Rela berkorban berarti menunjukkan kesetiaan dengan menyerahkan segala yang kita miliki pada objek yang kita cintai. Misalnya, jika seseorang cinta tanah air, sudah pasti ia akan rela berkorban demi keberlangsungan negerinya. Akan tetapi, bila melihat masih banyak orang yang jangankan rela berkorban, peduli pada sesama manusia pun tidak, maka sungguh kentara lunturnya sikap rela berkorban.
Sudah saatnya kita harus belajar untuk rela berkorban, yang antara lain dapat kita peroleh dari Sahabat Ansar. Sahabat Nabi yang pantas jadi suri tauladan untuk rela berkorban.
Sahabat Ansar yang rela berkorban demi Kemakmuran Kaum Muhajirin
Sikap rela berkorban Sahabat Ansar menuai pujian dari Allah swt. melalui firman-Nya, Surat al-Hasyr ayat 9:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”
Ayat ini turun berkenaan dengan pembagian harta fai’ dari klan Bani Nadhir. Sahabat Ansar meminta kepada Nabi Saw. untuk membagi tanah miliknya, yang kelak ingin mereka berikan pada Kaum Muhajirin. Dalam Asbabun Nuzul, al-Wahidi mencantumkan hadis riwayat Yazid bin ‘Asham.
Baca juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran
Sesaat setelah Nabi dan para Muhajirin sampai di Madinah, para kaum Ansar meminta kepada Nabi Saw. untuk membagi dua tanah milik mereka. Satu bagian untuk Kaum muhajirin dan satu lagi untuk mereka. Tetapi kemudian Nabi Saw. menangkis permintaan itu.
“Tidak. Mereka (Kaum Muhajirin) akan memberimu upah dan kamu (Kaum Ansar) cukup memberi mereka kurma. Sedangkan tanah itu tetap milikmu”, jelas Nabi Saw.
Sahabat Ansar tetap bersikeras meminta Nabi untuk membagi tanah itu. Mereka menyatakan kerelaannya jikalau Muhajirin juga dapat bagian. Lalu, turunlah ayat ini, sebagai bentuk pujian Allah kepada kaum Ansar yang relah memberikan apa yang sebenarnya ia miliki atas dasar rasa cinta pada kaum Muhajirin.
Kerelaan Sahabat Ansar ini menjadi bukti kesetiaan mereka kepada Sahabat Muhajirin. Hal ini tentu saja, dilatari oleh rasa cinta kasihnya kepada kaum Muhajirin, yang sudah dideklarasikan oleh Nabi Saw. sendiri sebagai saudara mereka. Hal inilah yang kemudian membuat kedua belah pihak merasa setubuh, memiliki satu sama lain. Sehingga, mereka rela mengorbankan apa saja demi kepentingan saudaranya.
Berkorban meski sedang butuh-butuhnya
Tidak hanya itu, sikap rela berkorban Sahabat Ansar juga tampak tatkala mereka mendahulukan kepentingan orang lain, meski mereka sendiri pun sangat butuh. Hal ini dinarasikan dalam satu hadis riwayat Abu Hurairah yang disitir oleh Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi.
Waktu itu, Nabi kedatangan tamu, seorang lelaki yang sedang kepayahan. Lalu, ia meminta istrinya untuk menyiapkan jamuan. Tapi, ternyata mereka sedang tidak punya hidangan yang bisa disuguhkan. Hingga datanglah seseorang dari Kaum Ansar, untuk membantu Nabi Saw.
Sahabat Ansar ini ialah Abu Thalhah. Ia lantas bergegas pulang menemui istrinya untuk menyiapkan hidangan.
“Makanan ini hanya cukup untuk anak kita”, kata istri Abu Thalhah.
Meskipun sedang dalam keterbatasan, Abu Thalhah ini bersikeras membantu Nabi Saw. Ia meminta istrinya untuk menidurkan anak-anak mereka lebih awal dan mematikan lampu agar tidak menangis karena lapar. Baru setelah itu, makanan tersebut ia bahwa dan ia suguhkan untuk tamu Nabi Saw.
Baca juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir
Mendengar kejadian ini, Rasulullah pun berkata, “Takjublah penduduk langit atas perbuatan kalian berdua”. Lalu, turun penggalan ayat wa yu’tsiruna ‘ala anfusihim walaw kana bihim khashasah.
Peristiwa ini mengajarkan kepada kita untuk rela berkorban meski dalam keadaan sangat butuh demi mencapai kebaikan yang lebih besar.
Berkorban dengan rela dan ikhlas
Dari ayat tersebut, setidaknya kita dapat mengambil empat poin tentang pengorbanan. Pertama, rasa cinta kasih penting untuk dijadikan alasan berkorban. Karena tidak ada pengorbanan sebagai manifestasi kesetiaan kecuali didasari oleh perasaan cinta.
Kedua, ikhlas atau berkorban tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh penggalan ayat wa la yajiduna fi sudurihim hajat. Ibnu ‘Asyur dalam at Tahrir wat Tanwir memaknainya dengan tidak membiarkan kepentingan pribadi mencampuri kepentingan bersama. Sehingga, pengorbanan tidak dilandasi oleh hawa nafsu belaka, melainkan murni kepentingan bersama.
Ketiga, berkorban dengan penuh kerelaan. Sebagaimana ketika sahabat Ansar meminta Nabi Saw. untuk membagi rata tanah untuk mereka dan Muhajirin. Mereka meminta Nabi dengan benar-benar rela.
Keempat, berkorban meski dalam keterbatasan. Ini bisa dibilang sebagai titik nadir bagi seseorang yang hendak berkorban. Ketika ia dihadapkan berbagai pilihan, tetapi yang harus ia pilih ialah melepas segala tanggungannya walau sangat butuh untuk diselesaikan sekalipun. Hal ini demi mewujudkan kebaikan yang berdampak lebih besar.
Berkorban dengan rela dan ikhlas walau dalam keadaan terbatas seyogyanya kita tancapkan pada diri kita. Agar kelak, derap langkah yang kita pilih senantiasa maslahah untuk masyarakat sekitar. Dan agar cinta pada tanah kelahiran tidak usang seiring dengan spirit pengorbanan yang hilang. Wallahu A’lam