BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanTiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

Agustus adalah bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Merdeka untuk bekerja, beribadah, berinteraksi dengan sesama, dan merdeka untuk berpikir. Semua itu tidak lain karena berkat rahmat Allah yang didorong oleh keinginan luhur sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai rakyat Indonesia yang beragama Islam, kita sudah diajarkan betapa kemerdekaan adalah hak setiap orang. Kita dilarang untuk membuat orang lain merasa minder tidak merdeka sebab pandangan kita yang sinis atau merendahkan.

Ada tiga makna merdeka yang bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan, 3) tidak terikat, tidak bergantung pada orang lain atau pihak tertentu. Kemudian oleh bahasa Arab, kata ‘merdeka’ diterjemahkan dengan hurrun (حرّ), ‘itqun (عتق), dan istiqlāl (استقلال). Hurrun – sebagai kata yang digunakan dalam al-Qur’an – memiliki dua makna 1) lawan dari perbudakan dan bebas dari kekurangan serta cacat, 2) lawan dari dingin yakni panas (Mu’jam Maqāyīs Lughah/2).

Al-Qur’an menjamin kemerdekaan setiap individu. Jaminan yang datang dari Allah ini diberikan sejak ia dilahirkan hingga meninggal. Jika Allah yang menciptakan dan memenuhi segala kebutuhan manusia saja tidak memaksa mereka untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Lantas apa hak kita yang sama sekali tidak turut andil dalam memenuhi seluruh kebutuhan orang lain untuk memaksa mereka agar mengikuti kemauan kita? Paling tidak, ada tiga kemerdekaan dasar dalam Al-Quran yang bisa kita temukan; kemerdekaan menjadi manusia seutuhnya, kemerdekaan memilih keyakinan, dan kemerdekaan beraktifitas dan berkreasi.

Baca Juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Kemerdekaan Menjadi Manusia Seutuhnya

Menjadi manusia seutuhnya termasuk bagian dari nikmat yang tidak ternilai harganya. Inilah kemerdekaan dasar dalam Al-Quran yang disinggung dalam beberapa ayatnya. Dengan nikmat ini seseorang bisa menjadi individu yang terhormat. Kehormatannya bisa diraih sesuai dengan usahanya sendiri. Tidak lagi tunduk atau terikat pada orang lain seperti budak. Sejak kehadirannya, Islam tidak setuju dengan perbudakan, sebuah sistem yang membatasi ruang gerak manusia dan bahkan menilainya sebagai makhluk yang tidak jauh berbeda dengan hewan, bisa diperjualbelikan dan harus menuruti kemauan sang majikan.

Hal ini bisa kita lihat dari semangatnya dalam membebaskan manusia dari belenggu perbudakan. Islam menjadikan pembebasan budak sebagai penebus suatu kesalahan. Misalnya dalam QS. al-Nisā` [4]: 92 Allah menjadikannya sebagai tebusan dalam kasus pembunuhan seorang muslim yang dilakukan tanpa kesengajaan. Pembebasan budak pada ayat ini sepadan dengan bentuk kesalahan yakni menghilangkan nyawa. Jika melihat pada QS. al-Mā`idah [5]: 89 ternyata misi pembebasan manusia dari perbudakan ini sangat serius digencarkan oleh Islam. Di sana ia dijadikan sebagai salah satu penebus kesalahan atas sumpah yang dilanggarnya.

Jika dua kasus tersebut berlaku dalam dimensi sosial kemasyarakatan yang ruang lingkupnya besar, maka dalam dimensi yang lebih kecil, yakni keluarga, Allah juga menajdikannya sebagai penebus kesalahan. Seorang suami yang menginginkan istrinya kembali setelah men-zihar-nya (menganggap punggung istrinya sama seperti punggung ibunya yang haram untuk digauli), harus memilih satu dari tiga opsional yang Allah tawarkan dalam QS. al-Mujādilah [58]: 3. Diantara opsi tersebut adalah memerdekakan seorang budak. Demikianlah gambaran betapa Allah sangat memuliakan makhluk-Nya yang bernama manusia.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (QS. al-Isra’ [17]: 70)

Baca Juga: Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Al-Qur’an

Kemerdekaan Memilih Agama

Kemerdekaan sebagai makhluk yang terhormat ini Allah sempurnakan dengan kebebasan memilih keyakinan atau agama. Sesuatu yang menjadi hak asai manusia. Terkait kebebasan ini, ada satu kisah yang menarik. Suatu ketika ada seorang wanita Anshār yang tidak kunjung dikaruniai putra. Wanita yang beragama Yahudi ini bernazar jika dikaruniai putra, ia akan menjadikan putranya sebagai orang Yahudi juga. setelah wanita tadi masuk Islam, kaum Anshār – mewakili wanita tadi – bertanya pada Nabi ‘bagaimana kami memperlakukan anak-anak kami?’

Kemudian turunlah satu ayat sebagai jawaban bahwa tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk Islam meskipun ia adalah anak sendiri. Informasi yang diriwayatkan oleh Imam Abū Dāwūd dan al-Nasā`ī dari Sahabat Ibn Abbas ini dikutip oleh para mufasir semisal al-Thabarī, al-Baghawī, Ibn ‘Arabī, Ibn ‘Athiyyah, al-Qurthbī, Ibn Katsīr, dan Ibn ‘Asyūr dalam kitab tafsir mereka. (al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’ān: 291). Adapun ayat yang turun menjawab problem itu adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 256.

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama”

Melalui Surat al-Kāfirūn, Islam mengajarkan umatnya untuk menghormati saudaranya yang beda keyakinan. Islam juga melarang pemeluknya untuk mencela sesembahan agama lain (QS. al-An’ām [6]: 108). Tuntunan ini kemudian diadposi dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” sebagai media terjaganya pluralitas agama di Indonesia.

Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Kemerdekaan Berkreasi

Sebagai bangsa yang telah merdeka dari penjajahan dan perbudakan, kini saatnya kita melakukan berbagai aktifitas positif yang bermanfaat. Inilah kemerdekaan dasar dalam Al-Quran berikutnya. Hal ini sebagai bentuk ekspresi rasa syukur atas karunia tersebut. Islam menjamin kebebasan berekspresi ini melalui QS. Fushshilat [41]: 40.

اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙاِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: “Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Kebebasan yang Allah berikan ini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Imam al-Baghāwī dalam Ma’ālim al-Tanzil-nya (7/176) menjelaskan bahwa perintah melakukan apapun dengan bebas ini merupakan perintah yang tujuannya menakut-nakuti dan mengancam. Jadi apa yang hendak dilakukan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Jika baik berarti kerjakan sebaik dan semaksimal mungkin. Dan jika sebaliknya lebih baik segera tinggalkan. Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah mengisi kemerdekaan dengan aktifitas yang membanggakan para pendahulu bangsa. Para pahlawan yang telah gugur memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman tangan penjajah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa. Wallahu a’lam

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...