BerandaTafsir TematikTerminologi ‘Risywah’ (Suap) dalam Literatur Tafsir

Terminologi ‘Risywah’ (Suap) dalam Literatur Tafsir

Di masa mendekati pemilu seperti sekarang, transaksi suap-menyuap antara calon pejabat dengan masyarakat seperti dianggap lumrah dan menjadi rahasia umum. Suap sendiri merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi (tipikor) yang termasuk dalam salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Menarik untuk dicermati, jika merujuk kepada terminologi suap dalam bahasa Arab, yakni risywah, maka tidak akan ditemukan satu ayat Alquran yang memuat terminologi tersebut. Meski demikian, terminologi risywah bukanlah sesuatu yang asing dalam tafsir Alquran. Terminologi tersebut dapat dengan mudah dijumpai ketika membaca literatur-literatur yang ditulis oleh para pakar tafsir karena sering digunakan untuk menjelaskan makna ayat-ayat yang menjelaskan tentang kecurangan, penipuan, atau tindakan zalim.

Baca Juga: Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya

Di antaranya adalah kata suht dalam surah al-Māidah [5]: 42.

سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ ۚوَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Menurut Muqātil bin Sulaimān, subjek ayat tersebut adalah Ka’ab bin al-Asyraf, Ka’ab bin Asīd, Mālik bin Dhaif, dan Wahab bin Yahūdzā yang suka mendengar berita bohong dan menerima suap dari orang-orang Yahudi yang menyuap mereka setiap tahunnya. (Tafsir Muqātil bin Sulaimān, 1, 478).

Mereka merupakan para penegak hukum dari kalangan Yahudi yang hanya akan mendengarkan, bahkan mempercayai apa pun yang dikatakan oleh orang yang memberi mereka suap, sedangkan pihak lainnya akan diabaikan (al-Kasyf wa al-Bayān: 4, 67).

Praktik serupa tidak hanya dilakukan oleh para hakim, akan tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum. Orang-orang miskin Yahudi akan mengambil uang dari orang-orang kaya untuk hidup dari apa yang mereka miliki dengan cara mendengarkan kebohongan serta mempopulerkan Yahudi dan mencemarkan nama baik Islam (Tafsīr al-Munīr: 3, 544-545).

Selain dari salah satu konteks mikro ayat tersebut yang merujuk kepada praktik suap, dalam konteks makronya, praktik suap dalam masyarakat Arab bukanlah sesuatu yang asing.

Berdasarkan catatan Ibnu Āsyūr, di antara masyarakat Arab Jahiliyyah yang pernah melakukan praktik suap adalah ‘Āmir bin al-Thufail dan Alqamah bin ‘Ulātsah. Masing-masing dari keduanya memberikan seratus ekor unta kepada Haram bin Quthbah al-Fazārī, dengan harapan salah satu dari mereka akan diutamakan dari yang lain.

Sementara itu, di lain kasus, hakim yang pertama kali menerima suap adalah Dhamrah bin Dhamrah al-Nahsyili dengan seratus ekor unta yang diberikan oleh Abbād bin Anf al-Kalb kepadanya dalam pertengkaran antara dia dan Ma’bad bin Nadhlah al-Faqa’sī untuk mengasingkannya (Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr: 2, 191-192).

Baca Juga: Pedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Sementara  itu, di kalangan Islam, pelayan ‘Umar bin al-Khattāb, Yarfa’, tercatat sebagai orang yang pertama kali menerima suap. Yarfa’ adalah perantara dalam pemberian izin kepada orang yang hendak memasuki rumah ‘Umar bin al-Khattāb. Al-Mughīrah bin Syu’bah menyuap Yarfa’ agar gilirannya  didahulukan untuk masuk ke rumah ‘Umar bin al-Khattāb. Padahal berdasarkan aturannya, mendahulukan giliran harus seizin orang yang lebih dahulu datang. Tanpa seizin yang bersangkutan, hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Tindakan Al-Mughīrah bin Syu’bah memberikan uang untuk mendapatkan giliran lebih cepat dikategorikan sebagai praktik suap (Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr: 2, 192).

Dari keterangan penjelasan konteks historis mikro dan makro ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik suap merupakan tindakan yang tidak asing dalam Islam di masa-masa awal. Meski suap menyuap (risywah) tidak disebutkan secara gamblang dalam Al-Qur’an, namun larangannya termuat dalam ayat-ayat yang menjelaskan tentang kecurangan, kezaliman, dan kebohongan. Pemaparan di atas juga menjadi penegasan bahwa suap merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan dalam Islam karena merupakan bagian dari kecurangan, kezaliman, kebohongan. Wallah a’lam

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU