Tafsir merupakan salah satu rumpun keilmuan Islam yang banyak memberikan sumbangsih dalam kekayaan khazanah keilmuan Islam berabad-abad lamanya. Tafsir sendiri merupakan sebuah produk ijtihad yang dihasilkan oleh para mufasir dalam upayanya merenungi dan memahami isi Al-Quran.
Sejalan dengan perkembangan kekayaan intelektual tersebut, tafsir memiliki beberapa tantangan tersendiri, tak terkecuali dalam aspek pembelajaran tafsir. Tantangan dalam pembelajaran tafsir ini akan selalu ada sepanjang zaman. Tidak hanya satu ataupun dua, akan tetapi tidak terbatas. Sebab tafsir tidak dapat terlepas dari pengaruh kepribadian mufassir, latar belakang, dan juga realitas sosio-kultural yang ada pada masa tersebut.
Dalam forum Pembukaan Pesantren Bayt Al-Quran Virtual angkatan ke XXIII yang dilaksanakan pada 4 Januari 2020, Quraish Shihab mengemukakan bahwa dari sekian banyak tantangan yang tidak bisa kita abaikan dalam realitas masyarakat, setidaknya mengerucut pada tiga hal.
Sebagai info tambahan, Pesantren Bayt Al-Quran adalah Pondok Pesantren yang didirikan oleh Ali Ibrahim Assegaf sekaligus sebagai program dalam naungan Pusat Studi Al-Quran yang didirikan oleh M. Qurasih Shihab. Pesantren yang kegiatannya fokus pada pembelajaran tafsir dan pemahaman nilai-nilai Al-Quran ini sasarannya adalah santri atau asatidz yang sudah menyelasaikan hafalan Al-Quran 30 Juz yang dikarantina selama 6 bulan untuk memperdalam berbagai Ilmu Al-Quran. Sejak angkatan ke XXI telah masuk masa pandemi sehingga pengelola memutuskan untuk menjalankan program pesantren dengan virtual.
Kembali lagi ke penjelasan tentang tiga hal yang menjadi tantangan pembelajar ilmu al-Quran dan tafsir. Pertama, adanya perubahan yang bersifat pasti dan niscaya. Perubahan ini dinamis dan tidak dapat ditolak. Ini yang harus diterima, sebab perubahan sendiri merupakan sunnatullah.
Problemnya adalah di dalam masyarakat kita masih terdapat beberapa kelompok yang mengabaikan adanya perubahan, atau bahkan menolak perubahan itu sendiri. Dalam artian mereka tidak sanggup menerima adanya perubahan tersebut.
Di antara penyebab dari sikap yang apatis ini adalah adanya kekeliruan pemahaman terhadap pandangan-pandangan masa lalu. Mereka yang apatis cenderung tidak bisa membedakan baik-buruk dalam kerangka yang berbeda. Padahal, segala hal yang bersifat adat, kultur, budaya, dan kebiasaan, baik-buruknya bersifat relatif dan nisbi. Berbeda dengan kerangka ibadah mahdhah yang sifatnya sudah tentu baik.
Kedua, mempelajari perubahan itu sendiri, baikdari segi masanya maupun substansi perubahannya. Bisa jadi perubahan tersebut ada dalam bentuknya, caranya, metodenya, ataupun materinya. Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Islam tidak mensakralkan bentuk, akan tetapi yang disakralkan adalah substansi.
Sehingga pada hakikatnya, yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan ilmiah para pakar pada suatu masa terkait dengan satu pembahasan tertentu. Oleh karenanya perlu memahami bagaimana kita menghadapi semacam ini dalam konteks penafsiran.
Ketiga, membedakan antara agama, ilmu agama, dan keberagamaan. Banyak dari kalangan umat Islam yang tidak bisa membedakan antara ketiganya dan cenderung menganggap semuanya sama. Padahal tidak demikian halnya. Agama sudah sempurna sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi, ilmu agama baru dimulai pada masa sahabat Nabi. Contoh kongkritnya adalah adanya beragam madzhab dalam Islam.
Ilmu agama yang dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab fikih Hanafi) baru lahir sekitar 100 tahun lebih dari sejak wafatnya Nabi. Agama pasti benar, akan tetapi kebenaran ilmu agama sifatnya dzanni (praduga), bisa jadi benar, bisa jadi salah. Ketidak-fahaman beberapa golongan mengenai perbedaan ini yang kemudian menyebabkan saling mengkafirkan satu sama lain.
Setelah meraba dan memahami ketiga tantangan tersebut, langkah yang kemudian diambil adalah menyusun materi pembelajaran, dengan tetap memahami kondisi objektif yang berkembang di masyarakat. Kesemua itu perlu diperhatikan agar senantiasa para pembelajar dapat memahami agama Islam, khususnya tafsir dengan tetap berpegang pada prinsip moderasi, yaitu dengan menanamkan metode berpikir, bersikap, yang mempertimbangkan berbagai aspek dan sudut pandang, sehingga hasil dari pemikiran tersebut tidak bertentangan dengan realitas masyarakat, maupun dengan prinsip-prinsip universal keagamaan. Wallahu A’lam.