Tafsir Tartib Nuzul: al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah

Tafsir Tartib Nuzul: al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah
al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah

Telah saya sebutkan di tulisan sebelumnya bahwa saya menemukan sekurangnya empat tafsir model Tartib Nuzul, yaitu Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy, al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah, Ma’arij al-Tafakkur karya Abdurrahman Hasan Habanka al-Maidani, dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Tafsir Bayan al-Ma’ani telah saya ulas. Di tulisan ini akan saya ulas sedikit al-Tafsir al-Hadits.

Sebelum menulis al-Tafsir al-Hadits, Muhammad ‘Izzat Darwazah (selanjutnya: Darwazah) menulis tiga karya: ‘Ashr al-Nabi saw., Sirah al-Rasul saw. min al-Qur`an, dan al-Dustur al-Qur`ani fi Syu`un al-Hayat. Lalu terpikir olehnya menulis tafsir komprehensif yang menyajikan Alquran secara utuh setelah sebelumnya menyajikannya secara terpisah-pisah secara tematik dalam tiga karya tersebut.

Darwazah ingin tafsir komprehensif yang akan ditulisnya itu sanggup menunjukkan hikmah diturunkannya Alquran, ajaran-ajaran pokok yang dikandungnya, serta ruang lingkup yang dibahasnya secara umum. Semua itu disajikan dalam gaya bahasa dan sistematika modern, sebagai upaya merespon cukup tingginya keinginan dari kaum muda yang sudah “bosan” dengan model lama dan mulai berpaling darinya. Dikhawatirkan, demikian Darwazah, hal demikian merenggangkan hubungan mereka dengan kitab sucinya.

Satu hal cukup menarik. Tiga karya buku yang disebutkan di atas ditulis Darwazah dalam penjara. Darwazah dijebloskan ke penjara oleh Perancis atas provokasi Inggris pada peristiwa revolusi Arab-Palestina tahun 1937-1939.

Dia menghabiskan 16 bulan dalam penjara dan baru keluar setelah kekalahan Perancis pada Perang Dunia II sehingga Suriah mampu mengusir Inggris dan Perancis. Keluar dari penjara di Damaskus, Darwazah mengungsi ke Turki. 50 bulan dia tinggal di sana. Nah, jika selama 16 bulan di penjara Darwazah menyelesaikan tiga buku: ‘Ashr al-Nabi saw., Sirah al-Rasul saw. min al-Qur`an, dan al-Dustur al-Qur`ani fi Syu`un al-Hayat, maka selama 50 bulan di pengasingan dia menulis al-Tafsir al-Hadits yang sedang kita ulas ini.

Bagi Darwazah, 50 bulan di pengasingan merupakan kesempatan yang bagus untuk menunaikan rencana menulis tafsir komprehensif sebagaimana disebut di atas. Pada rentang tahun 1941-1945 dia menulis tafsir yang diidealkannya itu. Dia terbantu oleh tersedianya banyak buku dan tafsir di Perpustakaan Astana, Turki. Ketika kembali ke Damaskus, dia membaca ulang karya tafsirnya, menambahkan banyak referensi terhadapnya, juga melakukan beberapa pembenahan. Setelah segala sesuatunya dianggap fixed, barulah dia menerebitkannya.

Baca juga: Tafsir Tartib Nuzul: Bayan al-Ma’ani Karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy

Darwazah menetapkan 12 langkah yang dipandangnya langkah terbaik dalam menafsirkan dan memahami Alquran. Berikut 12 langkah tersebut:

  1. Membagi surah ke dalam beberapa kelompok. Satu kelompok ada yang terdiri dari hanya satu ayat, ada yang beberapa ayat, ada pula banyak ayat. Yang jelas, tiap kelompok merupakan “kelompok sempurna” di mana kita dapat melihat padanya keutuhan makna, teks, dan konteks.
  2. Menjelaskan kata dan ungkapan yang asing dan jarang digunakan. Penjelasan disampaikan secara singkat, tidak terpancing pada paparan mendalam tentang aspek kebahasaan, nahwu dan balaghah jika tidak diperlukan.
  3. Menjelaskan maksud kelompok ayat secara global, secukupnya, tanpa tertarik memperdalam sisi-sisi kebahasaan.
  4. Menunjukkan secara singkat riwayat seputar turunnya ayat, riwayat, dan pendapat juga komentar seputar makna serta isi-kandungannya.
  5. Menunjukkan isi-kandungan kelompok ayat berupa hukum, ajaran dasar, tujuan, arahan, bimbingan, aspek-aspek tasyri’, akhlak, sosial, dan spiritual. Dijelaskan pula hal-hal umum menyangkut dinamika kehidupan dan sisi-sisi kemanusiaan. Menurut Darwazah, poin ini merupakan hal asasi dan inti dari al-Tafsir al-Hadits karyanya, yang pada dasarnya merupakan hal asasi dan inti dari tafsir dan kajian ke-Alquran-an.
  6. Menunjukkan isi-kandungan kelompok ayat dari segi sirah nabawiyah. Ini membantu dalam memahami kondisi dakwah, perjalanan, dan perkembangannya. Juga memberi gambaran tentang “iklim” saat turun Alquran yang dengannya tujuan-tujuan luhur Alquran terkuak.
  7. Menunjukkan hal-hal yang terkait dengan aspek redaksional dan penekanan makna yang timbul darinya, seperti ta’lil (rasionalisasi), tatsbit (peneguhan), tad’im (dukungan), targhib (dorongan untuk melakukan sesuatu), tarhib (dorongan untuk meninggalkan sesuatu), taqrib (mendekatkan), tamtsil (perumpamaan), tadzkir (mengingatkan), dan lainnya. Semua ini disajikan sambil tetap memperhatikan konteks awal yang karenanya sebuah atau sekelompok ayat turun. Semua juga disajikan dengan tidak berkepanjangan.
  8. Menjelaskan keterkaitan (tarabuth) antara ayat-ayat dan kelompok-kelompok ayat dari segi konteks dan tema. Ini dalam rangka menampakkan adanya kesatuan sistemik dan keterpaduan tematik dalam Alquran. Sementara orang mengira bahwa antara ayat-ayat dan kelompok-kelompoknya tidak memiliki keterkaitan dan tidak ada keserasian. Darwazah yakin bahwa kebanyakan ayat-ayat dan kelompok-kelompoknya itu satu sama lain saling terkait dan merupakan satu kesatuan.
  9. Selagi mungkin, Darwazah menggunakan kata-kata dan ungkapan serta kalimat yang biasa digunakan Alquran ketika menafsirkan, menjelaskan, mengkontekstualisasikan, meluaskan cakupan (wawasan), dan memperkuat argumen. Hal ini pada umumnya dapat dilakukan mengingat banyak ayat bersifat mutlak di satu tempat dan muqayyad (dibatasi) di tempat lain, bersifat umum di satu tempat dan bersifat khusus di tempat lain. Banyak juga kelompok-kelompok ayat yang berbeda dalam menggunakan kata-kata namun sepakat dalam makna dan tujuan. Selain menggunakan kata-kata dan ungkapan Alquran, juga menggunakan riwayat dan pendapat mufassirin, kalau sesuai dengan pemahaman dan konteks ayat yang sedang dibahas.
  1. Merujuk kitab “al-Qur`an al-Majid” ketika menafsirkan dan menjelaskan tujuan pokok penggalan-penggalan ayat.
  2. Menyajikan makna dengan redaksi yang ringan, akrab di telinga dan mudah dicerna, serta menghindari kata-kata yang asing dan aneh.
  3. Menjelaskan kata-kata, makna dan topik-topik penting dengan penjelasan yang memadai. Lalu ketika kata-kata, makna dan topik-topik itu terulang, maka penjelasannya dikembalikan ke penjelasan serupa sebelumnya tanpa mengulanginya kembali.

Setelah Mukadimah, sebelum benar-benar memulai tafsirnya, Darwazah terlebih dulu menyajikan empat pasal yang disebutnya “Muhtawayat al-Qur`an al-Majid (Isi Kandungan Alquran).” Pasal Satu: Alquran, Redaksional, Pewahyuan, dan Pengaruhnya. Pasal Dua: Pengumpulan Alquran, Pembukuan, Qiraat, Rasm, dan Susunannya. Pasal Tiga: Langkah Ideal dalam Memahami dan Menafsirkan Alquran. Pasal Empat: Pandangan dan Komentar atas Kitab-kitab Tafsir dan Metodenya.

Setelah Mukadimah, kemudian “Muhtawayat al-Qur`an al-Majid”, Darwazah lalu menutup “pembahasan pendahuluan” dengan Khatimah. Di sini dia kembali menegaskan bahwa kita saat ini membutuhkan tafsir modern yang sejalan dengan semangat zaman dalam kemasan bahasa yang ringan lagi mudah dicerna tanpa terlibat dalam pembahasan berkepanjangan seputar “ilmu-ilmu alat” (nahwu, sharaf, balaghah dan semacamnya). Terlebih kini umat Islam secara umum tengah berada di era kebodohan, keterbelakangan, dan kejumudan.

Setelah Khatimah, barulah Darwazah memulai al-Tafsir al-Hadits-nya. Cukup menarik, tidak seperti Abdul Qadir Mulla Huwaisy dalam Bayan al-Ma’ani yang memulai tafsirnya dengan surah al-‘Alaq, Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadits memulainya dengan surah Alfatihah. Mengapa demikian? Karena, kata Darwazah, Alfatihah merupakan surah pertama yang turun secara utuh (mulai ayat pertama hingga ayat terakhir). Memang al-‘Alaq secara umum paling pertama turun. Hanya saja tidak keseluruhan al-‘Alaq, hanya ayat 1-5. Ayat-ayat sisanya turun terselang surah lain.

Yang jelas, sebagaimana dikatakan Darwazah, surah Alfatihah mengandung pengukuhan bahwa segala puji bagi Allah. Dia-lah Tuhan semesta alam. Ketuhanan-Nya meliputi keluasan dan kasih sayang-Nya. Alfatihah mengajarkan bahwa ibadah dan pengabdian hanya untuk-Nya, permohonan pertolongan dan hidayah hanya dipanjatkan kepada-Nya, dan permohonan perlindungan dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai hanya disampaikan pada-Nya.

Baca juga: Fath al-Allam; Kitab Tafsir Ahkam yang Unik