Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya

Pandangan Alquran tentang Tindakan Korupsi dan Solusinya
Ilustrasi tindak pidana korupsi.

Siapa yang tidak kenal dengan kata korupsi. Di negara kita, Indonesia, korupsi menjadi salah satu permasalahan yang sangat serius. Praktik korupsi sudah ada sejak lama dan masih berkembang hingga sekarang. Tindak pidana korupsi sudah termasuk extra ordinary crime dan sudah diakui sebagai transnational organized crime secara internasional (Millah, “Korupsi dalam Perspektif Al-Qur’an”, Syariati, 197). Lalu, bagaimana Alquran menjelaskan masalah ini?

Term korupsi dalam Alquran

Jika mencari makna korupsi atau kata dalam Alquran yang berartikan korupsi, kita tidak akan menemukannya. Term korupsi tidak secara eksplisit dijelaskan dalam Alquran. Namun, korupsi bisa dikiaskan dengan tindak pidana lain. Misalnya, perampokan (al-harb), pencurian (as-sarq), penghianatan (al-ghulul), dan penyuapan (as-shut). Berikut rinciannya:

  1. Term al-ghulul

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang, pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Q.S. 3: 161).

Al-Zamakhsyari menjelaskan, term ghulul bermakna mengambil tanpa izin atau mencuri. Seperti dalam ayat ini yang diartikan sebagai mengambil harta rampasan secara tersembunyi (al-Kassyaf, 475).

Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak mungkin seorang nabi akan berkhianat kepada kaumnya, apalagi dalam hal harta rampasan perang. Setiap nabi memiliki sifat amanah, maka tidak wajar mereka melakukan pengkhianatan (Tafsir Al-Misbah, 2/265). Begitu juga dengan Rasyid Ridha yang menjelaskan bahwa tidak mungkin nabi menyembunyikan perintah Allah Swt.

Term ghulul memiliki titik tekan kepada sebuah pengkhianatan atas amanah yang telah dipercayakan. Pengkhiatan ini terkait dengan amanah atau jabatan. Secara luas bisa dimaknai juga dengan pengkhiatan dalam hal harta benda (Dasuki (dkk.), al-Qur`an dan Tafsirnya, 770).

Orang yang melakukan ghulul akan mendapatkan sanksi moral. Mereka akan mendapatkan risiko dipermalukan di hadapan Allah di hari kiamat. Hal ini sesuai dengan jenis sanksi moral yang telah diterapkan oleh Rasulallah.

2. Term hirabah

Q.S. Al-Maidah: 33 turun berkaitan dengan hukuman yang ditetapkan oleh Nabi saw. Jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini turun dalam beberapa keadaan. Menurut Ibnu Abbas, ia turun mengenai penyamun; jika seseorang mengambil dan membunuh barang berharga, dia harus dibunuh dan disalib. Jika dia membunuh dengan tidak mengambil barang-barang berharga, dia hanya dibunuh tanpa disalib (Tafsir Ibnu Katsir, 3/76).

Kata hirabah memiliki arti perampokan. Kata yuharibuna jika dirunut dari asalnya memiliki makna seseorang yang merampas harta dan meninggalkan tanpa bekal apapun (Binjai, Tafsir al-Ahkam, 384).

Baca juga: Kecaman Alquran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surah Ali-Imran Ayat 161

3. Term as-sariqah (pencurian)

Dalam Q.S. al-Maidah [5]: 38 dijelaskan sanksi bagi para pencuri yaitu dipotong pergelangan tangannya sebagai pembalasan duniawi yang menjadikan dia jera dan orang lain takut untuk melakukan hal serupa (Tafsir Al-Misbah, 91).

Term As-sariq menjelaskan bahwa yang bersangkutan telah berulang kali melakukan pencurian dan sangat wajar jika dinamai pencuri. Mencuri adalah mengambil secara sembunyi barang berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya di tempat yang wajar dan si pencuri tidak diizinkan untuk masuk ke dalam tempat itu.

4. Term as-shut (penyuapan)

Dalam Q.S. Al-Maidah: 42, kata as-shut berasal dari kata sahata yang bermakna memperoleh harta yang haram (Kamus Al-Munawwir, 614). Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya (hal. 57) memaknai as-shut dengan harta haram. Ats-Tsa’labi menguraikan dalam tafsirnya menjelaskan bahwa harta yang haram adalah suap yang diberikan pada seseorang dalam suatu urusan (Al-Kasyf wa Al-Bayan, 455). Term as-suht dalam ayat tersebut merupakan bagian term Alquran yang mengindikasikan praktek suap yang juga bagian dari korupsi.

Dalam menginterpretasikan Q.S. Al-Maidah [5]: 42, Al-Qurtubi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan as-shut yaitu bila seseorang makan karena adanya kekuasaan atas dirinya. Seseorang yang memiliki jabatan di sisi penguasa kemudian ada seorang yang meminta tolong atas sesuatu dan dia tidak akan memenuhinya kecuali dengan adanya suap yang diambil (Tafsir Al-Qurtubi, 4/489).

Kata shut tidak hanya dijelaskan dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 42, tapi juga pada Q.S. Al-Maidah [5]: 62-63. Kata shut mempunyai makna membinasakan dan yang haram pasti akan membinasakan si pelaku. Seseorang yang tidak peduli dengan asal muasal hartanya, maka dia akan disamakan dengan hewan binatang yang melahap segala yang dia dapatkan. Karena itu, dia akan binasa dengan perbuatan sendiri (Tafsir Al-Misbah, 101).

Ayat tersebut menjelaskan secara utuh praktik korupsi seperti yang terjadi pada saat ini. Praktik suap menyuap menjadi bagian dari bentuk korupsi yang telah menjamur di masyarakat.

Dari penjelasan ayat-ayat yang identik dengan term korupsi di atas terlihat bahwa Alquran pun melarang tindak pidana korupsi. Namun, sampai saat ini masih banyak pejabat yang melakukan korupsi. Maka dari itu haruslah ada sebuah perbaikan tatanan untuk penanggulangan korupsi.

Tiga cara penanggulangan korupsi

Sedikitnya ada tiga konsep penanggulangan korupsi:

Pertama: pendidikan anti korupsi

Kegiatan pendidikan dan pelatihan anti korupsi haruslah dilaksanakan sejak dini. Hal ini dilakukan agar pemahaman terhadap bahaya korupsi tertanam pada jiwa seseorang sebelum terjun di dunia kerja.

Pendidikan di sekolah sangat urgen dalam menanamkan sikap anti korupsi bagi para siswa. Memberikan pemahaman terhadap bahaya korupsi kepada peserta didik bisa dimulai dari hal terkecil. Upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan mengenai gerakan anti korupsi diharapkan akan memberikan pandangan kepada siswa akan bahaya laten dari tindakan korupsi.

Baca juga: Pentingnya Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi, Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 38

Kedua: peningkatan etos kerja

  1. Mencari rezeki

Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 10 menyatakan:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan salat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki para pengikutnya menjadi orang yang malas dan menyerah saja, apalagi memandang bahwa bekerja itu sebuah siksaan tersendiri. Islam mendidik para pengikutnya agar cinta bekerja dan menghargai bahwa bekerja adalah sebuah kewajiban manusia dalam hidupnya. Manusia diharapkan dapat mengambil kemanfaatan dari pekerjaan tersebut.

  1. Bekerja keras

Islam menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja keras. Tidak hanya itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk berlatih kesabaran, ketekunan, keterampilan, kejujuran, dan memperkuat umat Islam. Jika semua orang Islam dapat menyadari bahwa bekerja keras itu penting, tidak mungkin orang tertarik dengan hal-hal yang sifatnya instan seperti korupsi. Dalam firman-Nya Q.S. Al-An’am: 135 disebutkan:

قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدَّارِ ۗ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu. Sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.

Terlihat jelas dari ayat tersebut bahwa orang yang zalim tidak akan mendapat keberuntungan. Korupsi adalah salah satu sikap menzalimi dana orang lain yang seharusnya milik rakyat akan tetapi mereka ambil untuk kepentingan pribadi.

  1. Jujur

Kejujuran merupakan kunci keberhasilan di dalam dunia kerja. Dengan sikap jujur, seseorang tidak akan mungkin ingin mencoba untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari sikap jujur.

Keasadaran umat Islam akan tiga poin penting tersebut setidaknya dapat mengurangi tindak pidana korupsi.

Baca juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Ketiga: hukum pidana mati

Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, salah satu sanksi terberat yaitu pidana mati. Formulasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, kebijakan formulasi tidak mudah untuk segera dilaksanakan.

Menurut ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada tiga kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati:

  1. Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp. 100 miliar dan secara masif telah merugikan rakyat.
  2. Pelaku tindakan pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara.
  3. Pelaku korupsi tidak jera dengan hukuman yang telah diberikan, maka mereka melakukan korupsi secara berulang-ulang.

Hukuman  mati bagi koruptor perlu diterapkan di Indonesia sebagai manifestasi bahwa telah tercapainya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu hukuman mati juga akan memberikan efek jera dan takut bagi pelakunya. Perlunya hukuman tersebut karena saat ini korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa akan tetapi sudah telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal ini jika dilihat dari pandangan psikologi seorang koruptor (Maswandi, ”Penerapan Hukuman Mati bagi Koruptor dalam Perspektif Islam di Indonesia”, Mercatoria, 76).

Dalam Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan pelakunya di hukum mati ada tujuh, yaitu sariqah (mencuri), zina, qadzaf (memfitnah berzina), hirabah (merampok), khamr (mabuk), riddah (murtad), dan bughah (memberontak). Perbuatan korupsi dalam hal ini dimasukkan pada term sariqah. Islam tidak membatasi seberapa banyak koruptor mengambil uang negara. Akan tetapi, yang dinilai adalah dampak dari korupsi tersebut yaitu menyebabkan kerusakan pada tatanan kehidupan masyarakatnya. Mengingat begitu besarnya dampak kerusakan yang timbul, maka pantas dan cukup beralasan jika syariat Islam membenarkan adanya hukuman mati bagi koruptor sebagaimana dijelaskan pada Q.S. An-Nisa’: 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu; dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Tiga hal inilah yang sekiranya dapat dilakukan untuk mengurangi atau menanggulangi semakin meningkatnya kasus tindak pidana korupsi.

Baca juga: ‘Good Governance’ Perspektif Alquran