BerandaTafsir TematikInilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Musibah adalah suatu peristiwa buruk atau tidak mengenakkan yang kedatangannya tidak bisa dicegah oleh manusia dan merupakan peristiwa yang datang atas dasar kehendak Allah swt. Namun demikian, manusia diwajibkan untuk menghindari berbagai macam musibah atau sesuatu yang dapat menyebabkannya sedini mungkin.

Pada faktanya, musibah datang kepada setiap manusia dan tidak membedakan sasaran yang dikenainya. Ia bisa saja datang kepada para nabi, rasul, orang saleh, hingga orang awam (manusia pada umumnya), tanpa terkecuali. Jadi, selain berupaya menghindari berbagai bentuk musibah, seseorang juga harus siap dan mampu bersabar dalam menghadapi musibah di dalamnya hidupnya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang mengganggu orang mukmin dan menjadi tempat tinggal. Musibah biasanya diucapkan oleh seseorang ketika mengalami malapetaka, walaupun malapetaka tersebut bersifat ringan maupun berat. Istilah musibah juga sering digunakan untuk kejadian-kejadian buruk yang tidak memberikan tanggapan (Tafsir Qurtubi).

Imam Baidawi, dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil mengatakan bahwa musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Sedangkan menurut Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, musibah adalah semua peristiwa yang mengalami, seperti meninggalnya seseorang yang dikasihi, kehilangan harta benda, atau penyakit yang menimpa. Baik itu bersifat ringan maupun berat.

Menurut para sufi, musibah secara umum terbagi kepada dua macam, yakni cobaan dan peringatan. Musibah dalam bentuk cobaan biasanya diperuntukkan bagi orang-orang saleh. Melalui musibah tersebut Allah swt ingin menguji keimanan mereka. Sebaliknya, musibah dalam bentuk peringatan biasanya ditimpakan bagi mereka yang berbuat dosa. Melalui musibah ini Allah swt ingin mengingatkan mereka agar segera bertaubat.

Tiga Macam Musibah Yang Digambarkan Oleh Al-Qur’an

Jika kita merujuk kepada term yang digunakan Al-Qur’an, musibah tidak selalu dikonotasikan terhadap malapetaka atau sesuatu yang buruk menimpa manusia. Menurut Quraish Shihab misalnya, musibah tidak selalu bermakna malapetaka, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik itu bersifat positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana.

As-Sa’adi juga mengatakan hal serupa ketika menafsirkan surat al-Hadid ayat 22. Ia menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang menimpa manusia disebut musibah, baik atau buruk. Semua itu (musibah) telah ditetapkan oleh Allah swt berdasarkan kehendak-Nya. Jadi, tidak ada satupun manusia yang mampu menolak dan menentangnya. Manusia hanya bisa bersyukur, pasrah dan bersabar.

Kata musibah dan derivasinya setidaknya disebutkan oleh Al-Qur’an sebanyak 77 kali. Dalam kitab al-Mu’jam al-Mufradat fi Alfadz al-Qur’an al-Karim disebutkan bahwa istilah musibah digunakan oleh Al-Qur’an sebanyak 77 kali yang terbagi ke dalam 3 bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi), 32 bentuk dalam kata kerja sekarang (fi’il mudhari’), dan 12 dalam bentuk kata benda (isim).

Dari 77 kali penyebutan tersebut, penulis menyimpulkan ada tiga bentuk musibah berkonotasi negatif yang disebutkan Al-Qur’an, yaitu:

  1. Musibah dalam bentuk gempa, air bah, badai, dan halilintar

Musibah berkonotasi negatif yang pertama adalah gempa, air bah, badai, dan halilintar. Musibah dalam bentuk ini bisa disebut sebagai bencana atau malapetaka, sebab kedatangannya membawa kehancuran dan bahkan mungkin kematian. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Hud ayat 89 yang berbunyi:

وَيٰقَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِيْٓ اَنْ يُّصِيْبَكُمْ مِّثْلُ مَآ اَصَابَ قَوْمَ نُوْحٍ اَوْ قَوْمَ هُوْدٍ اَوْ قَوْمَ صٰلِحٍ ۗوَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِّنْكُمْ بِبَعِيْدٍ ٨٩

Dan wahai kaumku! Janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat dosa, sehingga kamu ditimpa siksaan seperti yang menimpa kaum Nuh, kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Lut tidak jauh dari kamu.” (QS. Hud ayat 89).

Ayat di atas merupakan peringatan Allah swt melalui nabi Syu’aib kepada kaumnya yang menentang ketika diperintahkan untuk menyembah Allah dan melaksanakan shalat. Dalam ayat ini Allah swt mengancam mereka dengan musibah yang akan menghancurkan mereka apabila mereka tidak melaksanakan perintah sebagaimana yang pernah terjadi kepada kaum nabi-nabi terdahulu, yakni kaum nabi Luth, kaum nabi Shaleh, kaum nabi Nuh, dan kaum nabi Hud.

  1. Musibah dalam bentuk kematian

Musibah berkonotasi negatif yang kedua adalah kematian. Kematian merupakan salah satu musibah yang pasti akan dihadapi oleh setiap makhluk Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Maidah ayat 106 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِيْنَ الْوَصِيَّةِ اثْنٰنِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ اَوْ اٰخَرٰنِ مِنْ غَيْرِكُمْ اِنْ اَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَاَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةُ الْمَوْتِۗ تَحْبِسُوْنَهُمَا مِنْۢ بَعْدِ الصَّلٰوةِ فَيُقْسِمٰنِ بِاللّٰهِ اِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِيْ بِهٖ ثَمَنًا وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللّٰهِ اِنَّآ اِذًا لَّمِنَ الْاٰثِمِيْنَ ١٠٦

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah salat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa.”

Ayat di atas menyebutkan bahwa kematian juga termasuk ke dalam kategori musibah. Menurut al-Baghawi maksud dari “mushibat al-maut” adalah permulaan atau tanda-tanda kematian. Ini adalah perasaan yang dirasakan oleh seseorang ketika ia mendekati ajal, bukan mati yang sesungguhnya. Mati disebut musibah karena tabiat kematian itu selalu diawali rasa sakit atau penderitaan bagi siapa yang menghadapinya.

  1. Musibah dalam bentuk kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan bahan pangan.

Musibah berkonotasi negatif yang ketiga adalah kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan bahan pangan atau bisa disebut kefakiran. Musibah ini bisa saja merupakan azab bagi orang kafir dan bisa juga sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 155 yang berbunyi:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ayat di atas menyebutkan bermacam-bentuk musibah yang akan dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya. Sebab kata ‘walanabluannakum’ bermakna ‘walanushibannakum’ yakni kami akan menimpakan kepada mereka (musibah) sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan bahan pangan. Sedikit di sini maksudnya musibah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan nikmat Allah swt kepada manusia.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa istilah musibah banyak digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan sesuatu yang menimpa manusia baik secara positif maupun negatif. Musibah dalam konotasi negatif biasanya merujuk kepada malapetaka, bencana dan hal-hal buruk yang menimpa manusia. Meskipun musibah adalah ketentuan Allah swt, namun manusia tetap berkewajiban untuk menghindarinya dan menjauhi apa yang dapat menyebabkannya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...