Pernikahan seringkali diibaratkan sebagai sebuah bahtera. Di mana tentu akan menemui pasang-surut ombak laut hingga badai-topan bumi Tuhan. Berjalan berdampingan juga saling bahu-membahu merawat pernikahan adalah hal yang selalu diusahakan oleh semua pasangan suami-istri. Sebagai perjanjian yang disetujui oleh mempelai perempuan juga laki-laki, pernikahan adalah komitmen yang dibuat oleh dua pihak, tentu harus merangkul atas keadilan terhadap keduanya.
Namun, standarisasi budaya telah lebih kuat mengakar dalam pola kehidupan masyarakat. Salah satu potretnya adalah laki-laki harus mapan secara finansial atau mempunyai peran yang lebih, dalam tugas publik. Lain halnya dengan perempuan, mereka harus lebih mapan dalam hal keahlian atau skill, yang seringkali dikaitkan dengan persoalan domestik. Sebut saja contohnya seperti memasak, mencuci baju, mengurus rumah hingga menyiapkan kebutuhan keluarga atau rumah tangga.
Relasi suami-istri sangat erat dengan bagaimana konsep nafkah dijalankan. Siapa yang akan menafkahi, apa pekerjaan yang dilakukan pemberi nafkah, bagaimana sirkulasi keuangan keluarga atau rumah tangga setiap harinya, hingga pundi rupiah yang disimpan untuk mengawal tumbuh kembang buah hati kelak pun tidak luput dari perbincangan harian suami-istri.
Yang menjadi pertanyaan adalah jika dalam hukum mainstream, laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah utama, bagaimana dengan nasib para perempuan kepala keluarga atau yang lebih akrab disapa “janda”? apakah keberadaannya diakui? Sedangkan dalil agama secara jelas mengatakan bahwa al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā.
Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban
Penafsiran Surat An-Nisa [4]: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya …”(Q.S. An-Nisa’ [4]: 34)
Menurut Thahir Ibn Asyur yang dikutip oleh M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2, 2003, hlm. 404) bahwa kata al-rijal secara gramatikal bahasa Arab, tidak selalu diartikan sebagai suami. Tidak seperti kata al-nisa atau imra’ah yang senantiasa ditujukan kepada makna istri atau perempuan. Oleh karenanya, awal ayat dari al-Nisa [4] 34 ini berlaku umum, laki-laki dan perempuan.
Meskipun demikian, dalam penafsiran Quraish Shihab secara utuh yang bersifat linguistik-ideologis, tetap memaparkan uraian ayat dalam balutan tektualis, yakni laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Quraish Shihab menguatkan tafsirnya dengan menampilkan deretan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari tinjauan psikologis. Bahwa laki-laki memiliki kriteria kepribadian yang sebagian besar menjurus kepada sifat mengayomi dan menjaga. Yang mana berbeda dengan perempuan yang lebih cenderung lembut dan “keibuan”.
Baca juga: Keluarga Ideal Menurut Al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa
Sejalan dengan argumen Ibn Asyur, hemat penulis kata al-rijal dalam ayat tersebut merupakan sebuah sifat yang senantiasa dilekatkan kepada sosok laki-laki (gender), bukan secara tersurat menyebutkan laki-laki dalam lingkup jenis kelamin. Sifat yang dimaksud, diantaranya pemberani, bertanggung jawab, adil, bijaksana dan sifat lainnya yang disematkan kepada laki-laki atas dasar standarisasi gender.
Oleh karenanya, ayat ini pun dapat menaungi para perempuan yang dipaksa oleh kondisi untuk menjadi kepala keluarga. Faktor yang menjadi penyebab diantaranya karena suami mereka meninggal, penyandang disabilitas, di PHK tanpa pesangon, bahkan hilang kabar dengan alasan bekerja. Mereka harus berperan sebagai seorang ibu juga ayah (kepala keluarga), yang secara otomatis wilayah domestik juga publik turut menjadi kendali mereka. Wallahu A’lam.