Dalam tradisi di beberapa masyarakat Indonesia, kita sering mendengar istilah tolak bala. Tradisi ini diadakan dengan tujuan meminta perlindungan dan menolak bencana atau musibah. Padahal bila ditelusuri makna asalnya, bala bukan hanya terbatas pada dua makna itu. Al-Quran pun cukup sering menyebut al-bala’ dengan segala bentuk derivasinya. Dan tentunya, tidak hanya bermakna keburukan. Tulisan ini akan menjelaskan beberapa makna bala dalam Al-Quran.
Bala merupakan serapan dari bahasa arab yakni al-bala’ yang bermakna ujian (al-ikhtibar). Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab memberi keterangan bahwa bila ujiannya berbentuk kebaikan maka dinamakan ibla’, sedangkan bila ujiannya berbentuk keburukan, maka dinamakan bala’.
Baca juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran
Mungkin dari sini kebanyakan masyarakat menamai malapetaka (buruk) dengan istilah bala. Namun ibn Mandzur lebih condong pada pendapat yang mengatakan bahwa al-bala’ secara umum tidak memiliki perbedaan dalam bentuk, antara berbentuk kebaikan maupun keburukan sama-sama dinamakan dengan al-bala’.
Tafsir Al-Mulk ayat 2: bala’ merupakan sunnatullah
Dalam Al-Quran, al-bala’ merupakan cobaan dari Allah swt kepada umat manusia saat di dunia. Salah satu firman-Nya tentang hal tersebut ialah Surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun”
Pada bagian awal Surat Al-Mulk sudah ditampakkan bentuk penegasan bahwa Allah swt Maha Kuasa atas segala hal. Kerajaan seluruh alam semesta ada di “genggaman”-Nya dan mengetahui seluruh rahasia yang ada di dalamnya. Kemudian Allah menjadikan kehidupan dan kematian manusia sebagai ujian sehingga akan diketahui siapa diantara mereka yang paling baik amalnya.
Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya memberi alasan perihal didahulukannya al-maut (kematian) atas al-hayat (kehidupan). Menurutnya, ayat tersebut memberi penekanan pada ujian yang diberikan Allah kepada manusia, kemudian dari ujian tersebut, manusia akan mendapat balasan ketika sudah mati. Sehingga, tujuan terpenting dari ayat tersebut ialah pembalasan atas ujian-Nya yang ada ketika sudah mati. Ia juga mengkaitkan dengan surat al-baqarah ayat 28: وَكُنْتُمْ أَمْواتاً فَأَحْياكُمْ( dan kalian awalnya mati, maka Aku hidupkan kalian). (Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 13:29)
Baca juga: Sedang Dirundung Musibah? Bersabarlah! Ini 4 Keutamaan Sabar Menurut Al-Quran
Dalam Tafsir al-Azhar juga dikatakan bahwa antara hidup dan mati itulah umat manusia seyogianya memberbaiki dan meningkatkan kualitas dan mutu amal perbuatannya. (Buya hamka, Tafsir al-Azhar, 29:10)
Kata لِيَبْلُوَكُمْ dimaknai juga oleh Hasbi sebagai ketetapan-Nya dalam menguji keadaan manusia untuk melihat kebaikan dan kejahatan orang tersebut. Ringkasnya, hidup merupakan tempat ujian, sedangkan mati ialah masa pembalasan. (Hasbi ash-Shiddiqy, tafsir al-Quran al-Majid al-Nur, 5:4289)
Kenikmatan juga termasuk bala’
Seperti yang disebutkan sesuai definisinya, maka al-bala’ tidak hanya berkaitan dengan hal yang bersifat buruk, musibah dan malapetaka. Melainkan juga bersifat pada kenikmatan yang diberikan-Nya kepada manusia. ini diperjelas juga dalam surat Al-A’raf ayat 168 yang berbunyi:
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan Kami pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan di antaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”
Fakhruddin ar-Razi menukil pendapat ahli al-Ma’ani yang mengatakan bahwa tiap ujian (baik maupun buruk) pada hakikatnya ialah panggilan untuk senantiasa taat kepada-Nya. Adanya ujian dalam bentuk kebaikan merupakan targib, yakni pelajaran yang menyenangkan. Sedangkan pada ujian dengan bencana dan musibah merupakan tarhib, yani sebagai pelajaran dengan ancaman. (ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, 15:46)
Baca juga: Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim
Tentang lafad “kami uji mereka”, al-Qurthubi meminjam beberapa pendapat mengenai bentuk ujian. Pertama ialah riwayat al-Kalbi yang mengatakan bahwa Allah menguji dengan kebaikan dan keburukan. Sedangkan yang kedua mengatakan bahwa Allah menguji rasa syukur umat manusia di saat senang dan rasa sabar di saat susah. Ini merupakan pendapat al-Hasan. (al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, 19:122)
Dari berbagai tafsir yang dikemukakan, maka bisa dipahami memang bala’ atau ujian dari-Nya tidak terkait dengan musibah saja, melainkan juga kenikmatan. Segala alat bantu yang diberikan Allah kepada manusia untuk menjalankan kehidupannya merupakan suatu bentuk ujian-Nya. Alat indra yang dimiliki manusia merupakan contoh mudah yang bisa dirasakan kenikmatannya. Begitu pula akal sebagai alat untuk berfikir dan memahami berbagai aturan sehingga ia bisa memilah dan memilih antara yang baik dan buruk.
Ujian kenikmatan lebih berat
Meskipun umat Islam cenderung mengartikan bala’ sebagai bentuk musibah dan malapetaka, namun dari berbagai penjelasan yang sudah dipaparkan menunjukan bahwa bala’ yang dimaksud ialah bentuk ujian dari-Nya yang tidak condong pada satu bentuk (bisa baik atau buruk).
Az-Zamakhsyari memberikan contoh yang mudah dipahami. Ia mengatakan bahwa kelapangan rezeki dan kesempitan rezeki sama-sama ujian dari-Nya. Saat lapang merupakan ujian apakah orang tersebut bisa bersyukur atau jurstu sebaliknya (kufur). Saat sempit pun demikian, apakah orang tersebut bisa bersabar atau malah putus asa. (Az-Zamakhsyari, tafsir al-Kasysyaf, 4:251)
Baca juga: Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah
Mengenai ujian dengan kebaikan yakni dengan segala kenikmatan dunia, seperti kebahagiaan, kesehatan dan kelezatan dunia. Menurut Quraish Shihab, ujian seperti ini biasanya lebih sulit dari pada ujian dengan malapetaka. Hal ini karena manusia umumnya bisa terlena oleh kenikmatan itu dan lupa terhadap siapa yang memberi kenikmatan tersebut. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 8:452)
Jika kita bermuhasabah diri, akan disadari bahwa semua tugas dan kewajiban memanglah membebani manusia. Oleh karenannya disebut dengan ujian hidup. Adanya ujian tersebut sudah menjadi konsekuensi dari kehidupan yang diberikan Allah dan sudah ditetapkan. Kemudahan dan kesulitan ialah ujian bagi manusia. Disadari pula bahwa menghadapi ujian kenikmatan dirasa berat karena biasanya manusia akan terlena dengan kenikmantannya. Sebaliknya, umat manusia cenderung mengingat-Nya saat mendapat ujian sulit dan musibah. Wallahu a’lam[]