Salah satu fungsi pokok Al-Quran ialah al-furqan. Secara literal, makna al-furqan adalah membedakan, memisahkan. Al-Quran sebagai al-furqan secara gamblang telah memberikan panduan kepada manusia agar mampu membedakan perkara yang haq dan bathil, halal dan haram, mana yang bersifat petunjuk dan menjerumuskan. Semuanya telah jelas dalam Al-Quran. Nah, pada pembahasan kali ini, kita akan mengulas makna al-furqan yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 185,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)
Baca juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani
Makna al-Furqan
Sebelum melangkah lebih jauh penafsiran kata al-furqan dalam ayat di atas ada baiknya diulas terlebih dahulu makna al-furqan. Kata al-furqan secara semantik berasal dari kata faraqa-yafriqu-farqan, artinya al-fashl (memisahkan, membedakan). Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, kata al-furqan berarti memisahkan antara perkara yang haq dan bathil.
Adapun Ibrahim al-Abyari dalam al-Mausu’ah al-Quraniyyah al-Muyassarah, kata al-furqan bermakna memisahkan antara sesuatu. Al-furqan, demikian dalam kamus al-Muhith, juga mempunyai banyak arti di antaranya kitab al-Quran, pertolongan (al-nasr), bukti (hujjah), menampakkan yang benar (al-sihr), anak laki-laki (al-sibyan), kitab taurat dan membelah laut (infiraq al-bahr). Jika ditilik secara mendalam, kata al-furqan sendiri disebut tujuh kali dalam Al-Quran, yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 53 dan 185, Q.S. Ali Imran [3]: 4, Q.S. al-Anbiya’ [21]: 48, Q.S. al-Furqan [25]: 1, Q.S. al-Anfal [8]: 29 dan 41.
Nah, kata al-furqan pada ayat di atas tidak jauh berbeda dengan makna al-furqan menurut kamus di atas. Di antaranya al-Qurtuby, ia menafsirkan kata al-furqan dengan segala sesuatu yang membedakan antara perkara haq dan bathil (ma faraqa baina al-haq wa al-bathil).
Sedangkan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan al-furqan dengan menggunakan redaksi al-fashl (memisahkan), yaitu memisahkan antara yang haq dan bathil (al-fashl baina al-haq wa al-bathil). Demikian pula al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, ia menggunakan redaksi al-fariq, yakni meninggalkan sesuatu antara yang haq dan bathil alias perkara syubhat.
Begitupun al-Syaukani, al-Suyuthi, al-Baghawy, Ibn ‘Atiyyah, al-furqan menurutnya ialah sesuatu yang membedakan antara haq dan bathil. Namun, al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun menambahi makna al-furqan dengan perbedaan antara yang halal dan haram.
Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [2]: Makna Bayyinah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 185
Penafsiran selanjutnya disampaikan oleh Ibn al-Jauzi dengan mengutip penafsiran Muqatil bin Sulaiman, dalam Zad al-Masir fi Ilmi al-Tafsir, ia memaknai al-furqan dengan sesuatu yang keluar dari agama, yaitu syubhat dan kesesatan (al-mukhriju fi al-din min al-syubhat wa al-dhalalah). Dalam artian, seorang manusia hendaknya tidak melakukan perkara syubhat alias gak jelas, dan perkara yang sesat dan menyesatkan.
Al-Quran sebagai Pembeda: Kontekstualisasi bagi Muslim Kontemporer
Sebagai al-furqan (pembeda), Al-Quran jelas dan sangat gamblang memisahkan segala sesuatu yang haq dan bathil, halal dan haram, baik dan buruk, benar dan salah, petunjuk dan kesesatan. Sesuatu yang benar tentu tidak dapat dicampuri dengan yang salah, demikian pula sesuatu yang halal tidak dapat bercampur dengan yang haram. Semuanya telah jelas. Inilah konsep al-furqan dalam Al-Quran, sebuah konsep peradaban yang sangat maju sepanjang zaman.
Makan, tak heran jika al-Qurtuby menuturkan bahwa Al-Quran sebagai al-furqan karena dua aspek yaitu pertama, karena membedakan antara kebenaran dan kebatilan, mukmin dan kafir, tauhid dan jahiliyah. Kedua, di dalamnya terangkum penjelasan-penjelasan (bayyinat) syariat Islam seperti halal dan haram, makanan yang sehat bergizi (thayyibat) dan sebaliknya.
Makna al-furqan juga mengisyaratkan betapa sempurnanya Al-Quran sebagai hudan (petunjuk). Ibarat lampu lalu lintas, Al-Quran itu komplit, kapan manusia untuk waspada (lampu kuning), kapan manusia harus melaksanakan syariat (lampu hijau), dan kapan pula manusia harus mengerti berhenti atau mengerem (lampu merah). Panduan ini jelas dan tidak remang-remang.
Baca juga: Peran Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama di Bulan Ramadan
Selain itu, isyarat kedua Al-Quran sebagai al-furqan bermakna menyempurnakan ajaran agama sebelumnya. Dalam hadits Nabi saw, “Tidakkah Aku diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Menarik kiranya kalimat menyempurnakan yang dilukiskan dalam kata li utammima (untuk menyempurnakan), bukan li nuskhah (untuk menghapus atau menggantikan). Sungguh sebuah redaksi yang menunjukkan ketinggian ajaran Islam.
Pada momentum ramadhan kali ini, meski masih diselimuti wabah pandemi Covid-19, umat Islam harus tampil beda. Artinya, umat Islam harus menjadi umat yang lebih patuh untuk menaati protokol kesehatan dan tidak mudik misalnya demi menekan penyebaran virus, umat Islam harus tampil beda dengan semakin produktif di tengah pandemi, misalnya menghasilkan karya tulis (buku, dan sejenisnya), dan beda-beda positif lainnya. Wallahu A’lam.