Islam mengajarkan kepada kita untuk fokus menekuni satu bidang keilmuan sehingga memiliki lisensi atau otoritas untuk berbicara sesuatu sesuai dengan keilmuannya. Sayangnya, fenomena hari ini, di era pandemi dan post-truth, mayoritas orang ahli berpendapat, bukan pendapat yang disampaikan oleh ahlinya.
Sebagaimana yang kita jumpai misalnya ustadz yang tidak mempunyai otoritas keilmuan keagamaan yang mumpuni (ustaz karbitan) berbicara atau berfatwa terkait masalah keagamaan ini kan sudah sesat, menyesatkan pula. Yang bukan dokter berbicara atau berfatwa terkait masalah kesehatan. Sungguh ironi. Maka, anjuran untuk fokus pada satu bidang keilmuan dan jangan ragu untuk menekuninya telah disiratkan dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 2,
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (Q.S. al-Baqarah [2]: 2)
Tafsir Surah al Baqarah Ayat 2
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat ini adalah Al-Quran sebagai dzalik al-kitab tidak perlu diragukan bahwa sesungguhnya ia diturunkan dari Allah swt sebagamaina firman-Nya yang lain dalam Q.S. al-Sajdah ayat 1-2, bahwa bentuk redaksi ayat ini adalah khabar (kalimat berita atau informatif), tetapi makna yang dimaksudkan adalah kalimat nahi (larangan), yaitu janganlah kalian meragukannya.
Adapun kata hudan dikhususkan bagi mereka yang bertakwa. Abu Rauq meriwayatkan dari al-Dhahhak, dan Ibnu Abbas, bahwa hudan ialah orang mukmin yang tidak menyekutukan-Nya dan taat kepada-Nya.
Penafsiran berbeda juga disumbangkan oleh Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir, redaksi dzalik al-kitab bermakna sebagai miftah (pembuka). Al-Qur’an sebagai kitab pembuka kebenaran dan penyempurna atas kitab-kitab sebelumnya. Kata raiba di sini dimaknai dengan al-Kasyaf (tersingkapnya tabir sehingga tampak nyata kebenaran).
Dapat dimaknai juga keeraguan atas takdir dan ketentuan masa-Nya. Sementara hudan lil muttaqin ditafsirkan dengan orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membaca Al-Qur’an dan mempunyai azam yang kuat untuk mengamalkan isi kandungannya.
Al-Baidhawi misalnya dalam Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil mengatakan dzalik al-kitab atau itu kitab merupakan redaksi yang menunjukkan sesuatu yang jauh. Ia dapat ditafsirkan sebagai surah al-Baqarah, al Quran itu sendiri, kitab atau kitab suci terdahulu. Sedangkan pengertian laa rayba yakni kitab itu secara gamblang menjelaskan bagi mereka yang memiliki akal sehat tidak meragukannya sebagai wahyu yang mengandung mukjizat. Tidak seorang pun meragukan kemukjizatan al Quran.
Ada pula ulama yang menafsirkan redaksi laa rayba fihu hudan lil muttaqin. Rayba di sini merupakan bentuk mashdar dari rayb (sesuatu yang membuatku ragu) yang kemudian timbul keraguan dalam dirimu. Keraguan juga bagian dari bentuk kegelisahan jiwa dan keguncangan batin. Inilah mengapa keraguan disebut sebagai syak karena membuat jiwa resah dan menghilangkan ketenangan. Hudan lil muttaqin bermakna sebagai petunjuk yang mengantarkan mereka pada kebenaran.
Kata petunjuk juga secara khusus dinisbahkan pada orang yang bertakwa, sebab hanya mereka lah yang mampu menangkap isi petunjuk dan ber-istifadah (mengambil manfaat) atas nash al quran. Meskipun petunjuk juga bersifat umum baik muslim dan non muslim dengan pertimbangan hudan lin nas (sebagai petunjuk bagi manusia).
Keraguan atau syak juga menafikan kebenaran Al Quran sebagaimana pendapat Jamaluddin al-Qasimi dalam Tafsir Mahasin at-Ta’wil. Padahal al Quran menempati posisi yang tinggi. Mukjizat al Quran begitu nyata dan tidak ada celah sedikitpun untuk mengkaji dari sisi kelemahannya yang secara hakiki adalah kalam ilahi, mustahil terdapat kelemahan apalagi keraguan.
Jangan Ragu Untuk Menekuni Satu Bidang Keilmuan
Pesan ayat di atas yang dapat kita petik adalah jangan ragu untuk menekuni satu bidang keilmuan sebagaimana disebutkan dalam redaksi dzalikal kitabu laa rayba fihi. Ini bermakna bahwa menekuni satu bidang ilmu sehingga menjadi pakar di bidangnya itu lebih baik dan lebih utama daripada menguasai semua bidang keilmuan, namun setengah-setengah.
Menjadi ahli atau pakar di bidangnya sangat dianjurkan oleh baginda Rasul saw bahkan beliau mewanti-wanti dalam sabda-Nya yang diriwayakan oleh Imam Bukhari, “Barang siapa jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
Terlebih di era pandemi covid-19 dan post-truth, banyak orang yang tidak memiliki otoritas keilmuan berbicara bahkan memberikan pandangan yang tidak linier di bidangnya. Misalnya ahli falak berfatwa tentang masalah kesehatan, dokter berfatwa tentang keagamaan, atau sebaliknya ustaz berfatwa tentang hal yang bukan dalam kapasitas keilmuannya, yang lebih mengerikan lagi fenonema ustaz karbitan yang belum mumpuni berbicara tentang agama justru getol menyampaikan dan itu didengarkan oleh masyarakat, sungguh menyayat hati.
Maka dalam hal ini, untuk mengatasi hal tersebut dan sebagai bentuk pengindahan terhadap perintah-Nya adalah jangan ragu untuk menekuni satu bidang keilmuan sehingga menjadi pakar di bidangnya dan memiliki lisensi atau otoritas untuk berbicara masalah sesuai kapasitas keilmuan kita, bukan malah ngalor-ngidul (baca: tidak jelas dan membingungkan). Mari kita serahkan suatu perkara kepada ahlinya. Wallahu A’lam.