BerandaKisah Al QuranToleransi Menjelang Natal: Refleksi Surah Ali Imran Ayat 61 dan 64

Toleransi Menjelang Natal: Refleksi Surah Ali Imran Ayat 61 dan 64

Menjelang momen natal yang akan dirayakan oleh saudara kristiani kita, opini umat muslim Indonesia terbagi menjadi dua. Kubu satu mengharamkan mengucapkan selamat natal. Adapun yang lainnya membolehkan mengucapkan selamat natal kepada saudara kristiani dan menganggap hal tersebut termasuk dalam toleransi beragama. Jika kita amati, pro-kontra tipikal seperti ini terus saja terulang pada momen-momen tertentu.

Toleransi dalam istilah Islam disebut tasamuh. Terdapat beberapa hadits Nabi yang mengandung ajaran toleransi. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Bukhari,

أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

“Agama yang paling dicintai Allah adalah yang hanif (tidak mengandung kebatilan) dan samhah (tidak mengandung kekerasan dan pemberatan).” (Shahih al-Bukhari, juz 1 hal 16)

Hadits di atas merupakan hadits pertama dalam bab “agama yang mudah” dalam Shahih Bukhari. Secara tersirat, Imam al-Bukhari ingin mengatakan bahwa agama Islam yang mudah (yusr) memiliki karakteristik toleran dan anti kekerasan.

Dengan isi yang sama, Adab al-Mufrad menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya oleh salah seorang sahabat perihal agama apa yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Nabi menjawab, “Agama yang hanif dan samhah.” (Al-Adab al-Mufrad, Juz 1 hal 149)

Dengan jawaban seperti ini andaikan Nabi kembali ditanya perihal cara beragama yang seperti apa yang paling dicintai oleh Allah. Maka boleh jadi Nabi akan menjawab, “Hamba yang beragama dengan hanif dan samhah.” (Perandaian saya ini memiliki dasar dalam usul fikih, yaitu dalam konsep mafhum muwafaqah).

Baca Juga: Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Belajar Batas Toleransi dari Teladan Nabi

Klaim bahwa toleransi dapat melunturkan akidah muslim tidak sepenuhnya salah jika memang sampai melanggar batas-batas toleransi. Bersikap toleran juga perlu dilakukan, namun dengan proposional. Lalu, bagaimana bersikap toleran yang proposional tersebut?

Nabi Muhammad saw. telah memberikan contoh yang baik dalam hal bertoleransi. Ajaran bersikap toleran Nabi Muhammad yang saya maksud adalah ketika beliau kedatangan delegasi pendeta Nasrani dari negeri Najran. Kabar bahwa terdapat seorang Nabi yang telah hijrah ke Madinah dan membangun suatu peradaban madani di sana sampai hingga ke daerah barat, yaitu Negeri Najran.

Delegasi Nasrani yang datang ke Madinah memiliki misi untuk menguji kenabian Nabi Muhammad. Mereka mendebat Nabi perihal kebenaran ajaran Islam yang dibawanya. Nabi Muhammad tentu saja kokoh dengan kebenaran ajarannya. Di dalam al-Quran kisah ini diabadikan dalam surah Ali Imran ayat 61 berikut.

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (61)

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini selain engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubāhalah agar laknat Allah ditimpangkan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 61)

Ayat di atas turun setelah orang-orang Najran terus menerus memperdebatkan kebenaran Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Tidak mau repot, Allah menurunkan ayat di atas kepada Nabi sebagai cara instan untuk membuat Pendeta Najran tidak lagi berkutik dengan perdebatan-perdebatan. Caranya adalah dengan sumpah mubahalah yaitu sumpah saling laknat oleh kedua pihak. Di mana keduanya mendoakan agar pihak yang salah dan berdusta dilaknat oleh Allah.

Mendapati ajakan tersebut, utusan Najran tidak berani melangsungkan mubahalah saat itu. Padahal Nabi Muhammad telah bersungguh-sungguh dengan mengikutsertakan Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, dan kedua cucunya, Hasan dan Husain. Mendapati itu, Delegasi Najran meminta penangguhan agar dapat berdiskusi dahulu dengan tetua mereka.

Orang-orang Najran lalu melakukan rapat dengan al-Aqib Abdul Masih. Ia adalah tetua mereka dan pengambil keputusan-keputusan penting. Dalam rapat tersebut al-Aqib berkata,

“Demi Allah wahai sekalian umat Nasrani, sungguh telah kalian ketahui bahwa Muhammad adalah nabi yang diutus Allah. Ia mendatangi kalian dengan penjelasan kabar sahabat-sahabat kalian. Dan sungguh kalian telah tahu bahwa tidak ada orang yang saling laknat dengan seorang Nabi kemudian masih hidup orang-orang tuanya dan masih bisa hidup anak-anaknya (sebab terkena laknat Allah).” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 2 hal 51)

Sikap yang ditunjukkan Nabi Muhammad dengan mubahalah ini termasuk sikap yang anti toleran tentu saja. Sebab memang tidak ada kata toleransi dalam berakidah. Mengetahui kesungguhan orang yang dihadapinya, Al-‘Aqib dan para utusan Nasrani tentu saja tidak berani bersumpah mubahalah dengan sosok Nabi yang telah mereka ketahui kebenarannya.

Baca Juga: Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Meski begitu, memahami ayat al-Quran tidak boleh sepotong-sepotong. Terdapat hubungan interelasi antar setiap ayat. Demikian juga surah Ali Imran ayat 61 di atas harus kita pahami dengan ayat selanjutnya yaitu ayat 64 surah yang sama.

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (64)

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakannlah, (kepada mereka), “Saksikannlah, bahwa kami adalah orang muslim.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 64)

Setelah diskusi panjang dengan al-‘Aqib, kaum Nasrani bermufakat untuk tidak bersumpah mubahalah dengan Nabi Mubahammad. Keesokan harinya, mereka kembali mendatangi Nabi Muhammad untuk menyampaikan penolakan sumpah mubahalah. Sabda Nabi kemudian, “Kalau kalian menolak maka islamlah,” utusan Nasrani tetap menolak. “Kalau kalian tetap menolak bayarlah jizyah.”

Kaum Nasrani kemudian berkata,

“Kami tidaklah mampu memerangi orang-orang Arab. Namun kami meminta perdamaian, Engkau tidak akan memerangi kami dan tidak merendahkan kami dan tidak memurtadkan kami dari agama kami dengan ganti kami akan memberikan 2000 setelan pakaian merah setiap tahunnya. 1000 di bulan safar dan 1000 di bulan Rajab. Dan juga 30 perisai besi.”

Nabi Muhammad menerima perjanjian damai tersebut. Maka orang Nasrani tidak akan mengusik agama Islam, begitu juga orang Islam tidak akan memaksa kaum Nasrani untuk masuk Islam. Lalu Beliau mengajak orang-orang Nasrani untuk berpegang pada 3 pijakan bersama seperti kandungan isi ayat di atas. Tidak hanya itu, beliau juga mengutus sahabatnya, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah sebagai duta perdamaian. Itu setelah kaum Nasrani meminta orang kepercayaan Nabi sebagai penengah dalam menyelesaikan masalah apabila muncul persoalan di antara kedua pihak di kemudian hari. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 3 hal 268)

Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Dari kisah dalam surah Ali Imran ayat 61 dan 64 di atas, dapat kita saksikan bagaimana teladan yang diajarkan Nabi perihal toleransi. Sejak awal, Islam tidak mengenal toleransi dalam bidang akidah. Selamanya Islam adalah agama yang benar dan tidak akan membenarkan yang salah. Namun selalu ada ruang untuk dapat hidup bersama dan menciptakan dunia yang damai di atas perbedaan agama yang ada. Menyilahkan saudara kristiani melaksanakan natal tanpa hingar bingar narasi pengharaman juga usaha menciptakan dunia yang damai tersebut. Wallah a’lam

Maulana Nur Rohman
Maulana Nur Rohman
Mahasantri Ma'had Aly Marhalah Ula Sukorejo Situbondo, gemar dalam kajian fikih dan usul fikih. Bisa disapa di @maulanarahm03
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...