BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan syariat secara keseluruhan (kaffah). Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah mahdhah saja yang menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan penciptaNya, tetapi juga menyangkut semua bentuk aktivitas yang berimplikasi sosial. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian karena manusia tidak akan ada kehidupan tanpa adanya konsumsi. Mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Berangkat dari sini, penulis ingin menguraikan penafsiran ayat Al-Qur’an terkait sikap seseorang sebagai konsumen.

Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung memengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat memengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas manusia dalam berkonsumsi. Perilaku seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya kepada Allah SWT. Hal inilah yang tidak didapati dalam ilmu perilaku konsumsi konvensional, yaitu kehadiran saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. (Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, 2006, 12)

Sesungguhnya Islam dalam ajarannya di bidang konsumsi tidak mempersulit jalan hidup seorang konsumen. Jika seseorang mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung secara cermat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, maka tidak ada keharusan baginya untuk mengeluarkan konsumsi sosial.

Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Allah berfirman dalam alquran Surat Al  Maidah [5]: 87-88

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (87) Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (88)

Ibnu ‘Abbas ra. menjelaskan, bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan sepuluh orang sahabat, yang telah bersepakat untuk menjauhi hubungan dengan istri, tidak makan daging, dan tidak makan sesuatu kecuali sekedar penguat badan. (Ibnu Abbas, Tafsir Qur’an perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul, 2009, 122)

Baca juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran

Firman Allah Ta’ala “Dan janganlah kamu melampui batas” mempersulit diri dengan mengharamkan perkara yang diperbolehkan kepadamu. Demikianlah menurut penafsiran sebagian ulama salaf. Penggalan itu dapat ditafsirkan: sebagaimana mereka tidak boleh mengharamkan yang halal, maka mereka pun tidak boleh melampui batas dalam menggunakan perkara halal dan berlebih-lebihan.

lafal “كلوا” di dalam ayat tersebut secara dhahir menunjukan maksud perintah bagi manusia untuk mengkonsumsi. Sementara pada lafal “حلالا طيبا” al-Razi menuturkan di dalam kitabnya bahwa hal tersebut berkorelasi pada perbuatan makan dan makanan yang hendak dimakan, di mana makanan yang di dunia ini ada yang haram dan ada juga yang halal. Oleh karenanya Allah sebagaimana dalam dhahir ayat di atas memerintahkan kepada manusia untuk memakan makanan halal. (Fakhrudin al Razi, Mafatih al-Ghayb, 12:418)

Al-Maraghi juga menjelaskan di dalam kitabnya bahwa kehalalan makanan tidak hanya dipandang dari segi makanan itu sendiri akan tetapi juga bagaimana memperoleh atau menghasilkan makanan itu, dengan artian tidak dari hasil riba, mencuri atau perbuatan-perbuatan lain yang dilarang oleh hukum agama. (Ahmad Ibnu Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, 7:12)

Jadi dapat diambil kesimpulannya bahwasanya kita sebagai manusia jangan mempersulit diri dengan mengharamkan perkara yang dibolehkan (yang dihalalkan). Bukan hanya aspek halal haram saja yang menjadi batasan konsumsi dalam syariah Islam. Termasuk pula aspek yang harus diperhatikan adalah yang baik, yang cocok, yang bersih, dan yang tidak menjijikan. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dikonsumsi untuk semua keadaan. Maka dari itu, sebagai orang muslim harus memperhatikan hal-hal tersebut dalam perilaku berkonsumsi.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)

Walaupun Allah telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hambaNya, namun haruslah diperhatikan juga bagaimana cara mendapatkannya, dan janganlah sampai melampui batas dalam menggunakan perkara yang halal tersebut. Bahwa kebutuhan hidup itu harus terpenuhi secara wajar, agar kelangsungan hidup dapat berjalan dengan baik. Apabila kebutuhan hidup dipenuhi dengan cara yang berlebih-lebihan, tentu akan menimbulkan efek buruk pada diri manusia tersebut. Banyak sekali efek buruk yang ditimbulkan karena israf (berlebihan), diantaranya adalah egoisme, serakah, dan tunduknya diri terhadap hawa nafsu sehingga uang yang dibelanjakan hanya habis untuk hal-hal yang tidak perlu dan merugikan diri.

Wallahu A’lam[]

Annisa Eka Zakiah
Annisa Eka Zakiah
Alumnus STAIN Kudus “Manajemen Bisnis Syariah” dan IAIN Kudus “Perbankan Syariah” Pegiat Literasi Kajian Keislaman
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...