Menjadi pemimpin yang amanah itu tidak mudah. Ada banyak intrik dan ekses yang mengitarinya, jika dia tidak memiliki keimanan yang mantap, maka bukan tidak mungkin ia terjatuh dalam kubangan nestapa itu. Yang lebih penting dari seorang pemimpin atau penguasa adalah policy (kebijakannya). Al-Quran secara tersirat mengilustrasikan kebijakan pemimpin yang adil, amanah, pro rakyat sama halnya dengan memelihara kehidupan manusia, dan sebailiknya. Sebagaimana terlukiskan dalam tafsir surat Al-Maidah 32,
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi. (Q.S. al-Maidah [5]: 32)
Baca juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran
Tafsir Surat Al Maidah Ayat 32
Terkait konteks ayat di atas para mufasir beragam pendapat. Ibnu Katsir, Al-Qurthuby dan Quraish Shihab, misalnya, konteks ayat ini berbicara tentang pembunuhan yang dilakukan Qabil atas Habil. Mufasir yang lain, Wahbah az-Zuhaily, lebih condong bahwa ayat ini ditujukan kepada Bani Israil. Hal itu tercermin dalam redaksi katabna ‘ala bani israil. Alasannya, karena sebagian dari Bani Israil melakukan pembunuhan terhadap orang yang mulia kedudukannya, tidak ada yang membunuh Nabi kecuali Bani Israil.
Wahbah dalam Tafsir al-Munir-nya menjelaskan ayat ini merupakan sebagai Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian atas mereka (Kaum Bani Israil) atas pembunuhan jiwa yang dilakukannya. Perjanjian ini pun berlaku tidak hanya bagi mereka, melainkan bagi Nabi Muhammad saw, sahabat dan umat-Nya hingga akhir zaman.
Mufasir yang lain, At Thabari, misalnya, menafsirkan redaksi man qatala nafsan bighairi nafsin au fasadin fil ardhi faka-annama qatalan nasa jami’an dengan
ومن قتل نبيًّا أو إمام عدل، فكأنما قتل الناس جميعًا، ومن شدَّ على عضُد نبيّ أو إمام عدل، فكأنما أحيا الناس جميعًا
Barang siapa yang membunun Nabi atau Imam yang adil, maka seakan-akan ia membunuh seluruh manusia, barang siapa yang mensupport Nabi atau imam yang adil maka seolah-olah ia memelihara kehidupan seluruh manusia.
Baca juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis
Tidak berbeda dengan At Thabary, Ibnu Katsir ikut menyumbangkan penafsirannya yaitu barang siapa yang membunuh seseorang manusia tanpa sebab – seperti qisas atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia menumpahkan kehalalan darah manusia tanpa sebab dan dosa – maka seakan-akan ia melenyapkan manusia seluruhnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya.
Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, yaitu mengharamkan membunuhnya dan mengimani keharaman tersebut, berarti selamatlah seluruh manusia darinya.
Redaksi faka-annama ahyan nasa jami’an ditafsiri Ibnu Katsir dengan tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya. Membunuh seseorang tanpa dasar dan alasan yang jelas sangat dikecam oleh ajaran agama.
Tidak berhak seseorang melenyapkan manusia karena hanya Allah yang berhak menghidupkan dan mematikannya. Hal itu, kata Quraish Shihab, si pembunuh menanggung dosa pembunuhannya dan terpaksa memikul dosa yang dibunuhnya secara aniaya. Itu menggambarkan betapa besar kerugian dan penyesalannya nanti di hari akhir.
Baca juga: Tafsir Kalimat Sawa’: Hidup Damai di Tengah Perbedaan, Kenapa Tidak?
Yang Lebih Penting dari Pemimpin adalah Kebijakannya
Konteks ayat di atas juga dapat dimaknai sebagai kebijakan. Di era modern ini, perang fisik, perang nuklir, dan perang-perang yang lain sudah bukan eranya lagi, melainkan kebijakan yang amanah dan adil itu lebih dibutuhkan ketimbang perang yang jelas-jelas sangat kontraproduktif. Rasulullah saw sebagai nabi cum kepala negara/ presiden ketika menuangkan kebijakan politiknya dalam Piagam Madinah sangatlah egaliter.
Di dalam Piagam Madinah itu terdapat kalimat (tidak hanya tekstual, melainkan Nabi saw mempraktikannya) yang mengarahkan kepada pada kesejahteraan rakyat, persatuan dan kemakmuran. Kita tahu bahwa Negara Madinah adalah multikultural, tidak hanya terdiri orang Islam saja, ada berbagai banyak suku di sana, tapi Nabi saw berhasil menyatukan mereka, dan tidak berat sebelah.
Berikut teks Pasal 22 Piagam Madinah yang mencerminkam policy-nya yang pro rakyat
وإنه لا يحل لمؤمن أقر بما في هذه الصحيفة وآمن بالله واليوم الأخر أن ينصر محدثا ولا يؤويه وإنه من نصره أو آواه فإن عليه لعنة الله وغضب يوم القيامة ولا يؤخذ منه صرف ولا عدل
Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya kepada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat berlindung kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat berlindung bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan. (Piagam Madinah, Pasal 22)
Pasal 22 Piagam Madinah menjadi dasar bahwa kebijakan Rasulullah saw sebagai pemimpin sangat adil, equality, dan pro rakyat. Terbukti beliau mengecam dan mengutuk keras siapapun yang menggelar karpet merah bagi pelaku kejahatan. Tulisan ini sedang tidak berpretensi untuk menunjuk siapapun, paling tidak mengingatkan kepada diri kita masing-masing. Pada hakikatnya kita adalah pemimpin untuk diri kita sendiri, jangan sampai kita menganiaya diri sendiri (wala tulku bi-aidikum ila tahlukah), lebih-lebih menganiaya sesama dengan policy (kebijakan) atau keputusan yang kita buat.
Ingatlah di kedua pundak kita ada kamera CCTV malaikat 24 jam non stop siap memonitoring kapanpun dan dimanapun kita berada. Sedang, rekapan akhirnya akan dilaporkan pada hari akhir nanti. Jangan sampai rekapan itu lebih banyak merahnya ketimbang hijaunya. Wallahu A’lam.