Nama al-Maturidi sepertinya sudah tidak asing lagi bagi umat Islam, khususnya mereka yang mengaku berafiliasi dengan golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Dalam bidang akidah, nama beliau kerap kali disandingkan dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai tokoh pionir manhaj ASWAJA. Beliau berdua tampil membela akidah para salafussalih di saat umat Islam banyak yang terjebak dalam pemikiran Mu’tazillah dan paham-paham Mujassimah.
Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Lahir di daerah Matrid, sebuah desa kecil di kawasan Samarkand yang yang sekarang menjadi bagian dari negara Uzbekistan. Tidak ada data pasti mengenai kapan tepatnya beliau dilahirkan, tetapi mayoritas ulama sepakat bahwa beliau wafat sekitar tahun 333 H. dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Samarkand. (Al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah, Juz 2, 131)
Beliau berguru kepada beberapa ulama terkemuka di masanya seperti Abu Nasr Ahmad bin Abbas al-‘Iyadhi, Abu Bakr al-Jauzajani, Muhammad bin Muqatil al-Razi, dan Nashir bin Yahya al-Balkhi. Keempat nama tersebut merupakan murid generasi ke-4 dari Imam Abu Hanifah. Dari sini, terlihat bahwa Imam al-Maturidi berafiliasi kepada mazhab Imam abu Hanifah dan menjadi salah satu tokoh sentral dalam internal mazhab tersebut. Di bahwa bimbingannya pula lahir ulama-ulama terkemuka semisal Abu al-Qasim al-Samarkandi, al-Bazdawi, Umar al-Nasafi dan lain-lain. (Izzatu Tazkiyah, Ta’wil Teologis Abu Mansur al-Maturidi (Pembacaan Kritis atas Ayat-ayat Keesaan Tuhan), 214-215)
Baca Juga:Mengenal Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Takwil Karya al-Nasafi
Sebagai salah satu pioner manhaj ASWAJA, beliau memiliki peran kuat dalam dinamika pemikiran umat Islam terutama perihal pemurnian akidah dari keyakinan-keyakinan menyimpang. Karena pengaruhnya yang begitu kuat inilah beliau memiliki banyak julukan, di antaranya adalah; Imam al-Huda (pemimpin hidayah), Imam al-Mutakaallimin (pemimpin kaum teolog), mushahhih aqaid al-muslimin (pentashih keyakinan umat Islam) dan Ra’is Ahl al-Sunnah (pemimpin golongan Ahl al-Sunnah). (Ta’wilat Ahl al Sunnah, Juz 1, 73)
Popularitasnya dalam bidang akidah inilah yang mungkin menyebabkan pengaruh beliau dalam bidang ilmu lain luput dari perhatian banyak orang. Padahal, selain mendalam dalam Ilmu Akidah dan Kalam, beliau juga adalah seorang fakih dan mufassir. Dalam bidang Ushul Fikih misalnya, beliau memiliki Kitab al-Jadal dan Ma’akhidz al-Syarai’ yang konon dikenal sebagai kitab Ushul Fikih yang sangat berbobot dan menjadi referensi utama dalam bidang Ushul Fikih Hanafiyah bagi generasi berikutnya. Sedangkan kitabnya dalam bidang Tafsir adalah Ta’wilat Ahl al-Sunnah atau dikenal juga dengan Tafsir al-Maturidi.
Sekilas Tentang Tafsir al-Maturidi
Dalam diskursus Ilmu Tafsir, Imam al-Maturidi memiliki pengertian tersendiri terkait istilah tafsir dan takwil. Pendapatnya sering di kutip dalam kitab-kitab ‘Ulumul Qur’an terkait distingsi makna antara tafsir dan takwil. Beliau mengatakan,
التَّفْسِيرُ الْقَطْعُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ اللَّفْظِ هَذَا، وَالشَّهَادَةُ عَلَى اللَّهِ أَنَّهُ عَنَى بِاللَّفْظِ هَذَا، فَإِنْ قَامَ دَلِيلٌ مَقْطُوعٌ بِهِ فَصَحِيحٌ، وَإِلَّا فَتَفْسِيرٌ بِالرَّأْيِ، وَهُوَ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ، وَالتَّأْوِيلُ تَرْجِيحُ أَحَدِ الْمُحْتَمِلَاتِ بِدُونِ الْقَطْعِ وَالشَّهَادَةُ عَلَى اللَّهِ
Tafsir adalah memastikan bahwa yang maksud lafal tersebut adalah (makna) ini dan bersaksi bahwa allah bermaskud dengan lafal tersebut kepada makna itu. oleh karenanya jika terdapat dalil valid (yang mendukung asumsi tersebut) maka itu benar. Namun jika tidak ada bukti berupa dalil, itu termasuk tafsir bi al ra’yi yang dilarang. Sedangkan ta’wil adalah mengunggulkan salah satu dari sekian potensi tanpa memberikan kepastian dan kesaksian atas allah. (Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 4, 192 )
Barangkali, atas dasar inilah beliau menamakan kitabnya dengan Ta’wilat, terlepas dari kesangsian penamaan kitab tersebut. Hal ini karena beliau memang berupaya mengelaborasi semua kemungkinan makna yang terkandung dalam ayat Alquran kemudian mengunggulkan salah satu kemungkinan makna tersebut.
Baca Juga: Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan
Dengan latar belakang intelektualnya yang berafiliasi kepada mazhab Imam Abu Hanifah, sekilas akan disimpulkan bahwa Imam al-Maturidi akan mengedepankan rasio dalam menafsirkan Alquran. Hal ini disebabkan karena mazhab Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl al-Ra’yi.
Akan tetapi, Menurut Majdi Ba Salum, tokoh yang mentahqiq manuskrip Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah ini tergolong kitab tafsir komparatif yang menggabungkan metode al-Tafsir bi al-Ma’tsur dan al-Tafsir bi al-Ra’yi dalam corak penafsirannya. Pasalnya, Imam al-Maturidi tidak hanya berpedoman kepada akal dan logika dalam menyingkap makna terpedam dalam ayat-ayat Alquran tetapi juga mendasarkan penafsirannya kepada naqli (Alquran, hadis atau riwayat-riwayat lainnya). (Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Juz 1 , 302)
Dalam bidang tafsir, Imam al-Maturidi dinilai sebagai ulama yang telah melampaui zamannya. Hal ini karena kitab tafsir karyanya ini menawarkan metode baru dalam ilmu tafsir yang sama sekali berbeda dengan corak tafsir klasik pada waktu itu. Bahkan ketika membaca Tafsir al-Maturidi ini seolah pembaca sedang membaca tafsir kontemporer karena memang penyajiannya yang lugas dan komprehensif.
Menurut Majdi Ba Salum, setidaknya ada tiga hal utama yang membedakan antara kitab Tafsir al-Maturidi ini dengan karya-karya tafsir klasik lainnya.
Pertama, tafsir klasik umumnya menyandarkan penafsirannya sepenuhnya pada riwayat, sehingga sebagian besar tafsir klasik memang bercorak al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Sedangkan Tafsir al-Maturidi berhasil mengnyinergikan antara al-Tafsir bi al-Ma’tsur dan al-Tafsir bi al-Ra’yi.
Baca Juga: Mengenal Tafsir al-Khalil Karya Syekh Kholil Bangkalan
Kedua, ketika kitab-kitab tafsir lain menyebutkan hadis atau riwayat lain sebagai pijakannya, mereka menyebutkan silsilah sanad dari hadis atau riwayat tersebut. Sementara Imam al-Maturidi tidak terlalu memperhatikan aspek sanad hadis maupun sosok pemilik pendapat yang dikutip, tetapi langsung to the point menyebutkan riwayat atau pendapat yang bersangkutan.
Ketiga, tidak seperti kebanyakan tafsir lain yang fokus dalam satu bidang, Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah ini cukup komprehensif dan mencakup banyak bidang kajian. Selain menafsirkan makna ayat secara umum, Imam al-Maturidi juga berusaha menampilkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat tersebut; seperti kajian kebahasaan, kajian teologis, kajian hukum dan lain sebagainya. (Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Juz 1 , 330)
Al-hasil, kitab ini merupakan kitab tafsir yang menyajikan pemaknaan komprehensif dari ayat-ayat Alquran disertai dengan kajian yang luas dalam bidang teologi, fikih dan lain sebagainya. Sebagai penutup, ada satu staetment dari Syaikh Abd al-Qadir al-Qurasyi, penulis kitab al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah. Beliau mengatakan,
وَهُوَ كتاب لَا يوازيه فِيهِ كتاب بل لَا يدانيه شيئ من تصانيف من سبقه فى ذَلِك الْفَنّ
Ia (ta’wilat) merupakan kitab yang tidak ada duanya, bahkan tidak ada satupun karangan dalam cabang ilmu ini yang mendekati keunggulannya. (Al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah, Juz, 2, 130)