BerandaKhazanah Al-QuranTeori Masuknya Islam di Nusantara dalam Tafsir Al-Azhar

Teori Masuknya Islam di Nusantara dalam Tafsir Al-Azhar

Ada banyak teori yang menjalaskan tentang kapan pertama kali Islam masuk di Nusantara. Seperti halnya Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia, Teori Cina dan Teori Maritim. Masing-masing teori tersebut dipelopori oleh para pakar sejarah Nusantara. Berbagai teori yang sudah ada itu memiliki titik kesimpulan tentang pesisir Pulau Sumatera Utara yang menjadi daerah pertama kali menerima agama Islam. Kajian lebih spesifik tentang daerah di Pulau Sumatera Utara yang pertama kali menerima ajaran Islam, para ahli sejarah Nusantara kembali berebeda pendapat. Ada yang mengatakan di Pasai, Jaya dan Barus.

Berita tertua dari Dinasti Han, penguasa peradaban Tioghoa pada abad ke-1 sampai ke-6 Masehi, menyebutkan bahwa ada negeri yang bernama Huang-Tche. Menurut isi catatan tersebut penduduknya sama seperti penduduk Hainan yang hidup dari berdagang dan merampok. Sedangkan di dalam buku Geograophike Hypogesis yang ditulis pada tahun 65 M oleh Claudius Ptolomaesus, seorang ahli ilmu bumi, guru di Iskandriah, menyebutkan satu persatu nama-nama negeri yang terletak di jalan perdagangan India Cina, temasuk negara Barousai yang letaknya di Aceh dan sekarang lebih dikenal dengan nama Barus. Disebutkan juga bahwa daerah tersebut menjadi penghasil utama sejenis kapur yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan kapur barus.

Baca Juga: Mengenal Empat Museum Alquran di Indonesia

Pembahasan mengenai daerah penghasil kapur barus ini sebagian ahli sejarah mengatakan berada di daerah Ramni atau Lamiri. Pendapat ini dikelurkan oleh Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943) dan Buzurg bin Shahriar (955) yang semuanya merupakan penulis bangsa Arab. Daerah Lamri berada di sebelah utara dan barat yang berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah timurnya ada pengunungan Bukit Barisan yang berada sebelah Batee Pteh, terpisah dari daerah Pidide, dan sebelah selatannya terdapat pengunungan yang menjorok pada Kreung Raba terpisah dari pantai barat Aceh. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa letak Lamri berada di Sumatera bagian utara, tepatnya di Aceh Besar.

H. Mohammad Said, seorang wartawan kajian sejarah telah mengadakan seminar tentang awal masuknya Islam di Nusantara. Seminar tersebut diadakan pada tanggal 17-20 Maret tahun 1963 di Universitas Islam Sumatra Medan. Para pakar sejarah Nusantara seperti Buya Hamka, Haji Abubakar Aceh, Mohammad Said, dan Haji Zainuddin selama 4 hari 4 malam melakukan pertukaran pikiran.

Buya Hamka sendiri yang menjadi salah satu narasumber pada acara tersebut mengemukakan pendapat bahwa :

  1. Islam datang ke Indonesia terjadi berangsur-angsur yang dimulai sejak abad pertama hijriyah (abad 7 M). Dibawa oleh saudagar Arab yang beragama Islam.

  2. Melalui saudagar ini penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara santun yang tidak keras seperti perang.

  3. Madzab Syafi’i yang telah membumi di sekitar masyarakat Aceh dijadikan pula oleh para raja Aceh sebagai pedoman dalam beragama.

Selanjutnya Buya Hamka juga pernah menulis di dalam bukunya yang berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, yang mengatakan bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW ada di muka bumi, orang Arab dan Poenicie sudah mencari kapur di Nusantara, tepatnya di pulau Sumatera. Waktu itu kapur tidak tumbuh di daerah lain kecuali di Sumatera, yang dimaksud kapur di sini yaitu kapur barus. Pada zaman dahulu kapur menjadi barang yang sangat mahal dan populer. Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri ada salah satu ayat yang menyinggung tentang kapur, yaitu di dalam Surah Al-Insan (76), ayat (5); “Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kapur.” Ayat ini menegaskan bahwa yang dimaksud kapur harum itu adalah kapur barus yang kelak akan menjadi campuran minuman para penghuni surga.

Di dalam kitab Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka mengatakan bahwa kapur merupakan zat putih serta berbau harum yang dikeluarkan dari dalam pohon kayu, yang biasanya tumbuh di hutan-hutan pulau Sumatera. Kapur ini lebih terkenal dengan sebutan kapur barus. Karena di zaman dulu di sekitar pantai Sumatra daerah Barus lah yang tumbus pohon seperti itu.

Syaikh Hamzah Fanshuri, seorang ulama tersohor dari Aceh pernah membuat dua syair tentang kapur barus.

“Hamzah Fanshuri di negeri Melayu,

Tempatnya kapur di dalam kayu,

Asalnya manikam tiadakan layu,

Dengan ilmu dunia manakan payu.”

***
“Hamzah Syahrun-nawi terlalu hapus,

Seperti kayu sekian hangus,

Asalnya laut tiada bararus,

Menjadi kapur di dalam Barus.”

Berdasarkan tafsiran ayat tersebut Buya Hamka memberikan kesimpulan bahwa orang Arab sudah berlayar di kepulaan Nusantara yang terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Mereka berlayar untuk mencari rempah-rempah, serta kapur sebagai salah satu hasil bumi yang harum. Buya Hamka menambahkan bahwa saudagar Arab yang dimaksud di atas yaitu berasal dari tanah Makkah bukan Gujarat atau Mesir. Pada tahun 684 Masehi permukiman para saudagar Arab di pesisir barat pantai Sumatra sudah terbentuk. Mereka di sana berdagang rempah-rempah sambil menunggu perubahan angin muson untuk melanjutkan perjalanannya atau pulang di kampung halamannya.

Baca Juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang

Adapun agama Islam pertama kali masuk di Aceh terjadi pada abad ke-7 Masehi. Dalam perkembangnya telah diiringi dengan berdirinya kerajaan Islam di Perlak pada tahun 225 H atau 847 Masehi. Raja pertamanya bergelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Setelah itu diikuti beridirinya kerjaan Samudra Pasai pada tahun 1042 Masehi dengan Maharaja Mahmud Syah sebagai raja pertamanya. Kemudian lahir kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 601 H atau 1205 Masehi yang didirikan oleh Sultan Johan Syah.

Seperti halnya kapur yang akan menjadi campuran minuman orang-orang yang berbuat kebaikan ketika nanti berada di surga. Namun tentu saja kapur yang berada di akhirat atau surga nanti jauh lebih harum, lebih enak untuk dijadikan campuran makanan dan minuman di surga. Wallahu A’lam.

Niamul Qohar
Niamul Qohar
Santri Pondek Pesantren Baitul Kilmah dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU