BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTelaah Konsep Tolong-menolong dalam Asuransi Syariah

Telaah Konsep Tolong-menolong dalam Asuransi Syariah

Perusahaan asuransi saat ini sudah jamak ditemui, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Tercatat dalam Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah perusahaan asuransi di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 152 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat saat ini mulai berpikir tentang solusi untuk mendapatkan jaminan dan keselamatan yang tinggi dari risiko-risiko yang akan terjadi di masa mendatang, seperti kematian, kecelakaan, kerusakan, dan lain semacamnya. Entah hal itu menimpa pada jiwa, pekerjaan, maupun barang berharga yang dimiliki.

Oleh karenanya, para intelektual muslim banyak mengkaji hal-hal terkait asuransi ini secara detail mulai dari konsep, akad, serta prosedural yang sesuai dengan syariah Islam. Sebab, konsep asuransi juga terkait dengan banyaknya seruan-seruan dalam Alquran yang menyeru manusia untuk saling melindungi dan menolong satu sama lain ketika ada yang tertimpa musibah.

Di samping itu, kebutuhan masyarakat terkait adanya sebuah instansi atau lembaga yang dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka sangat dibutuhkan pada zaman modern. Hingga pada akhirnya, kajian yang dilakukan memunculkan sebuah terobosan yakni perusahaan asuransi syariah (meski masih sedikit jumlahnya) yang diklaim banyak pihak telah sesuai dengan norma-norma Islam.

Akan tetapi, muncul sebuah kegelisahan dalam benak sebagian umat Islam, yakni apakah asuransi syariah sudah sesuai dengan konsep dan nilai-nilai Alquran, yakni anjuran untuk menolong semua orang dalam hal-hal baik, serta terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan seperti riba, penipuan, dan lain-lain? Hal ini dapat diketahui dengan menelaah motivasi berdirinya perusahaan asuransi syariah, serta apakah telah memenuhi aturan-aturan dalam akad serta asas saling tolong-menolong dalam Alquran.

Substansi Berdirinya Asuransi Syariah

Asuransi merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Karena, semisal seseorang tertimpa suatu musibah seperti kematian tiba-tiba, kecelakaan, kebakaran, dan lain-lain, serta biaya yang dibutuhkan tidak sesuai dengan harta yang dimiliki, maka hal tersebut dapat memakan korban lain seperti keluarga yang akan menanggung beban tersebut. Namun, ketika seseorang berasuransi, ia setidaknya memiliki cadangan atau telah bersiap-siap untuk menghadapi berbagai risiko yang akan terjadi.

Oleh karenanya, asuransi menjadi sebuah pilihan yang tepat untuk menemukan sebuah jawaban dari kekhawatiran tersebut. Alasannya, karena substansi dari berdirinya sebuah perusahaan asuransi adalah menjalankan perintah Tuhan untuk tidak diam dan saling bahu membahu menolong orang-orang yang sedang tertimpa musibah, sebagaimana pesan Q.S. Al-Maidah [5]: 2 yang berbunyi:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Baca juga: Empat Landasan Dasar Asuransi dalam Alquran

Dijelaskan dalam Taisîrul Karîmir Rahmân bahwa al-birru (kebajikan) adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridai, dari perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.

Ayat di atas mengindikasikan bahwa untuk mewujudkan perintah Allah tersebut, butuh upaya dan tindakan nyata yang selaras dengan petunjuk yang tidak bertentangan dengan agama. Artinya, perintah untuk berbuat baik dalam ayat di atas juga harus berpegang pada prinsip yang baik pula, yakni merealisasikannya sembari tetap mematuhi aturan syariah. Karena, ketika berbuat baik tapi dengan perantara hal-hal yang tidak di ridai oleh Allah, diibaratkan sama dengan menolong orang lain dengan harta hasil curian, yakni sama-sama melakukan perbuatan yang dilarang.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa berdirinya perusahaan asuransi yang berbasis syariah memiliki visi misi untuk dapat meringankan beban yang menimpa masyarakat sewaktu-waktu, di samping tidak mengabaikan aturan-aturan bermuamalah dalam Islam yang akan dijelaskan di bawah ini.

Prinsip-prinsip dalam Asuransi Syariah

Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah sangat memperhatikan akad serta praktik yang digunakan. Karena tidak cukup hanya mengandalkan sebuah konsep tolong-menolong tanpa memperhatikan prosedural yang berlaku, sebagaimana disinggung dalam ayat di atas.

Dalam kitab Muamalah Mu’ashirah (hal. 170-173) dijelaskan perbedaan antara asuransi yang dilarang dan yang dilegalkan dengan kriteria masing-masing. Dalam kitab tersebut, asuransi terbagi menjadi dua:

Pertama, jaminan berdasarkan prinsip tolong-menolong (ta’min ta’awuni) adalah berkongsinya sekelompok orang dengan menyerahkan uang (premi) yang telah ditentukan untuk kemudian diserahkan pada kalangan yang tertimpa mudarat atau musibah, entah itu dari kalangan yang berserikat atau bukan.

Baca juga: Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong-menolong

Kedua, jaminan berdasarkan bagian tetap (ta’min tijari) adalah menyerahkannya sekelompok orang berupa harta pada perusahaan asuransi dengan tujuan instansi tersebut dapat meringankan beban penderitaan orang yang telah berserikat. Dan ketika orang yang berserikat tidak tertimpa musibah, maka harta yang telah diserahkan menjadi hangus.

Dapat dipahami perbedaan antara kedua jenis asuransi di atas, bahwa asuransi pertama yang merupakan konsep dalam asuransi syariah menekankan konsep tabarru’ (tidak mengharapkan timbal balik), ta’awun (tolong-menolong), serta diterapkan secara adil. Sehingga, hal ini menjadikan tujuan seseorang berasuransi adalah agar dapat meringankan beban yang akan menimpa diri sendiri maupun orang lain.

Karena, ketika anggota dari mereka yang berserikat sama-sama sepakat untuk memberikan bagiannya ketika ada yang tertimpa musibah. Hal ini meniscayakan tidak adanya unsur penipuan (maysir) dan kerugian (gharar) semisal seseorang tersebut tidak mendapatkan lagi hartanya.

Berbeda dengan konsep kedua yang digunakan oleh asuransi konvensional. Di sini tujuan asal dari orang yang berasuransi adalah semata-mata agar ia mendapatkan keuntungan ketika tertimpa musibah, tanpa mau memberikan hartanya pada orang lain.

Baca juga: Memahami Makna Menolong (Agama) Allah Swt. dalam Alquran

Tidak hanya itu, perbedaan lainnya yang mencolok dari dua jenis asuransi di atas adalah bahwa seluruh mekanisme dan operasional asuransi syariah dibuat dengan menerapkan kaidah-kaidah dalam syariat Islam. Nurul Ihsan dalam bukunya, Asuransi Syariah: Teori, Konsep, Sistem Operasional, dan Praktik mengatakan bahwa asuransi syariah mengandung dua akad, yakni kafalah (tanggungan) dan mudharabah (bagi hasil).

Sistem kafalah sendiri berarti perjanjian antara beberapa orang untuk bertanggung jawab dan melindungi satu sama lain. Sementara konsep mudharabah meniscayakan bahwa kerugian dan keuntungan dalam asuransi syariah dibagi sama rata antaranggota. Dua konsep ini tidak akan ditemukan dalam asuransi non-syariah (konvensional) yang menganut sistem laba atau keuntungan semata. Hal inilah yang mengakibatkan pelarangan terhadap asuransi konvensional sendiri karena berisi komponen-komponen yang diharamkan seperti riba, penipuan, dan lain-lain.

Dapat disimpulkan bahwa jika asuransi syariah yang berlaku saat ini telah menerapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan para ulama, yakni berdasarkan prinsip tolong-menolong, melindungi, dan tabarru’, maka dapat dikatakan bahwa berdirinya perusahaan-perusahaan asuransi syariah sama halnya dengan mewujudkan konsep ta’awun (tolong-menolong) yang terpampang dalam Alquran.

Wallahu a’lam

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...