BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiMengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Pada dua artikel sebelumnya telah dijelaskan pengertian tarbiyah dan ta’lim, maka pada pembahasan kali ini akan diulas istilah ta’dib dalam pendidikan Islam. Jika kedua kata di awal mengandaikan satu proses pendidikan, kepengasuhan, dan kegiatan belajar mengajar, maka kata ta’dib lebih menitikberatkan pada aspek adab, sopan santun atau tata krama. Menurut Syed Naquib al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam pendidikan Islam daripada istilah tarbiyah.

Pengertian Ta’dib

Secara literal, ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, sebagaimana dikemukakan Atiyah al-Abrashi dalam Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yang berkonotasi pada pembimbingan peserta didik oleh seorang pendidik, terutama akhlakul karimah. Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab seperti yang dikutip Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam, ta’dib merujuk pada pendidikan adab atau sopan santun. Arti dasar ta’dib, menurut Ibn Mandzur, yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”.

Makna “perjamuan” menyiratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia dan tentu banyak sekali orang yang hadir di dalam acara tersebut. Mereka yang hadir, demikian kata Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education, adalah orang-orang yang berkedudukan mulia, terhormat, berpendidikan tinggi sehingga diharapkan dapat berperilaku, bersikap yang baik lagi sopan maupun bertutur kata yang baik (qaulan kariman).

Pengertian yang disuguhkan Al-Attas merujuk pada hadits Nabi saw dalam Syarah Sunan al-Darimi (Fathul Mannan),

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدِ بْنِ حَازِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبُو سِنَانٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنِّي لَا أَعْلَمُ شَيْئًا أَصْفَرَ مِنْ خَيْرٍ مِنْ بَيْتٍ لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ وَإِنَّ الْقَلْبَ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ خَرِبٌ كَخَرَابِ الْبَيْتِ الَّذِي لَا سَاكِنَ لَهُ

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Khalid bin Hazim telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Sinan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah ia berkata, “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan selain rumah yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an. Sungguh, hati yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tidak berpenghuni.” (H.R. al-Darimi nomor 3173).

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik). Di dalam hadits tersebut, kata ta’dib secara eksplisit diartikan dengan pendidikan, dari kata addaba yang berarti mendidik dengan adab. Term ini, menurut al-Zajjaj sebagaimana dikutip Ibn Mandzur, dimaknai sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya, yang sudah barang tentu mengandung konsepsi pendidikan yang sempurna.

Lebih jauh, Ibn Mandzur seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan, ta’dib juga dapat dimaknai dengan doa. Sebab doa mampu membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan menghindarikan dari hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan, cendekiawan Muslim Indonesia, al-Attas meneguhkan kata ta’dib untuk menggambarkan pendidikan Islam ketimbang tarbiyah.

Meskipun kata adab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, namun ditemukan pujian yang terkait dengan akhlak Nabi saw sebagaiamana yang terekam dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti luhur”. (Q.S. al-Qalamm [68]: 4).

Ayat di atas khususnya diksi la’ala (berada di atas) menunjukkan betapa adab (budi pekerti) Nabi saw melampaui batas budi pekerti manusia pada umumnya sehingga Allah swt begitu “takjub dan terkesima” dengan akhlak Rasul saw yang terlampau luhur dan mulia.

Ta’dib sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education menawarkan sekaligus mengampanyekan agar pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada konsep ta’dib. Artinya, pemaduan dan pengembangan antara ta’lim dengan tarbiyah harus dalam konteks ta’dib. Jangan sampai pendidikan Islam tercerabut dari akhlakul karimah.

Menurut al-Attas, ia memandang bahwa ta’dib lebih “pas” untuk menerjemahkan pendidikan Islam dikarenakan struktur term ta’dib sudah mencakup fitur-fitur ‘ilm (ilmu), ta’lim (pembelajaran), dan tarbiyah (pembinaan dan pendidikan). Dalam konteks demikian, pendidikan Islam menurut al-Attas adalah proses penanaman adab ke dalam diri manusia yang dilakukan sejak usia dini hingga dewasa. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan dan dengan bimbingan guru yang memadai.

Jika ta’lim meniscayakan aktualisasi pemahaman siswa dengan mendemonstrasikan materi pelajaran secara beragam, maka ta’dib mensyaratkan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang memadai serta metode yang benar. Pendek kata, muara daripada ta’lim dan tarbiyah adalah ta’dib. Ta’dib adalah sebuah proses pengenalan, pemahaman dan pembiasaan serta pengembangan karakter sehingga membentuk akhlakul karimah dan mendekati fitrahnya sebagai manusia yang selalu cenderung ingin berbuat kebaikan (al-insan ‘abdul ihsan).

Sebagai penutup, mengutip Masdar Hilmy dalam Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah, jika ta’lim berimplikasi pada makna pendidikan Islam yang “sempit” sebagai sekadar proses belajar mengajar, maka tarbiyah dan ta’dib berimplikasi pada pemaknaan pendidikan Islam yang lebih ekstensif dan generik, yaitu sebagai sebuah proses belajar-mengajar yang tidak dibatas oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Konten dan metode pembelajaran tarbiyah dan terutama ta’dib lebih bersifat cair (fluid), fleksibel, pembiasaan, dan serba mencakup (all-encompassing). Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...