhammad saw dalam Q.S. al-Furqan [25]: 52,

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. (Q.S. al-Furqan [25]: 52)

Tafsir Surat Al-Furqan ayat 52

Ayat di atas berisi larangan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw mengikuti orang-orang kafir yang mengajak beliau kompromi terkait masalah keagamaan. Lantas, Allah swt memerintahkan kepada-Nya untuk bersikap tegas dan konsisten dalam mensyiarkan Islam dan berjihad dengan mendakwahkan Al-Quran.

Selain itu, ayat ini juga menyiratkan untuk berupaya semaksimal mungkin dalam melakukan perjuangan li i’lai kalimatiillah (untuk menegakkan kalimat Allah) dengan penuh kearifan, kesabaran dan tiada gentar sedikitpun terhadap musuh. Upaya demikian Allah swt lukiskan dalam redaksi “wa jahidhum bihi jihadan kabiran”.

Tafsir Kemenag mengatakan ayat ini termasuk dalam rumpun ayat Makkiyah, diturunkan dalam keadaan damai. Maka, dalam konteks ini, kata jihad lebih ditekankan pada upaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan dakwah. Sebab dengan sungguh-sungguh, Allah swt pasti memberikan petunjuk dan keberhasilan bagi mereka sebagaimana firman-Nya Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69,

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.(Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69)

Sedangkan Muhammad Thantawi dalam alTafsir al-Wasit li alQuran alKarim menafsiri redaksi fala tuthi’il kafirina dengan perkara yang batil dan rusak (bathilah fasidah). Wa jahidhum, selain Thantawi, Imam al-Tabary, al-Baghawy, Ibnu Katsir, Ibnu Asyur, al-Qurtubi, dan al-Wahidi sepakat menafsirkan redaksi tersebut dengan Al-Quran.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 7, Mengapa Menuntut Ilmu Setara dengan Jihad?

Thantawi mendefinisikan jihad bil Quran dengan,

عن طريق قراءته والعمل بما فيه، وبيان ما اشتمل عليه من دلائل وبراهين على صحة دعوتك

“Dengan membaca dan mengamalkan kandungan Al-Quran, menjelaskan petunjuk-petunjuk dan bukti validnya secara benar”

Semakna dengan Thantawi, al-Baghawy dalam tafsirnya menafsirkan redaksi fala tuthi’il kafirina dengan janganlah Rasul saw menyetujui dan turut dalam tipu muslihat mereka (kaum kafir). Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ia menukil perkataan sahabat Ibnu Abbas dengan menganalogikan konteks ayat di atas dengan firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah: 73, dan Surat At-Tahrim ayat 9.

Lebih jauh, at-Tabary juga menukil hal yang sama dengan Ibnu Katsir, yakni diceritakan al-Qasim, berkatalah al-Husain, Hujjaj, dari Ibnu Juraih, berkata: Ibnu Abbas berkata, “fala tuthi’il kafirina”, dimaknai dengan Al-Quran. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan, al-Tabary juga mengutip riwayat dari Yunus, yaitu diceritakan dari Yunus, ia berkata: dikabarkan dari Ibnu Wahab, Ibn Zaid, berkata: wa jahidhum bihi jihadan kabiran dengan Islam. Jadi yang dimaksud upaya sungguh-sungguh itu harus berlandaskan Islam.

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Selanjutnya, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir ayat di atas bermakna sabar. Sabar ini ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw untuk tetap terus berjihad di jalan-Nya. Ibnu Asyur juga memberikan penafsiran yang agak berbeda, yaitu meskipun berjihad dengan tetap berpijak syariat Islam dan Al-Quran, ia juga mengutip sabda Nabi saw:

وهذا كقول النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه عند قفوله من بعض غزواته ” رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر ” قالوا : «وما الجهاد الأكبر»؟ قال : ” مُجاهدة العبد هَواه ” رواه البيهقي بسند ضعيف

Sebagaimana perkataan Rasul saw kepada sahabat-Nya ketika sekembali dari perang Badar, “kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar”. Mereka menimpali, “Apa itu jihad yang lebih besar Ya Rasulallah?” Lantas beliau saw menjawab, “berjihad atau memerangi hawa nafsu”. H.R. Baihaqi dengan sanad dha’if.

Penafsiran serupa juga disampaikan al-Wahidi dalam Al-Wajiz Fi Tafsiril Qur’an Al-Aziz, ia memaknainya dengan bahwasannya Nabi Muhammad saw jangan mengikuti hawa nafsu dan tipu daya muslihat orang kafir serta tetap berpegang teguh dengan Al-Quran.

Jihad memerangi hawa nafsu

Ayat di atas mengandung pesan untuk berjihad memerangi hawa nafsu. Sebagaimana dalam pembahasan jihad sebelumnya, makna jihad sangatlah luas. Salah satu dari makna yang luas itu yang “paling relevan” menurut saya adalah jihad memerangi hawa nafsu. Jihad ini pada hakikatnya merupakan pondasi utama bagi bentuk-bentuk jihad lain yang harus diprioritaskan, sebab seseorang yang tidak bisa melawan hawa nafsunya sendiri, tidak mungkin bisa menjalankan perintah jihad.

Sungguhpun demikian, jihad memerangi hawa nafsu menjadi faktor determinan (penentu) keabsahan suatu perjuangan dapat disebut sebagai jihad. Peperangan, pekikan kalimat thayyibah (lafadz takbir misalnya) dengan tujuan “politis”, demi  meraup kekuasaan atau kalkulasi untung-rugi semata, bukan karena tujuan memuliakan agama Allah tidak bisa disebut jihad. Begitulah kata Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah-nya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan Al-Ghazali sebagai berikut:

وأشد أنواع الجهاد الصبر على مفارقة ماهواه الإنسان

“Macam-macam jihad yang paling berat dilaksanakan adalah bersabar tidak menuruti hasrat dan syahwat hawa nafsu”.

Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...