BerandaKisah Al QuranTafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Terlahir sebagai perempuan merupakan anugrah yang patut kita syukuri, karena Islam memberikan keistimewaan pada peran perempuan, maka sungguh salah besar jika ada rasa penyesalan sebab terlahir menjadi perempuan. Lantas, apa yang membuktikan bahwa perempuan adalah sosok istimewa?

Islam membuktikan bahwa perempuan adalah sosok yang istimewa, dengan adanya surat an-nisa, surat ini sungguh banyak membahas detail tentang perempuan, namun kali ini, tulisan berikut akan menyinggung khusus tentang surat an-Nisa ayat 19:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa Ayat 19).

Baca juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Perempuan yang Ditinggal Wafat Suaminya Pada Masa Jahiliyyah

Mendengar perempuan pada masa Jahiliyyah, dalam bayangan kita pasti tergambar adanya penyudutan yang menimpa perempuan. Pada kitab  Zad al-Masir fi ilm Tafsir yang ditulis oleh Ibn Jauzy menjelaskan ayat di atas turun karena adanya larangan menjadikan perempuan  sebagai warisan yang mana bisa diturunkan oleh siapa saja. Berawal dari sebuah kisah seorang istri yang bernama Kabisyah binti Ma’an ketika itu suaminya wafat yang bernama Ashim bin As-Aslat .

Ibn Jauzy menuliskan bahwa pada saat itu diceritakan yang paling berhak atas istrinya adalah wali (suami), maka walinya tersebut bisa mengawininya. Dan jika wali tersebut tidak ingin menikahinya, maka ia bisa memberikan pada orang-orang terdekat, orang tersebut boleh juga anak tertua dari suaminya, atau anak tiri si istri. Namun, jika ia tidak menginginkan ibu tirinya, maka ia juga berhak menikahkan dengan orang yang dikehendakinya.

Melihat hal ini, membuktikan bahwa pada saat itu, perempuan masih dilindungi. Ketika suami sudah wafat, istri tidak serta merta diwariskan kepada siapa saja, tanpa kehendak orang terdekat atau saudara. Hal ini bisa terjadi karena begitu surat an-nisa ayat 19 turun, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Kemudian Pada Kitab Al-Quran al-Adzim karya Ibn Katsir juga mengatakan yang sama dengan Ibn Jauzy bahwa secara garis besarnya keluarga suami itu lebih berhak terhadap diri istri si mayat (suami) daripada keluarga si istri.

Kisah Dzalim Terhadap Istri yang Ditinggal Wafat Suaminya

Ada kisah dzalim yang dikutip dari tulisan Rahmanita Diani, Nilai-nilai Edukasi dalam Al-Quran Surat an-Nisa Ayat 19, yang meyebabkan surat an-Nisa ayat 19 ini turun, yakni setelah keluarga suaminya mengetahui Ashim meninggal, mereka pun datang lalu melemparkan pakaian kepada Kabisyah sesuai dengan tradisi kaum jahiliyah apabila seorang suami meninggal dunia, keluarga suami akan melemparkan sepotong pakaian kepada si istri sebagai tanda si istri tidak dapat lagi mewarisi harta suaminya dan tidak boleh menikah lagi. Bahkan tragisnya, Kabisyah juga ditahan di rumah dan mereka tidak memberikan kabisyah keluar.

Kabisyah merasakan kezaliman yang menimpa dirinya. Sesungguhnya Islam datang untuk menyelamatkan perempuan dari kezaliman. Dan Kabisyah yakin Allah akan memberikannya jalan keluar sebagaimana Rasulullah. Akhirnya Kabisyah berikhtiar dengan memilih jalan untuk menemui Rasulullah. Setelah datang menemui Rasulullah, Kabisyah berdiri di hadapan Rasulullah.

Baca juga: Al-Qur’an di Era Digital dan Kemunculan Generasi Muslim Melek Digital

Dan berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mewarisi pusaka suamiku dan tidak mendapat peninggalan meski aku kawin dengannya…”. Sungguh Maha Besar Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar hal tersebut lalu menurunkan ayat dalam surat An-Nisa ayat 19.

Perempuan Pada Masa Permulaan Islam

Kisah di atas terbukti perbuatan yang sangat dzalim, namun bersyukurlah Allah SWT menurunkan ayat

وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19).

Janganlah kalian dalam mempergauli istri yang ditinggal wafat suaminya, dan menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, serta kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan mudarat terhadap mereka.

Dari ayat ini, kita dapat mendapatkan hikmah pelajaran bahwa ayat 19 surat an-Nisa ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap perempuan, seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-hak istri yang ditinggal suaminya wafat. Pada ayat tersebut juga diterapkan keadilan Islam tehadap perempuan. Islam menjaga kehomatan perempuan, mengangkat martabat perempuan, dan menjaga hak-haknya.

Dari sini kita juga belajar, bahwa kelemahan perempuan pada masa Jahiliyyah tidak boleh dijadikan sebagai peluang bagi siapapun untuk berbuat aniaya terhadapnya. Biarkan perempuan berdiri tegak tanpa mengusik haknya, apalagi medzaliminya. Wallahu a’lam[]

Norma Azmi Farida
Norma Azmi Farida
aktif di Cris Foundation (Center For Research of Islamic Studies) Redaktur Tafsiralquran.id
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU