BerandaKisah Al QuranTrend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

Trend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

Tafsiralquran.id – Sebagian kita mungkin pernah melihat di media sosial seseorang secara menggebu-gebu menantang pihak tertentu untuk ber-mubahalah, mengangkat al-Qur’an sembari melaknat pihak yang dianggap berselisih dengannya. Fenomena yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Sebagian orang meyakini mubahalah sebagai solusi dalam perselisihan dan perbedaan pendapat, benarkah? Mari kita cari tahu arti mubahalah dan adakah ayat al-Qur’an yang secara spesifik memerintahkan untuk bermubahalah?

Dalam Lisan al-Arab disebutkan bahwa akar kata mubahalah adalah al-bahl yang berarti al-La’n atau laknat. Sementara mubahalah berarti mula’anah yang bermakna saling melaknat. Definisi ini juga diungkapkan oleh al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dari makna dasar ini kemudian  Ibnu Mandzur mendefinisikan mubahalah dengan  :

معنى المباهلة ان يجتمع القوم اذا اختلفوا فى شئ  فيقولوا لعنة الله على الظالم منا

Yang disebut mubahalah adalah ketika terdapat satu kelompok orang berselisih dalam satu hal, mereka berkumpul kemudian berkata : “laknat Allah akan menimpa orang yang dalim diantara kita”

Di dalam al-Qur’an terdapat satu ayat yang secara sharih berbicara mengenai mubahalah. Yakni dalam surat Ali Imran ayat 61 :

فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡاْ نَدۡعُ أَبۡنَآءَنَا وَأَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰذِبِينَ

Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri istri kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermuba>halah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta

Imam al-Wahidi dalam kitab asbab al-nuzul meriwayatkan beberapa keterangan mengenai latar belakang turunnya ayat di atas.  Pada intinya ayat di atas  turun berkenaan dengan pertanyaan Nasrani Najran kepada Nabi Muhammad perihal Nabi Isa. Nabi Muhammad terdiam sampai kemudian turun surat Ali Imran ayat dzalika natluhu ‘alaika minal ayati wa dzkr al-hakim.. sampai ayat faqul ta’alaw…. (surat ali Imran ayat 59-61) yang menjelaskan bahwa penciptaan Nabi Isa sebagaimana Nabi Adam. Kemudian Rasulullah mengajak mereka untuk bermubahalah, akan tetapi mereka tidak datang dan memilih membayar jizyah.

Dalam tafsir al-Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil Imam al-Baidhawi menceritkan, setelah mendapat tantangan mubahalah dari Rasulullah, Nasrani Najran meminta pertimbangan seseorang di antara mereka mengenai hal itu. Orang tersebut kemudian menyarankan kaum Nasrani Najran agar tidak melakukan mubahalah dengan Nabi Muhammad.  Karena ia tahu dan menyadari bahwa Nabi Muhammad benar-benar utusan dan Nabi Allah swt. Jika mubahalah tetap dilanjutkan maka pasti mereka semua akan celaka. Pada akhirnya mereka menolak untuk melakukan mubahalah dan menawarkan jizyah sebagai gantinya.

Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya Ibn Kathir disebutkan jumlah jizyah yang diserahkan dua ribu stel pakaian dalam satu tahun yang diserahkan selama dua tahap. Seribu stel pertama diserahkan pada bulan Rajab dan seribu selanjutnya diserahkan pada bulan Safar. Kisah senada juga disebutkan oleh al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kashaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil.

Dari keterangan singkat di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mubahalah yang dilakukan oleh Rasulullah berhubungan dengan persoalan akidah agama. Persoalan yang sangat urgen dalam keimanan umat Islam. Selain itu, tantangan mubahalah yang dilakukan oleh Rasulullah juga dilakukan setelah melakukan proses “dialog”. Tidak secara tiba-tiba tanpa proses diskusi satu pihak melakukan mubahalah. Proses dialog antara dua pihak yang berselisih nampak dalam penggalan ayat fa man hajjaka fihi min ba’di ma ja’aka minal ilmi (Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu) dan secara jelas diterangkan dalam riwayat-riwayat asbab nuzul.

Dengan demikian apabila hendak melakukan  mubahalah  seyognyanya dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah masalah yang diperselisihkan menyangkut permasalah akidah yang sangat urgen atau hanya menyangkut perkara pribadi, yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa mubahalah?

Silahkan anda timbang sendiri, apakah mubahalah yang sempat ramai di dunia maya beberapa waktu lalu menyangkut persoalan akidah sehingga urgen dilakukan? Apakah dua belah yang berselisih sudah melakukan dialog sebelum melaknat satu sama lain? Atau mubahalah yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa proses dialog terlebih dahulu? Waallahu A’lam.

Wahyudi
Wahyudi
Pengajar di Institut Agama Islam Ma'arif Nahdlatul Ulama Metro, Lampung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...