Terkadang, membangun personal branding menjadi penting untuk mengenalkan diri ke ruang publik. Seperti dalam konteks dakwah, menciptakan citra diri yang positif dan autentik berdasarkan ajaran Islam dapat bertujuan untuk manfaat yang lebih luas. Bagi seorang dai, branding dapat membawa sesuatu yang biasa terlihat berkesan, dan berharga, sehingga dakwah yang disampaikan dapat didengar dan diterima oleh khalayak ramai.
Sebagaimana dalam Alquran, menampilkan kisah Nabi Isa sebagai sosok yang penuh hikmah dan menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kaitannya dalam membangun personal branding untuk dakwah. Beliau mempromosikan citra dirinya dengan tujuan menyampaikan pesan dakwah secara efektif kepada masyarakat, dengan cara menonjolkan nilai-nilai luhur, keteladanan, dan kepribadian yang baik.
Baca Juga: Surah Adz-Dzariyat Ayat 20-21, Melejitkan Nilai Tambah dan Potensi Kita
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: ‘Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu, membenarkan kitab yang datang sebelumnya, yaitu Taurat, dan memberi berita gembira dengan (datangnya) seorang rasul setelahku yang bernama Ahmad. (Q.S. As-Saff [61]: 6)
Penjelasan Tafsir
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (14/197-198) menukil keterangan Ibnu ‘Asyur, menjelaskan bahwa ketika Nabi Isa diutus untuk menyampaikan dakwah kepada Bani Israil, beliau ketika itu belum memperoleh kepercayaan mereka. Sehingga beliau ingin menarik simpati Bani Israil dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan branding diri sebagaimana dalam ayat di atas.
Seperti pernyataan Nabi Isa yang datang untuk membenarkan Taurat, agar menarik perhatian dan simpati Bani Israil yang demikian kuat berpegang kepada kitab suci mereka. Dengan demikian, Nabi Isa tidak ingin dianggap sebagai pembawa ajaran yang bertentangan dengan tradisi mereka, melainkan sebagai kelanjutan dan penyempurnaannya. Ini adalah bentuk branding diri yang penting sebagai usaha agar diterima oleh masyarakat yang telah lama berpegang pada kitab dan hukum sebelumnya.
Itu pula sebabnya pada awal penyampaian risalahnya, Nabi Isa menyebut beberapa keistimewaan dan kelebihan mukjizat sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 49. Mukjizat-mukjizat tersebut, seperti dapat menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, serta kemampuan berbicara sejak kecil merupakan cara untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan terhadap dirinya sebagai utusan Allah sehingga dakwahnya dapat diterima oleh orang-orang yang mungkin skeptis atau meragukan kebenarannya. (Tafsir al-Munir, 2/273)
Baca Juga: Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!
Serta pernyataan bahwa beliau datang untuk menghalalkan sebagian yang diharamkan oleh pendahulunya sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 50. Hal tersebut untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat Bani Israil sekaligus menawarkan solusi atas permasalahan-permasalahan hukum dan sosial yang mereka hadapi.
Sebagaiamana Nabi Isa yang menyampaikan keistimewaan dan sifat-sifat mulianya untuk tugasnya sebagai rasul. Umat Islam dapat melakukan hal yang sama, branding diri dengan kompetensi, ilmu, dan kapasitas lainnya untuk tujuan kebaikan. Bukan untuk keuntungan pribadi atau kesombongan, tetapi lebih kepada memperkenalkan dan menunjukkan kemampuan serta values yang dimiliki dengan cara yang jujur, bermanfaat, dan bertanggung jawab.
Branding Diri untuk Hal Kebaikan dan Niat yang Benar
Imam al-Qurthubi dan Imam al-Mawardi menyampaikan bahwa seseorang boleh mem-branding dirinya dengan kapasitas yang dimiliki seperti ilmu, kemampuan, dan keistimewaan lainnya secara jujur dan bertanggung jawab. Akan tetapi, hal ini tidak bisa berlaku mutlak, melainkan terdapat batasan, aturan, dan prinsip-prinsip moral yang perlu dijaga. Misalnya, individu yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu boleh menyebutkan kemampuannya, selama itu tidak berlebihan atau bertujuan untuk merendahkan orang lain.
Karena itu, branding diri ini harus dilakukan dengan kejujuran, tanpa berlebihan atau mengklaim hal-hal yang tidak benar. Personal branding bukan untuk sekadar pencitraan atau bahkan menipu, dan selalu bertanggung jawab terhadap apa yang disampaikan. Ajaran Islam sangat menekankan prinsip kejujuran. Sebaliknya, kesombongan atau merasa lebih tinggi dari orang lain sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sebagaimana dalam kitab Syajarah al-Ma’arif (h. 475) diterangkan bahwa Rasulullah juga melakukan branding diri, dalam hadis riwayat Abu Hurairah, beliau pernah bersabda, “Aku adalah pemimpin anak cucu Adam pada hari Kiamat; yang pertama kali bangkit dari kubur, yang pertama kali memberi syafaat, dan yang pertama kali syafaatnya diterima.” Dalam riwayat lain, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran
Dengan demikian, melalui ayat-ayat yang menggambarkan Nabi Isa, umat dapat memahami bahwa menggunakan kapasitas diri untuk membangun citra positif bukanlah hal yang salah, selama dilakukan dengan niat yang benar. Yakni untuk memberi manfaat kepada umat manusia, terutama dalam konteks dakwah membawa diri dan masyarakat lebih dekat kepada kebaikan dan keberkahan. Wallahu a’lam.[]