BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Maidah Ayat 44: Memahami Maksud Hukum Allah

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 44: Memahami Maksud Hukum Allah

Surat Al-Maidah Ayat 44 acapkali dikutip oleh sebagian orang untuk mengatakan bahwa orang yang tidak berpegang pada hukum Allah Swt adalah kafir. Bagaimana kita memahaminya? Tulisan ini akan mencoba menguraikannya. Allah Swt berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّون …وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi … Siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Surat Al-Maidah Ayat 44)

Potongan Surat al-Maidah ayat 44 di atas menjadi salah satu potongan ayat yang paling krusial dalam perbincangan politik Islam dan telah melahirkan polemik panjang. Pasalnya, para ekstrimis muslim selalu menggunakan (baca: menyelewengkan) ayat tersebut untuk mengkafirkan pemerintahnya, dari mulai masa Khawarij Lama (Old Khawarij) sampai Khawarij hari ini (Neo Khawarij), dari mulai era pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Talib sampai era pemerintahan hari ini.

Karena itu pengkafiran dan permusuhan terhadap pemerintah selalu menjadi ciri universal kelompok Khawarij (induk ekstrimisme muslim) yang terus beranak-pinak dan ber-reorganisasi sampai hari ini.

Baca Juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran

Pemaknaan Khawarij terhadap Surat al-Maidah ayat 44 ini sampai mengkristal menjadi sebuah ideologi utama di kalangan mereka, yaitu ideologi yang disebut hakimiyah (kewajiban berhukum dengan hukum Allah). Dari hakimiyah ini lah lahir semua tindak dan pikir yang ekstrim, dari mulai pengkafiran terhadap pemerintah, pengkafiran terhadap masyarakat, pengkafiran terhadap negara, sampai kewajiban mendirikan negara agama atau khilafah, kewajiban hijrah untuk jihad, dan penegasan identitas pemisah iman dan kafir (al-wala wa al-bara).

Ideologi dan pola pikir semacam itu tentu sangat merepotkan dan merugikan Islam. Bagaimana mungkin Islam dapat mencapai visinya yang rahmatan lil ‘alamin dengan ideologi sempit seperti itu. Bagaimana mungkin Islam bisa membawa kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dengan agenda penuh kebencian dan permusuhan seperti itu. Ideologi semacam itu hanya berisi distorsi Islam dan mengakibatkan lahirnya islamophobia atau ketakutan terhadap Islam, bertolak belakang jauh dengan apa yang dilakukan Nabi SAW, yang membawa Islam dengan penuh cinta dan kasih sayang, sehingga dengan mudah meraih simpati.

Bagaimana penjelasan dan tafsir sebenarnya dari Surat al-Maidah ayat 44 ini? Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Abbas menjelaskan sabab nuzul-nya dengan menyatakan bahwa, ayat ini (al-Maidah ayat 44) beserta ayat 45 dan 47, ditujukan kepada orang Yahudi. Yaitu saat dua kelompok Yahudi berselisih mengenai hukuman pidana, di mana kaum bangsawan melakukan upaya diskriminasi hukum terhadap kaum jelata. Kemudian Nabi SAW diminta untuk menjadi penengah dan lalu turunlah ayat ini.

Terkait tafsir ayat tersebut Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir menyatakan, bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas tindakannya mengingkari hukum yang telah termaktub dalam Kitab Taurat, karena itu lah mereka disebut kafir.

Melalui penafsiran tersebut diketahui bahwa khitab (target bicara) ayat tersebut adalah khusus, yaitu hanya kepada orang Yahudi. Pendapat ini diperkuat oleh Abdullah bin Utbah, Ibnu Mansur, Abu Syeikh, Ibn Mardawaih dan Hasan Basri. Sebagaimana juga Ibn Jarir yang meriwayatkan dari Abu Saleh bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk umat Islam.

Memang ada sebagian mufasir yang berpendapat bahwa ayat tersebut berlaku umum, mengacu pada kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi khusus al-sabab. Tetapi mereka memaknai kufur bukan sebagai keluar dari agama, tetapi kufur nikmat (kufrun duna kufrin).

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mendudukkan ayat tersebut dalam konteks umat Islam Indonesia? Jika kita berpegang pada pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun khusus ditujukan kepada orang Yahudi, maka berarti masalahnya selesai, karena berarti umat Islam tidak termasuk di dalamnya. Dan jika mengacu pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum dengan level kekufuran nikmat, maka itu bisa saja terjadi menimpa umat Islam yang tidak menunaikan syukurnya.

Yang pasti ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar mengkafirkan pihak yang dituduh tidak berhukum dengan hukum Allah. Kekafiran hanya bisa terjadi saat seseorang mengingkari dengan hati dan mendustakan dengan lisan terhadap pokok akidah. Adapun ketidaksempurnaan dalam melaksanakan syariat dan akhlak sama sekali tidak bisa dihukumi kafir. Kita harus amat sangat hati-hati dan menjauhi perilaku melabeli kafir, karena jika yang tertuduh tidak kafir, maka kekafirannya kembali kepada si penuduh (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Zhihar dan Beberapa Ketentuannya

Kesimpulan mengenai tafsir dan penjelasan Surat al-Maidah ayat 44 adalah bahwa ulama terbagi dua, ada yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun khusus kepada orang Yahudi dan ada yang menyatakan berlaku umum termasuk untuk umat Islam tetapi dengan catatan kufur yang dimaksud adalah kufur nikmat.

Dan sebagai catatan terakhir, Indonesia meski secara formal bukan negara agama, tetapi tata nilai dan prinsip keagamaan Islam sangat menjiwai sistem negara. Berhukum dengan hukum Allah tidak harus selalu tekstual dan simbolik, tetapi esensi dan substansi perintah Allah itu lah yang penting untuk diejawantahkan dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana kaidah al-‘ibrah bi al-jauhar la bi al-mazhar (yang terpenting adalah isi bukan kemasan). Jadi bukan bagaimana Indonesia menjadi Negara Islam, tetapi bagaimana Indonesia menjadi negeri yang islami. Wallahu A’lam.

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...