Dalam Islam, jiwa diterminologikan dengan al-nafs, selain kata ruh, qalb, dan ‘aql. Meski demikian, kata nafs menempati urutan pertama dalam mendefinisikan jiwa. Jika melacak masa pra Islam, sesungguhnya tema ini sudah pernah diperbincangkan oleh para filsuf Yunani, semisal Antagoras, Socrates, Aristoteles, Plato, dan filsuf sesudahnya. Bahkan juga, tidak terkecuali filsuf Islam seperti al-Kindi dan al-Farabi yang menguraikan teori nafs.
Sungguhpun demikian, kajian tentang nafs ini, sebagaimana dituturkan Seyyed Hossein Nasr dalam Three Muslim Sages dan M.M. Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, secara terstruktur, sistematis dan operasional ditemukan pada karya Ibn Sina, seperti Ahwal al-Nafs, Kitab al-Najah fi al-Hikmah al-Manthiqiyyah wa al-Tabi’iyyah wa al-Ilahiyyah, dan lain sebagainya. Tulisan ini hendak mengurai makna nafs dalam Islam dengan merujuk pada Al-Quran dan pendapat ulama.
Definisi Nafs
Secara literal, kata nafs berasal dari bahasa Arab, al-Nafs, atau dalam bahasa Inggris; soul, bermakna jiwa atau diri seperti yang dikemukakan Ibn Sina dalam Al-Syifa al-Tabi’iyyat. Kata nafs juga – dalam istilah bahasa Indonesia – diartikan “diri” (self). Sebab menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, seperti yang dikutip Syah Reza dalam Konsep Nafs Menurut Ibn Sina, kata “diri” merangkum makna dua unsur sentral pada manusia, yakni jasad (jasmaniyah) dan jiwa (ruhaniyah).
Baca Juga: Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam
Jiwa, demikian kata Muhammad Utsman Najati dalam al-Dirasat al-Nafsaniyyah inda al-‘Ulama al-Muslimin, merupakan unsur pertama yang mampu menggerakkan manusia. Sementara, jasad adalah bentuk kesempurnaan kedua yang berfungsi sebagai alat untuk menjalankan aktivitas. Maka, keduanya (jasad dan nafs) merupakan dua substansi berbeda yang saling melengkapi dan membutuhkan. Definisi tersebut (definisi Ibn Sina) senada dengan Aristoteles, al-Kindi, al-Farabi dan filsuf Muslim lainnya.
Tidak jauh berbeda, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengemukakan bahwa kata nafs bermakna dua hal. Pertama, nafs dalam maksud nyawa, dan kedua, nafs dalam makna keseluruhan dari sesuatu yang hakikatnya merujuk pada dirinya sendiri. Sahid Mustafa dalam Konsep Jiwa dalam Al-Quran, memaparkan bahwa setiap manusia mempunyai dua nafs, yakni nafs akal dan nafs ruh. Menurutnya, hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat bernalar dan berpikir, meskipun ia dalam posisi hidup, seperti halnya tatkala manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan, hilangnya nafs ruh menyebabkan hilangnya kehidupan sebab ruh adalah unsur pertama yang menggerakkan manusia.
Dalam pendapat yang lain seperti yang disampaikan M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an, kata nafs memiliki banyak wajh, seperti jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) atau pikiran (mind). Secara istilah, pengertian nafs, sebagaimana disampaikan filosof Muslim terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina adalah kesempurnaan awal bagi jasad yang bersifat natural (alamiah), mekanistik dan memiliki kehidupan yang enerjik.
Makna “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah” tersebut ialah bahwa manusia bisa dikatakan sempurna apabila mewujud sebagai makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad natural dan bukan lagi jasa material seperti yang dikemukakan Utsman Najati yang dikutip Sahidi Mustafa. Selanjutnya, yang dimaksud “mekanistik” adalah bahwa jasad menjalankan fungsinya melalui fitur-fitur atau alat-alat yang sudah terinput dalam jasadnya seperti panca indera, dan anggota tubuh lainnya. Sementara iu, makna “memiliki kehidupan yang energik”, seperti yang dipaparkan Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology, mengandaikan satu kesiapan hidup dan keberterimaan terhadap jiwa.
Kata Nafs dalam Al-Quran
Kata nafs dalam Al-Quran, seperti yang dikemukakan Sahidi Mustafa, dan berbagai derivasinya nafasa, anfus, nufus, tanafus, tanfusu, yunafisu, dan mutanafis disebutkan sebanyak 198 kali dalam 270 ayat. Adapun dalam bentuk mufrad (tunggal), kata nafs disebutkan sebanyak 140 kali, dan dalam bentuk jama’, sebanyak 2 kali dalam bentuk nufus dan 153 dalam bentuk jama’ anfus. Dan kata tanaffasa, yatanafasu, mutanafis masing-masing disebutkan 1 kali dalam Al-Quran.
Kemudian, yang paling banyak memuat kata nafs dalam Al-Quran, sebagaimana disampaikan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Quran, antara lain surah al-Baqarah (35 kali), surah Ali Imran (21 kali), surah al-Nisa’ (19 kali), surah al-An’am dan al-Taubah (17 kali), dan surah al-A’raf dan Yusuf (13 kali). Merujuk pada Al-Quran, makna nafs ternyata memiliki makna yang beragam.
Pertama, nafs sebagai diri seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 61; Q.S. Yusuf [12]: 54; Q.S. al-Dzariyat [51]: 21. Kedua, nafs sebagai diri Tuhan dalam Q.S. al-An’am [6]: 12 dan 54. Ketiga, nafs sebagai person sesuatu dalam Q.S. al-Furqan [25]: 3; Q.S. al-An’am [6]: 130. Keempat, nafs sebagai ruh dalam Q.S. al-An’am [6]: 93. Kelima, nafs sebagai jiwa dalam Q.S. al-Fajr [89]: 27; Q.S. al-Syams [91]: 7. Keenam, nafs sebagai totalitas manusia dalam QS. al-Ma’idah [5]: 32, QS al-Qashash [28], 19, QS al-Qashash [28], 33. Dan Ketujuh, nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan perilaku dalam QS. al-Ra’d [13]: 11, QS al-Anfal [8]: 53.
Makna Nafs Menurut Para Ulama
Ibn Hazm dalam al-Fasl al-Milal wa al-Ahwa al-Nihal memberikan makna yang berlainan dari definisi di atas, menurutnya nafs (jiwa) bukan esensi atau substansi, melainkan non-fisik (immateri). Bagi Ibn Hazm, nafs mempersepsikan semua hal, baik bersifat rasional dan inderawi maupun fisik atau jasmani. Begitupun Muhammad Utsman Najati, menurutnya, nafs merupakan letak kemunculan beragam perasaan, baik kesedihan, kegundahan, kebahagiaan, amarah, emosional dan semacamnya.
Baca Juga: Mengulik Makna Tarbiyah dalam Pendidikan Islam
Tidak hanya itu, Ikhwan al-Shafa dalam Rasail-nya yang dikutip Syah Reza, bahwa nafs adalah substansi ruhaniah yang mengandung dimensi langit dan nuraniyah, hidup dengan zatnya, mengetahui dengan daya, aktif di dalam tubuh dan memahami bentuk segala sesuatu. Namun demikian, menurut Ibn Sina, nafs tidaklah seperti yang mereka terminologikan. Dalam karyanya, Ahwal al-Nafs, nafs ialah substansi ruhani yang memancar kepada raga, lalu menghidupkannya kemudian menggerakkannya serta menjadi “wasilah” (perantara) untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu, sehingga dengan keduanya ia dapat menyempurnakan potensi dirinya dan puncaknya ialah mengenal Tuhannya.
Penutup
Sebagai penutup, beberapa hal yang dapat digarisbawahi dari pengertian dan makna nafs di atas, seperti halnya yang disampaikan Syah Reza bahwa nafs merupakan unsur terpenting yang ada dalam diri manusia. Ia menyangkut dimensi fisik (materi) dan non fisik (immateri) pada diri manusia. Adanya nafs membuktikan kesempurnaan bagi jasad. Kita tidak dapat membayangkan bagaimama diri manusia tanpa keberadaan nafs (jiwa). Yang kedua, nafs bersifat kekal dan abadi. Jika jasad mengalami kemusnahan dan rusak, maka tidak dengan nafs. Ia tetap kekal dan abadi karena bagian dari esensi Tuhan yang Maha kekal.
Teori nafs yang diorbitkan dan disistematisasikan filsuf Muslim terutama Ibn Sina ternyata menarik atensi dan memantik diskusi lanjutan bagi filsuf setelahnya, seperti al-Ghazali, al-Razi, Ibn Rusyd dan sebagian saintis Barat. Keberadaan nafs, demikian kata Syah Reza, merupakan bagian daripada proses penciptaan dan keberadaan alam itu sendiri. Ia merupakan bagian dari isyarat – dan termasuk struktur – alam yang sirri dibalik realias inderawi manusia. Maka tak heran, jika para filsuf dan ulama mengklasterisasikan kajian nafs termasuk kajian metafisika yang tentunya membutuhkan penalaran yang tinggi berbasis naqli maupun ‘aqli. Wallahu A’lam.